JAKARTA, (IslamToday ID) – Ketua Komisi Fatwa MUI, Hasanudin AF menyatakan fatwa halal harus dikeluarkan oleh MUI jika merujuk pada Undang-undang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Penerbitan fatwa halal juga harus satu pintu agar pelaksanaannya tidak kacau.
Menurut Hasanudin, sudah puluhan tahun Komisi Fatwa MUI menerbitkan fatwa halal. Masyarakat juga sudah mempercayai MUI yang biasa mengeluarkan fatwa halal.
“Masyarakat sudah mempercayai Komisi Fatwa MUI, kalau diubah jadi banyak lembaga fatwa akan membingungkan masyarakat. Kepercayaan masyarakat juga tidak akan seperti sekarang,” katanya, Senin (17/2/2020).
Hasanudin menerangkan, di UU JPH disebutkan yang berwenang membahas kehalalan adalah MUI. Menurutnya, tidak mungkin kalau fatwa halal dikeluarkan oleh ormas-ormas Islam.
Menurutnya, mungkin yang dimaksud rancangan omnibus law atau RUU Cipta Kerja adalah ormas Islam bisa bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dalam aspek lain. Misalnya, ormas Islam menjadi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
“Mungkin kalau ormas menjadi Lembaga Pemeriksa Halal bisa saja. Perguruan tinggi juga mungkin saja (bisa jadi LPH),” ujar Hasanudin.
Akan tetapi, Sekretaris BPJPH, Muhammad Lutfi Hamid mengatakan jika tidak ada perubahan lagi dalam RUU Cipta Kerja, maka ormas Islam bisa mengeluarkan fatwa halal.
“Sesuai dokumen draf (RUU Cipta Kerja) itu jika tidak ada perubahan, berarti ormas Islam yang berbadan hukum dapat mengeluarkan fatwa halal juga,” katanya.
Berdasarkan pasal 7 pada UU JPH dalam melaksanakan kewenangannya BPJPH hanya bekerja sama dengan LPH dan MUI. Sedangkan dalam RUU Cipta Kerja aturan barunya mengatakan bahwa ormas Islam yang berbadan hukum juga jadi pihak yang bisa diajak kerja sama oleh BPJPH.
Pada revisi pasal-pasal UU JPH selanjutnya dalam RUU Cipta Kerja, ormas Islam dan MUI akan dilibatkan mengeluarkan fatwa hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk (pasal 32). Kemudian penetapan fatwa kehalalan produk (pasal 33). Sementara dalam UU JPH, sidang fatwa halal itu hanya bisa dilakukan oleh MUI.
Terpisah, Ketua BPJPH Sukoso enggan menanggapi adanya perubahan aturan dalam rancangan omnibus law, khususnya yang terkait dengan pelibatan ormas Islam dalam mengeluarkan fatwa halal.
“Begini, itu kan masukan dari banyak pihak. Kalau kami secara resmi belum dapat. Kecuali kalau itu sudah dikirim ke kantor saya lewat institusi resmi. Kalau masih merupakan sebuah ide, opini, saya tidak bisa nanggapi dong,” ujar Sukoso.
Kendati demikian, setelah rancangan undang-undang tersebut disahkan oleh DPR ia siap menjalankan apapun yang diperintahkan. “Kami menjalankan apa yang ada di dalam undang-undang dan perkara hasilnya omnibus law tentu itu perintahnya ke kita. Kita itu yang menjalankan pekerjaan,” ucapnya.
Sukoso menjelaskan, undang-undang tersebut tentunya merupakan produk DPR. Setelah disahkan baru bisa dijalankan oleh pemerintah. Namun, sampai saat ini ombibus law tersebut belum ditetapkan secara resmi oleh DPR.
Sukoso menambahkan, berdasarkan perintah undang-undang, selama ini ormas Islam memang hanya bisa diajak kerja sama sebagai LPH atau menjadi Halal Center. Sementara, untuk mengeluarkan fatwa halal hanya bisa dilakukan oleh MUI.
“Undang-undang bilang, untuk pendirian LPH, Halal Center atau penyedia halal bisa disediakan oleh pemerintah daerah, pusat, perguruan tinggi negeri, yayasan Islam, dan ormas-ormas Islam,” ujarnya.
Seperti diketahui, proses penetapan kehalalan produk-produk yang beredar di Indonesia masuk dalam rancangan omnibus law alias RUU Cipta Kerja. Secara garis besar, RUU Cipta Kerja tersebut membuat sejumlah perubahan, yang diantaranya soal pelibatan ormas Islam berbadan hukum dalam proses sertifikasi halal. (wip)
Sumber: Republika.co.id