JAKARTA, (IslamToday ID) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai pelibatan ormas Islam dalam menetapkan fatwa halal dalam draf omnibus law RUU Cipta Kerja harus dipertimbangkan lagi.
Menurut Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI, Lukmanul Hakim, wewenang penetapan fatwa halal harus tetap di MUI. “Menurut saya perlu ada pertimbangan kembali. Ya harus dikembalikan ke MUI, khusus soal fatwa itu,” katanya, Selasa (18/2/2020).
Lukmanul mengatakan, MUI adalah kumpulan atau wadah dari ormas-ormas Islam. Meski ada juga dari kalangan perguruan tinggi dan profesional.
“Bahwa di ormas itu ada ulama, ya memang di MUI itu kan ada keterwakilan ormas dan kompetensi. Jadi mewakili dari ormas dan juga dari kompetensi. Di komisi fatwa itu juga begitu, ada dari Muhammadiyah, NU, Persis,” ujarnya.
Selain itu, menurut Lukmanul, pelibatan ormas Islam tersebut juga bisa mengurangi nilai objektivitas atas kehalalan suatu produk. Produsen atau perusahaan yang menyertifikasi halal pun menjadi mungkin untuk memilah ormas yang dapat membuat produknya memperoleh fatwa halal.
Lukmanul juga menyatakan pelibatan ormas Islam dalam menetapkan fatwa halal dikhawatirkan bisa menimbulkan disharmonisasi di antara mereka. Selain itu juga bisa membuat kalangan produsen dan konsumen bingung.
“Karena bisa jadi suatu produk dikatakan halal oleh satu ormas, tapi di ormas lain itu haram. Contoh sederhananya rokok, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama kan nggak ketemu-ketemu dari dulu,” ujarnya.
Lukmanul mengajak semua untuk bersama-sama mempelajari sekaligus memahami mengapa MUI berdiri lalu ditunjuk untuk menetapkan fatwa yang sifatnya masif. Dalam hal ini produk pangan yang berhubungan langsung dengan masyarakat.
“MUI juga sudah membuat pakem-pakem yang bisa diterima oleh semau kalangan. Jadi ini harus dipelajari lagi sejak MUI berdiri,” jelasnya.
Terlebih, menurut Lukmanul, sebetulnya sudah ada kesepakatan di antara ormas-ormas Islam yang intinya menunjuk MUI sebagai lembaga yang menetapkan fatwa halal pada suatu produk. “Lihatlah eksesnya, mudharatnya itu lebih banyak ketimbang manfaatnya. Saya yakin,” tuturnya.
Seperti diketahui, ada perubahan signifikan terkait pasal-pasal tentang jaminan produk halal dalam omnibus law RUU Cipta Kerja. Pada Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH), dalam melaksanakan kewenangannya BPJPH hanya bekerja sama dengan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan MUI.
Sedangkan dalam RUU Cipta Kerja, aturan barunya adalah “Ormas Islam yang berbadan hukum” juga jadi pihak yang bisa diajak kerja sama oleh BPJPH. Dalam RUU Cipta Kerja itu, ormas Islam dan MUI akan dilibatkan untuk mengeluarkan fatwa hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk. Dalam UU JPH, sidang fatwa halal itu hanya bisa dilakukan MUI. (wip)
Sumber: Republika.co.id