(IslamToday ID) — Sejak menjabat sebagai presiden 2014 lalu, Jokowi merombak sistem jaminan kesehatan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) digadang-gadang memiliki sistem baik dalam memberikan pelayanan asuransi bagi masyarakat.
Nyatanya, sejak berdiri tahun 2014 BPJS mengalami defisit. Bahkan, angka nilai defisit terus melonjak setiap tahunnya. Angka defisit BPJS bahkan mencapai triliunan rupiah.
Tahun 2014 angka defisit BPJS mencapai Rp 3,3 triliun. Tahun 2015 merangkak naik 5,7 triliun. Defisit kembali naik di tahun 2016 sebesar Rp 9,7 trilun. Tahun 2016 defisit kembali dialami, besarnya mencapai Rp 13,5 triliun (2017). Tahun 2017 defisit mencapai Rp 19 triliun (2018). Parahnya, defisit di tahun 2019 menunjukan angka yang fantastis, Rp 32 triliun.
BPJS juga tercatat belum membayar penuh kepada 5.000 fasilitas kesehatan (faskes) atau rumah sakit se-Indonesia. Fakta lain terungkap hutang BPJS kepada RS Muhammadiyah sebesar Rp 1,2 triliun.
Beban Rakyat, Beban Negara
Defisit BPJS akhirnya menguras uang negara. Sejak tahun 2015, pemerintah mengucurkan bantuan Rp 5 triliun, tahun 2016 Rp 6,9 triliun. Di tahun 2017 Rp 3,6 triliun, kemudian Rp 10,3 triliun di tahun 2018 dan Rp 13,5 triliun di tahun 2019.
Melihat defisit BPJS yang terus meroket, Presiden Jokowi akhirnya menjalankan operasi penyelamatan. Rakyat ‘dipaksa’ turut menanggung defisit yang dialami BPJS. Presiden Jokowi langsung turun tangan dengan mengeluarkan Perpres 75/2019. Perpres ini menjadi landasan hukum mulusnya kenaikan iuran BPJS.
Kebijakan sepihak ini jelas merugikan peserta BPJS mandiri. Iuran peserta mandiri, kelas 1 dan kelas 2 naik 100% yang semula Rp 80.000 dan Rp 55 ribu menjadi Rp 160.000 dan Rp 110.000. Sementara untuk kelas tiga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Gelombang penolakan kenaikan iuran terus disuarakan namun tidak didengar. Penolakan naiknya tarif iuran BPJS datang dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Presiden Konfederensi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal yang meminta kenaikan iruran dibatalkan.
Menurutnya, ada tiga kelompok yang memiliki kepentingan terhadap BPJS. Tiga kelompok itu adalah pengusaha yang membayar iuran BPJS Kesehatan karyawan, masyarakat penerima upah yaitu buru dan iuran mandiri, serta pemerintah melalui penerim bantuan iuran (PBI).
“BPJS Kesehatan bukan BUMN. Karena bukan lagi BUMN, pemerintah tidak bisa menaikkan iuran BPJS Kesehatan tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan publik,” kata Said Iqbal, Rabu (19/2/2020).
Penolakan juga disuarakan Komisi VIII DPR-RI. Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto, bahkan sempat tersulut emosi. Pasalnya Menkeu Sri Mulyani menolak mentah-mentah usulan Komisi VIII agar kenaikan iuran BPJS dibatalkan.
“Kalau ibu tidak setuju iuran tidak dinaikkan, yasudah tidak usah ada rapat lagi dengan kami. Kami siap bantu pemerintah namun hargai juga DPR bu,” kata Yandri. Selasa (18/2/2020)
Sri Mulyani bahkan melontarkan ancaman. Jika kenaikan iuran dibatalkan, maka ia akan menarik kembali kucuran bantuan Rp 13,5 triliun yang diterima BPJS.
“Jika meminta Perpres dibatalkan maka Menkeu yang sudah transfer Rp 13,5 triliun 2019 saya tarik kembali,” kata Sri Mulyani di ruang rapat Pansus B DPR, Jakarta, Selasa (18/2/2020).
Melihat persolan ini, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas (Unand) Padang Feri Amsari, mengatakan untuk melakukan perubahan kenaikan tarif perlu dilakukan secara konstitusional. Yakni Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) harus diubah.
“Pertama BPJS adalah lembaga negara yang dibentuk oleh undang-undang dan ditugaskan untuk menjalankan undang-undang. Sudah tentu bagi BPJS undang-undang jauh lebih utama dibandingkan rekomendasi DPR atau sejumlah pejabat, apalagi itukan sifatnya rekomendasi, bisa diikuti bisa tidak,” jelas Feri.
Sumber: Antara, Republika, Kata Data
Penulis: Kukuh Subekti
Editor: Arief Setiyanto