JAKARTA, (IslamToday ID) – Konflik bermotif agama yang terjadi di India menyisakan pilu yang mendalam khususnya bagi umat Islam. Hingga kini jumlah korban pembantaian oleh ekstrimis Hindu terhadap muslim India tersebut mencapai 42 orang.
Kecaman dari dunia internasional pun berdatangan. Bahkan demonstrasi untuk memprotes pembantaian itu juga digelar di sejumlah negara.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengutuk pembantaian yang dilakukan terhadap muslim India itu. Ia menyebut India gagal melindungi warganya yang beragama Islam.
“India sekarang telah menjadi negara di mana pembantaian tersebar luas. Pembantaian apa? Pembantaian umat Islam. Oleh siapa? Orang Hindu,” kata Erdogan dalam pidatonya di Ankara, Sabtu (29/2/2020).
Ia menuduh gerombolan massa menyerang muslim dan melukai anak-anak yang belajar di pusat-pusat pembelajaran pribadi dengan tongkat logam seolah-olah akan membunuh mereka.
“Bagaimana orang-orang ini memungkinkan perdamaian global? Itu tidak mungkin. Ketika berpidato (karena mereka memiliki populasi yang besar) mereka mengatakan kami kuat, tapi itu bukan kekuatan,” ujar Erdogan.
Presiden Pakistan Arif Alvi juga menyatakan keprihatinannya atas kekerasan yang dialami muslim India. Ia menuding para pemimpin partai yang berkuasa di negara tersebut telah menciptakan kebencian terhadap muslim.
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) juga turut mengecam aksi kekerasan di New Delhi, India. OKI menyatakan pihak berwenang perlu membawa penghasut dan pelaku kekerasan anti-muslim ke pengadilan dan memastikan keselamatan dan keamanan semua warga muslim dan tempat-tempat suci Islam di seluruh negeri.
Indonesia pun merespons. Ormas-ormas Islam seperti MUI, PBNU, Muhammadiyah, FPI, dan PA 212 turut mengecam dan meminta Presiden Jokowi bersikap terkait tindakan brutal kaum ekstrimis Hindu itu.
Sekjen FPI Munarman menyatakan Jokowi harus bersuara menyampaikan kecaman terhadap tragedi berdarah yang diskriminatif terhadap umat muslim di India. Alasannya, status Jokowi yang sebagai kepala negara dengan rakyat mayoritas muslim terbesar di dunia. Jokowi juga diminta menyampaikan protes resmi kepada otoritas India.
“Rakyat Indonesia menjadi bertanya-tanya kepada Presiden Republik Indonesia, ketika tragedi menimpa umat Islam, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, Presiden bungkam seribu bahasa,” kata Munarman, Minggu (1/3/2020).
Menurutnya, berbeda saat selain umat Islam yang dapat musibah maka akan mendapat perhatian serta komentar. Ia berharap Jokowi tidak diam dan harus menjadi representasi kebanggaan rakyat Indonesia dalam menyuarakan sikap politik internasional.
“Presiden jangan diam membisu. Ini menjadi pertanyaan besar bagi umat Islam Indonesia. Hanya Presiden dan Allah yang tahu apa alasan sesungguhnya,” tutur Munarman.
Tidak hanya kecaman, menurut peneliti Human Right Watch (HRW) Andreas Harsono, pemerintah Indonesia harus tegas dengan mendesak pemerintah India agar UU yang bernuansa “anti Islam” itu dibatalkan.
UU ini disebut-sebut bakal mempersulit umat muslim memiliki kewarganegaraan di India. Entah itu orang India asli maupun imigran seperti pengungsi Rohingya yang dipersekusi di Myanmar sekalipun. HRW pun berani menyebutnya sebagai UU yang mendiskriminasi umat muslim.
Di sisi lain, UU itu malah memungkinkan imigran non-muslim dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan bisa mendapat status kewarganegaraan. Belum lama disahkan saja, ia mencatat telah ada demonstrasi dari kalangan Hindu dan beberapa hari lalu berujung kekerasan pada umat muslim. “Pemerintah menurut saya kurang tegas. Harus minta UU itu dibatalkan,” kata Andreas, Sabtu (29/2/2020).
Barter Impor Sawit
Agaknya, sikap kurang tegas pemerintah Indonesia ini disebabkan adanya nasib hubungan dagang antara Indonesia dengan India. Pemerintah Indonesia sepertinya tak akan terlalu keras dan tegas menyikapi aksi kekerasan terhadap umat muslim di India.
Ini karena India masuk sebagai importir sawit terbesar di dunia dan kebetulan Indonesia sedang menyiapkan ancang-ancang itu. Karenanya, sikap business as usual memang tak terhindarkan.
Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Agung Hendriadi menyebutkan Indonesia sudah siap melakukan barter untuk memuluskan masuknya komoditas sawit dengan melakukan impor produk India. “Kami mengajukan juga kebutuhan impor baru 130.000 ton dari india. Ini kita barter, kalau enggak, sawit kita enggak masuk ke sana,” kata Agung, Kamis (27/2/2020).
Kehati-hatian pemerintah Indonesia ini dimaklumi Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus. Heri mengatakan, Indonesia memang mau tak mau harus berhati-hati dalam merespons gejolak politik di India.
Jika perlu, menurutnya, Indonesia tak perlu melakukan intervensi terlalu dalam. Pasalnya, Indonesia membutuhkan India untuk meningkatkan ekspor sawitnya. Posisi India saat ini menduduki posisi kedua dengan nilai 4,8 juta ton, hanya kalah dari China di angka 6 juta ton sepanjang 2019. Jumlah konsumsinya di dunia adalah 16 persen pangsa pasar global.
Di sisi lain, pasar India ini jadi penting karena Indonesia tengah mengalami hambatan ekspor ke Uni Eropa gara-gara kebijakan Renewable Energy Directive (RED II). Situasi diperburuk dengan penurunan ekspor kelapa sawit ke China karena mewabahnya virus corona, ditambah adanya perlambatan ekonomi global sejak 2019 lalu.
Peringatan INDEF ini beralasan karena India sempat memboikot sawit Malaysia. India kemudian mengambil pasokan sawitnya dari Indonesia, meski dengan harga tinggi sekalipun. Mahathir Mohamad saat masih menjabat Perdana Menteri mengecam lebih awal diskriminasi yang dilakukan India terhadap umat Muslim.
Kecaman ini dilakukan Mahathir pada Desember 2019. Meski India resmi menghentikan importasi sawitnya dari Malaysia pada Januari 2020, Mahathir sampai saat ini tetap mengecam sikap anti-Islam yang dilakukan pemerintah India.
Pejabat tinggi Malaysia bahkan sudah mempersiapkan alternatif tujuan ekspor untuk menggantikan pasar India. Turki pun sempat memprotes kebijakan yang dikeluarkan pemerintah India. Alhasil, India mengancam dengan melakukan pengurangan impor terhadap sejumlah komoditas dari Turki. (wip)
Sumber: Sindonews.com, Suaraislam.id, Tirto.id