(IslamToday ID) — Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia belum lama ini mempublikasikan utang luar negeri Indonesia tahun 2020 yang nilainya mencapai US$404,8 miliar. Nilai tersebut naik dari data Desember 2019 yakni US$375,4 miliar.
Utang Indonesia yang terus membengkak ini mengundang Ekonom senior Rizal Ramli turut berkomentar. Rizal mengungkapkan jika pemerintah Indonesia telah bertindak ugal-ugalan.
Menurutnya, nilai utang Indonesia telah melebihi batas aman 22% dari Gross Domestic Product (GDP), karena nilainya mendekati 30% yakni 29,8%.
“Masalahnya, Indonesia bukan negara maju yang rasio pajaknya tinggi, rasio pajak Indonesia hanya 10-11 persen. Artinya, rasio aman utang Indonesia seharusnya adalah 2 kali 11 persen, alias 22 persen. Sedangkan kini rasio utang Indonesia sudah 29,8 persen GDP,” ujar Rizal Ramli.
Lebih lanjut Rizal menuturkan tentang rasio batas aman utang Indonesia. Batas aman utang Indonesia ini didasarkan pada ratio Debt-Service/ Export Revenue adalah 20%. Rizal juga mengingatkan jika rasio utang Indonesia akan terus naik jika tidak ada solusi dari pemerintah. Mengingat laju utang Indonesia lebih tinggi dari GDPnya.
Rizal menyebut naiknya utang Indonesia setiap tahunnya rata-rata sebesar 20%. Sedangkan angka GDP Indonesia hanya naik 5% setiap tahunnya. Saat ini besaran bunga utang Indonesia tahun 2020 sebesar Rp 295 triliun. Utang pokok yang harus dibayar oleh pemerintah Rp 351 triliun, total uang Indonesia yang dikeluarkan untuk membayar bunga utang dan utang Rp 646 triliun.
Uang Rakyat
Pengamat Ekonomi, Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng jumlah utang Indonesia yang kian menggunung perlu menjadi perhatian semua pihak. Hal ini dikarenakan utang pemerintah itu melibatkan uang rakyat di dalamnya. Bahkan, sebagian besar utang pemerintah ini menggunakan uang rakyat.
“Utang pemerintah tersebut bersumber dari dana haji, dana Taspen, dana Jamsostek, dana Asabri, dana perusahaan asuransi, dana pensiun karyawan BUMN, dan termasuk dana umat lainnya,” ujarnya kepada Harian Terbit, Ahad (19/1/2020).
Pembayaran utang ini sangat rawan dan sensitif jika pemerintah tidak dapat membayarkannya tepat waktu. Hal ini bisa membuat seseorang tidak bisa berangkat haji, menerima uang pensiun, mencairkan dana jamsostek hingga tidak bisa mengklaim asuransinya.
APBN Sakit
Pengamat kebijakan publik dari Institute for Strategic and Development (ISDS) Aminudin mengungkapkan fakta lain yang lebih bombastis. Fakta itu ialah sakitnya APBN Indonesia tahun 2020. Pemerintah dan DPR sepakat menyatakan jika APBN Indonesia mengalami defisit sebesar Rp 307,2 triliun atau 15% dari APBN.
“Komponen APBN ini makin jelas tidak sehat lagi jika diurai besarnya APBN 2020 yang dipergunakan untuk membayar bunga hutang dan hutang jatuh tempo negara lebih Rp 600 trilyun atau sekitar 23% dari APBN,” tukas Aminudin.
Aminudin juga menyebutkan penerimaan negara pada November 2019 nilainya lebih kecil dari anggaran APBN 2020 yang ditetapkan oleh pemerintah, yakni hanya Rp 1.677,1 triliun sementara APBN 2020 nilainya mencapai Rp 2.540 triliun.
Untuk menutup kebutuhan anggaran APBN tersebut, maka pemerintah melakukan utang. Dengan kondisi yang tidak sehat maka perekonomian Indonesia menjadi rentan terhadap perekonomian global.
Skema Utang
Mekanisme utang yang diajukan oleh pemerintah Indonesia setidaknya ada tiga skema. Tiga skema itu terdiri dari Surat Berharga Negara, lembaga keuangan dunia, dan negara-negara kreditur.
Untuk saat ini dari total utang negara persentase utang Indonesia adalah sebagai berikut Surat Berharga Negara 71,69 persen, 15 persen dari Lembaga keuangan dunia, dari negara-negara kreditur 13,31 persen.
Utang dengan skema Surat Berharga Negara (SBN) ialah penerbitan Surat Utang Negara (SUN) isinya berupa surat pengakuan utang yang pembayarannya dilakukan oleh negara. Skema ini lebih menguntungkan dari sisi pembeli SBN karena ada jaminan dari negara.
Skema SBN yang berlaku saat ini ada dua jenis yakni konvensional dan syariah. Pemerintah Indonesia menerbitkan SBN hampir tiap bulan kecuali pada bulan Juni dan Desember.
Skema utang yang juga dilakukan oleh pemerintah adalah melalui pinjaman dari lembaga keuangan dunia. Skema ini termasuk yang paling merugikan perekonomian suatu negara. Lembaga keuangan dunia terdiri dari negara maju yang memaksa negara berkembang untuk melakukan swastanisasi, melakukan penjualan kekayaan negara kepada swasta, perlakuan yang sama terhadap produk asing. Lembaga keuangan dunia: World Bank US$ 17,7 miliar, ADB US$ 10,1 miliar, IMF US$ 2,7 miliar, IDB US$ 1,2 miliar.
Sementara, Utang Negara Kreditur ini biasanya berkaitan dengan infrastruktur pembangunan. Jepang US$ 12,08 miliar, Jerman US$ 2,7 miliar, Perancis US$ 2,4 miliar, China US$ 1,7 miliar, Korea Selatan US$ 1,1 miliar, Amerika Serikat US$ 851 juta, Singapura US$ 552 juta, Australia US$ 372 juta.
Alokasi utang berdasarkan sektor yakni 19,06 sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial; 16,6 persen sektor konstruksi; 16,1 persen sektor pendidikan; 15,4 persen sektor adminitrasi, pertahanan, dan jaminan sosial wajib; serta sebesar 13,2 persen sektor jasa keuangan dan asuransi.
Sementara utang Indonesia yang jatuh tempo dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut pada tahun 2014 sebesar Rp 237 triliun, berikutnya tahun 2015 turun menjadi Rp 226,26 triliun, sementara itu tahun 2016 mengalami kenaikan menjadi Rp 322,55 triliun.
Berikutnya pada tahun 2017 mengalami kenaikan angkanya menjadi Rp 350,22 triliun, tahun 2018 nilainya naik sangat fantastis menjadi Rp 492,29 triliun, pada tahun 2019 meskipun turun dari tahun sebelumnya tapi terhitung masih sangat tinggi yakni Rp 409 triliun.
Penulis: Kukuh Subekti
Editor: Tori Nuariza