(IslamToday ID) — Raymond Pierre Paul Westerling, tak kan pernah dilupakan bangsa Indonesia. Dialah yang bertanggung jawab atas tewasnya ribuan nyawa rakyat sipil di Sulawesi selatan. Pembantaian berkedok operasi militer itu berlangsung pada 5 Desember 1946 hingga 21 Februari 1947 silam.
Ironisnya, permintaan maaf baru disampaikan pada 12 September 2013. Itu pun tidak disampaikan secara langsung oleh Raja Belanda, Willem-Alexander melainkan melalui Duta Besar Belanda untuk Indonesia di Jakarta, Tjeerd de Zwaan. Hal ini menyisakan kekecewaan mendalam bagi keluarga korban.
Luka hati keluarga korban pembantaian Westerling kembali menganga. Pemerintah tak menggubris suara mereka akan penolakan kedatangan Raja Belanda ke Indonesia. Sebaliknya, Presiden Jokowi tampak begitu mesra bertatap muka dengan Raja Belanda, Hingga memanggilnya ‘Yang Mulia’.
Ada Bisnis Dibalik Kata ‘Maaf’
Permintaan maaf yang disampaikan Raja Willem-Alexander dalam kunjungannya ke Indonesia kali ini tampaknya bukan agenda utama. Sekedar lips service untuk memuluskan kepentingan Belanda yang sebenarnya. Ternyata kepentingan ekonomi menjadi tujuan utama kunjungan itu. Setidaknya ada 185 pebisnis dari negeri kincir angin yang ikut dalam kunjungan tersebut.
Kunjungan kenegaraan ini pun hanya menitik beratkan pada pertemuan-pertemuan untuk urusan bisnis. Antara lain adalah pengembangan investasi Terminal Vopak di Tanjung Priok, pengembangan pabrik susu Frisian Campina, dan investasi Shell di sektor hilir migas. Total investasi asing asal Belanda yang disepakati oleh Presiden Jokowi dan Raja Willem mencapai US$ 1 miliar atau Rp 14,3 triliun.
“Sejumlah kerja sama antar bisnis juga dilakukan dengan nilai yang cukup besar mencapai kurang lebih 1 miliar dolar Amerika,” ungkap Presiden Jokowi (10/3/2020).
Presiden Jokowi menyampaikan bahwa Belanda sebagai salah satu mitra penting Indonesia di Eropa, salah satu mitra strategis di bidang perdagangan, investasi, dan pariwisata. Belanda menjadi mitra dagang terbesar kedua di Eropa, sebagai investor terbesar dari Eropa sekaligus sebagai wisatawan asing terbesar ke empat di Indonesia.
”Di kawasan Eropa, Belanda merupakan mitra dagang Indonesia terbesar kedua, mitra investasi terbesar pertama, dan mitra pariwisata terbesar keempat. Saya menyambut baik kunjungan Sri Baginda yang juga disertai pengusaha Belanda dalam jumlah yang besar,” tutur Presiden Jokowi.
Sementara itu Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) merilis data realisasi investasi asing (Penanaman Modal asing/PMA) pada kuartal III-2019 mencapai Rp 105 triliun. Realisasi ini meningkat 0,1% dibandingkan kuartal II 2019 yang sebesar US$ 104,9 triliun. Belanda merupakan negara dengan PMA tertinggi kedua setelah Singapura. Nilai PMA Belanda sebesar US$ 1,4 miliar atau 20% dari total PMA.
Kedatangan Raja Belanda mendapat sambutan hangat Istana. Sebab, Belanda merupakan salah satu investor terbesar Indonesia. Bahkan, pemerintah menggelar karpet merah bagi Pemerintah Belanda untuk menginjakan kaki ke TMP Kalibata.
Makna ‘Maaf’, Tragedi Westerling
Gegap gempita penyambutan Istana bertolak belakang dengan duka yang dialami oleh para korban pembantaian Westerling. Abdul Halik, salah seorang keluarga korban pembantaian tahun 1947 di Bulukumba, Sulawesi Selatan sengaja datang ke Jakarta untuk melakukan aksi penolakan terhadap kunjungan Raja Willem-Alexander. Aksi penolakan diawali dengan pengiriman surat pada 31 Januari 2020, surat penolakan ini dikirim kepada Dubes Belanda di Jakarta.
Karena tidak puas dengan surat balasan Dubes Belanda, Abdul Halik langsung datang ke Jakarta mendatangi kantor kedutaan Belanda di Jakarta. Kedatangan raja-ratu Belanda yang membuatnya geram adalah kedatangan mereka ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata.
Menurutnya lebih penting jika pemerintah Belanda memberikan pengakuan atas kedaulatan RI pada 17 Agustus 1945, permohonan maaf secara umum hingga pengabulan terhadap tuntutan para korban pembantaian Westerling.
“Pemerintah Belanda harusnya tahu diri, memikirkan apa yang pernah dilakukan oleh tentara itu atas perintah neneknya (Raja Willem-Alexander). Itu harus disadari,” ujar Halik. (03/03).
Pembantaian Westerling di Bulukumba selama tiga bulan telah menelan korban jiwa hingga 40.000 orang. Namun pemerintah Belanda hanya mengakui 2.000 korban jiwa saja. Para korban juga sangat kecewa dengan sikap pemerintah Belanda yang melindungi Westerling ketika dia akan diadili.
Bahkan, pengadilan ekstradisi yang dilakukan pada tahun 1950 pun tidak berhasil menyeret Westerling ke penjara. Westerling hanya dipenjara selama beberapa pekan saja di Singapura dan Belanda. Sementara, yang paling menyedihkan ialah pada tahun 1954 Westerling dinyatakan tidak bersalah dalam kasus pembantaian tersebut.
Sejarawan Belanda Marjolein van Pagee, mengatakan kunjungan raja dan ratu Belanda ke TMP Kalibata adalah sebuah kemunafikan. Menurut Marjolein, jika mereka benar-benar menghormati para korban pembantaian Westerling yaitu datang menemui keluarga korban. Menurutnya, permintaan maaf atas tragedi perang di masa lalu yang dilakukan oleh Raja Willem dihadapan Presiden Jokowi adalah sebuah kepura-puraan.
“Itu munafik dan sangat memalukan. Berani-beraninya mereka mengunjungi tempat itu? Kita tahu mereka tidak menghormati para korban perang,” ujar Marjolein. (10/03)
Marjolein mengungkapkan jika permohonan maaf tersebut belum utuh, hanya sebagian, untuk periode 1945-1949 saja. Selain itu Raja Willem juga belum melakukan pengakuan secara legal, hukum atas kemerdekaan Indonesia di tahun 1945.
Hal senada juga disampaikan oleh Sejarawan asal Universitas Indonesia, Bondan Kanumuyoso. Menurut Bondan, Pemerintah Belanda tidak akan berani mengakui kedaulatan RI secara de jure atau hukum sejak 17 Agustus 1945. Hal ini dikarenakan konsekuensi dari pengakuan tersebut akan merugikan Belanda secara politik.
“Sulit, karena dengan mengakui Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, berarti apa yang mereka lakukan antara 1945-1949 di Indonesia adalah kejahatan dan agresi,” ujar Bondan. (10/03).
Menurutnya, permintaan maaf tersebut juga memiliki makna jika Indonesia berada di posisi yang benar, dan Belanda ada di posisi yang salah. Permintaan maaf tersebut bisa menjadi faktor pendukung yang bisa digunakan jika Pemerintah Indonesia menginginkan keadilan di Mahkamah Internasional.
“Jika mereka menginginkan pertanggungjawaban, maka pengajuan ke Mahkamah Internasional menjadi langkah yang diperlukan,” terang Bondan.
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza