(IslamToday ID) — Ancaman virus Corona masih menghantui masyarakat Indonesia. Terlebih pasien yang dinyatakan positif terinfeksi virus tersebut terus bertambah. Dibalik kepanikan akan virus Corona, kasus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia ternyata menunjukan jumlah yang sangat mengejutkan.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat telah terjadi peningkatan kasus DBD di Indonesia sejak awal tahun 2020. Berdasarkan data Kemenkes hingga 11 Maret 2020 kemarin sudah ada 17.820 kasus DBD se-Indonesia. Kemenkes meyakini angka tersebut masih bisa bertambah. Total jumlah kematian akibat DBD menjadi 104 korban jiwa. Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi provinsi dengan kematian tertinggi akibat DBD yakni 33 korban jiwa.
DBD termasuk penyakit endemis dengan resiko kematian tertinggi dalam beberapa bulan terakhir. Kasus DBD di Indonesia tahun ini dinilai lebih besar dibandingkan tahun lalu, pada periode yang sama. Tahun ini ampir semua provinsi terkena wabah DBD.
“Kasus DBD di Indonesia tahun ini lebih besar dibandingkan tahun lalu, pada periode yang sama. Kenaikan angka paling besar terjadi pada anak-anak,” ungkap Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi.
Kasus Tertinggi
Dari data kemenkes-RI, kasus DBD tertinggi ditemukan di Lampung, sebanyak 3.431 kasus. Nusa Tenggara Timur (NTT) berada di urutan kedua dengan jumlah 2.826 kasus. Jawa Timur sebanyak 1.761 kasus, Jambi 703 kasus, Jawa Tengah 603 kasus, Sumatera Selatan 593 kasus, DKI Jakarta 583 kasus.
Kasus DBD juga ditemukan di Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan total kasus 558, di Sumatera Barat 490 kasus, di Kalimantan Selatan 425 kasus dan di Sulawesi Utara sebanyak 424 kasus. Kalimantan Barat dengan jumlah 412 kasus, Sumatera Utara dengan total kasus 399 kasus, Babel 379 kasus, Kalimantan Timur 285 kasus, Kepri 283 kasus, Yogyakarta 272 kasus, Kalimantan Tengah 246 kasus.
Kasus DBD di Bengkulu tercatat 205 kasus, di Sulawesi Utara ditemukan sebanyak 188 kasus, di Aceh sebanyak 179 kasus, di Sulawesi Barat 177 kasus, di Banten 128 kasus. Daerah dengan kasus DBD paling sedikt yakni, Sulawesi Tengah 108 kasus, Sulawesi Selatan 98 kasus dan Maluku Utara 91 kasus.
Sementara itu, tercatat total jumlah kematian akibat DBD telah mencapai 104 korban jiwa. NTT menjadi provinsi dengan kematian tertinggi akibat DBD, yakni 33 korban jiwa.
Kasus tertinggi ditemukan di Kabupaten Sikka, NTT. Sejak 8 Maret 2020 telah terjadi 1195 kasus dari total2826 kasus DBD di NTT. Kemenkes telah mengirimkan 10 dokter dan 18 tenaga medis khusus menanganai DBD di Kabupaten Sikka.
Kelalaian Pemerintah
Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto, mengakui tingginya kasus DBD hingga mengakibatkan 104 orang meninggal, merupakan kelalaian pemerintah. Pemerintah terlalu fokus pada pencegahan dan penanganan virus corona.
“Yang paling mengancam DBD ini. Permasalahan di Indonesia saat ini, bukan hanya Corona, tetapi penyakit DBD ini yang justru lebih mematikan, lebih berbahaya. kata Menkes Terawan (9/3/2020).
Menkes juga menambahkan, DBD di NTT termasuk dalam kategori sangat serius dan menjadi prioritas penanganan. Hingga 11 Maret 2020 sudah jatuh 33 korban meninggal.
Tidak jarang anggaran DBD sudah habis sebelum penanganan DBD selesai. Seperti yang terjadi di Kabupaten Aceh Barat Daya, anggaran DBD senilai Rp 100 juta sudah habis sejak Mei 2019 padahal hingga Juli 2019 kasus DBD di wilayah tersebut masih tinggi.
Lambannya penanganan DBD di daerah-daerah akibat pemerintah terlalu fokus dengan virus korona mendapat kritik dari sejumlah DPR. DBD sebagai penyakit endemik tahunan di Indonesia sudah seharusnya mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
DBD tahun ini berpotensi menjadi Kasus Luar Biasa (KLB). Pemerintah diminta untuk tidak hanya fokus dengan kehadiran wabah yang baru muncul saja.
“Pemerintah harus melakukan penelitian yang mendalam tentang DBD, sehingga tidak terulang setiap tahun,” Wakil Ketua Ketua Komisi IX DPR, Nihayatul Wafiroh (11/03/20).
Sementara itu anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay menyarankan, agar pemerintah membentuk gugus tugas DBD. Gugus tugas terdiri atas lembaga-lembaga pusat seperti BNPB, Kemenkes, dan Kemensos yang nantinya akan menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah.
“Kalau dihitung jumlah orang yang sakit ditimbulkan oleh DBD ini kan lebih besar dari korona. Karena itu, pemerintah tidak boleh memalingkan wajahnya dari persoalan itu. Jadi pemerintah harus bersungguh-sungguh mengatasi itu,” ucap Saleh (10/3).
Mirip Corona
Kemunculan virus corona dan DBD di Asia Tenggara, termasuk Indonesia terjadi bersamaan. Deteksi dini kedua penyakit tersebut diakui menjadi tantangan bagi para ahli kesehatan. Berdasarkan laporan para dokter di Singapura dalam Jurnal medis The Lancet, ada kesamaan gejala DBD dan virus corona.
Leong Hoe Nam, ahli penyakit menular Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura menyampaikan, ditemukan kasus yang awalnya didiagnosa DBD ternyata justru positif terinveksi corona. Semula dinyatakan terserang DBD namun setelah di tes lanjut positif terjangkit virus korona.
Padahal pasien tersebut tidak pernah berkunjung ke tempat-tempat yang terpapar corona. Tapi pasien mengalami gejala umum, seperti demam dan batuk yang disebabkan oleh virus pada umumnya.
“Demam berdarah memiliki sejumlah besar tanda dan gejala dan dokter harus menggunakan semua indera, pengalaman, dan logika untuk menanyakan apakah itu tipikal dengue,” terang Leong.
Hal yang sama disampaikan Jeremy Lim, praktisi kesehatan dari Global Oliver Wyman. Menurutnya, gejala virus corona bagai ‘bunglon’. Hasil tes immunoglobulin untuk demam berdarah akan menunjukkan hasil positif karena terjadi lonjakan protein tertentu pada permukaan virus. Namun setelah dilakukan tes khusus ternyata gejala infeksi corona.
Penulis: Kukuh Subekti
Editor: Arief Setiyanto