(IslamToday ID) — Wajah hukum di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir menampakkan disparitas hukum yang mengarah pada ketidakadilan. Para koruptor yang merugikan negara ratusan juta hingga trilliunan rupiah dihukum lebih ringan, dari pada para pencuri ‘kelas teri’.
Dilansir detik.com (9/3/2020), mantan Dirut PT PLN Batubara, Khairil Wahyuni, divonis hakim dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta.
Pengadilan Tipikor pada 12 Juni 2019 menyatakan Khairil terbukti bersalah. Ia terbukti telah melakukan korupsi sebesar Rp 477 miliar untuk pengadaan batu bara yang diperlukan oleh PLN pada tahun 2008.
Berikutnya pada tahun 2017 kasus korupsi Pembangunan Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang. Kasus korupsi ini menetapkan Andi Zulkarnaen Anwar Mallarangeng alias Choel Mallarangeng. Kasus korupsi ini merugikan negara sebanyak Rp 2 miliar dan US$ 500 ribu.
Terdakwa hanya di vonis 3,5 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan penjara. Vonis Pengadilan Tipikor itu lebih rendah dari tuntutan jaksa, yang menuntut vonis 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
Hal ini berbanding terbalik dengan nasib para pencuri kelas teri. Pada 8 Agustus 2019 Andy Syahputra (30) divonis hukuman 7 tahun oleh Pengadilan Negeri Pematangsiantar. Vonis itu dijatuhkan majelis hakim gara-gara Andy Syahputra mencuri satu tandan pisang yang harganya Rp 150 ribu.
Di tahun 2010, seorang nenek tunawisma bernama Waliyah (57) harus mendekam 4 bulan penjara. Pengadilan Negeri Pekalongan, menjatuhkan hukuman 4 bulan penjara hanya gara-gara mencuri lima buah permen coklat.
Hukuman Koruptor Ringan
Dilansir katadata.com (28/4/2019), sepanjang tahun 2018 ICW mencatat dari 1.053 perkara korupsi ada 1.162 terdakwa yang diputus bersalah pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung (MA).
Dari 1053 perkara, jumlah vonis kategori ringan mencapai 918 kasus atau 79 persen. Kategori Sedang (>4 tahun – 10 tahun) sebanyak 180 terdakwa atau 15,49 persen, Kategori Berat (>10 tahun) sebanyak 9 terdakwa atau 0,77 persen.
Peneliti ICW Lalola Easter mengatakan putusan hukuman untuk terdakwa tindak pidana korupsi pada 2018 rata-rata selama 2 tahun 5 bulan. Sedikit meningkat dari rata-rata vonis pada 2017 selama dua tahun dua bulan.
”Rata-rata meningkat namun belum signifikan seperti yang diharapkan,” ujar Lalola Easter
Sebelumnya di tahun 2015, Peneliti ICW Emerson Yuntho juga telah menyoroti persolan ini. Menurut Emerson, tidak adanya rasa simpati dan empati pengadilan terhadap dampak destruktif korupsi menjadi sebab para koruptor dihukum ringan. Padahal, kerugian yang diakibatkan oleh perilaku korupsi menggerogoti perekonomian negara hingga menciderai kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, masih adanya persepsi bahwa korupsi bukan kejahatan yang luar biasa yang dimiliki oleh jaksa dan hakim. Bahkan, adanya kecenderungan untuk menyamakan kasus koruptor dengan kasus pencurian biasa.
Ada pula pandangan bahwa yang menjadi terdakwa adalah pejabat negara maka harus dihormati. Seharusnya, justru karena pejabat negara maka wajib dihukum seberat-beratnya.
UU No. 20/ 2001 tentang tindak pidana korupsi memang mengatur ancaman hukuman untuk para koruptor seumur hidup, paling singkat 1 tahun penjara dan paling berat 20 tahun penjara. Seharusnya hal ini tidak menjadi dalil untuk memilih hukuman paling ringan bagi para koruptor. Lalu, kemanakah keadilan di negara hukum ini?
Penulis: Kukuh Subekti