“Omnibus Law memang belum populer di Indonesia tapi telah banyak diterapkan di berbagai negara seperti AS. Ini adalah sebuah strategi reformasi regulasi,” –Presiden Jokowi-
(IslamToday ID) — Sejak dilontarkkan Presiden Jokowi 20 Oktober 2019 lalu, Omnibus law terus mengundang kontroversi. Bagi Presiden Jokowi, Omnibus law menjadi jalan pintas, untuk menyapu regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang. Tujuannya, memperkuat perekonomian terutama dengan menggenjot investasi.
Kata Presiden Jokowi, Indonesia mengalami hyper regulasi, obesitas regulasi yang membuat indonesia terjerat dalam aturan yang dibuatnya sendiri. Berbagai aturan yang dinilai menjadi batu sandungan harus ‘disapu’. Pemerintah mengidentifikasi setidaknya ada 82 Undang-undang dan 1.100 pasal yang terdampak Omnibus law.
Tapi, benarkah lemahnya perekonomian Indonesia karena hyper regulasi, sebagaimana anggapan presiden Jokowi?
Peneliti INDEF, Rusli Abdullah, menilai pemerintah salah sasaran dalam penyusunan Omnibus Law. Pemerintah seolah tidak cermat dalam merumuskan indikator penghambat investasi. Draf RUU Omnibus law yang disodorkan membuka berbagai polemik.
“Narasi yang dibangun oleh pemerintah untuk adanya omnibus law adalah untuk mendatangkan investasi. Itu poin utama, tapi pada kenyataanya akhirnya nembaknya kemana-mana, ke buruh, lingkungan, pertanian, adat dan lain sebagainya” ujar Rusli dalam Diskusi Publik, Kupas Tuntas Omnibus Law, di Joglo, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Kamis (12/3/2020).
Rusli mengungkapkan, sebenarnya World Economic Forum’s Global Competitiveness Report 2017-2018 telah menyusun 16 faktor penghambat investasi. Antara lain, Korupsi dengan skor 13,8. Lalu inefisiensi birokrasi dengan skor 11,1. Dilanjutkan dengan akses ke pembayaran dengan skor 9,2. Kemudian, persoalan infrastruktur yang tidak merata dengan skor 8,8. Kebijakan yang tidak stabil juga menduduki posisi tinggi dengan skor 8,6.
Di sisi lain, instabilitas pemerintah juga dikeluhkan, skornya mencapai 6,5. Disusul kemudian dengan persolan tarif pajak dengan skor 6,4. Etos kerja buruh juga dikeluhkan, namun bukan faktor utama, yakni memiliki skor 5,8. Persoalan regulasi skornya hanya 5,2, dan begitu pula soal pajak yang hanya memiliki skor 4,7.
Faktor Utama Penghambat Investasi
Dari data tersebut, tampak jelas bahwa korupsi merupakan faktor utama penghambat investasi. Bahkan menduduki skor tertinggi di Indonesia sebesar 13,8. Berbagai praktek korupsi seperti suap, gratifikasi, uang pelicin, dilakukan hampir di berbagai sektor. Hal ini memberikan dampak yang merugikan bagi para investor. Akibatnya, timbul persaingan yang tidak sehat, kesenjangan serta distribusi ekonomi yang tidak merata.
Praktek korupsi juga menyebabkan tingginya biaya ekonomi, bahkan hingga dapat menimbulkan ekonomi bayangan. Selain itu, praktek korupsi menciptakan ketidakpastian hukum, dan turut menyebabkan alokasi sumber daya perusahaan yang tidak efisien.
“World Economic Forum menyebutkan bahwa para investor baik dalam negeri maupun luar negeri yang mau ke Indonesia dia mengeluh satu hal, nomor satu korupsi paling atas, masalah buruh nomor delapan jadi kalau mau mengeluh paling kenceng korupsi bukan masalah buruh,” tutur Rusli.
Rusli menambahkan, ironisnya meski korupsi berada di indeks pertama yang paling dikeluhkan investor, tapi tidak ada satu pun di pasal Omnibus Law yang membahas korupsi. Hampir bersamaan, KPK justru dilemahkan dan kini terbukti lemah dalam mengusut kasus korupsi.
“Seharusnya omnibus law membahas korupsi tapi justru melebar ke yang lainnya yang tidak nyambung,” tandasnya
Tarif pajak dan soal ketenagakerjaan yang masuk dalam RUU Omnibus law ternyata bukan faktor utama penghambat investasi. Dalam 16 faktor penghambat investasi yang disusun World Economic Forum’s Global Competitiveness Report 2017-2018, tarif pajak justru yang di peringkat ke-7 dengan skor 6,4. Sedangkan peraturan tenaga kerja menduduki peringkat ke-13 dengan skor 4.
Lalu apa yang sebenarnya pertimbangan penyusunan Omnibus Law?
Penulis: Kukuh Subekti
Editor: Arief Setiyanto