JAKARTA, (IslamToday ID) – Berbagai opsi untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan sudah disuarakan oleh sejumlah pakar dan elemen masyarakat. Seperti diketahui, defisit BPJS dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.
Terakhir, tahun 2019 BPJS mengalami defisit mencapai Rp 15,5 triliun. Salah satu sebab BPJS terus defisit adalah besarnya pembiayaan untuk penyakit katastropik. Ini adalah jenis penyakit yang disebabkan oleh gaya hidup dan membutuhkan biaya tinggi dalam pengobatannya.
Jenis penyakit katastropik di antaranya sakit jantung, diabetes, kanker, stroke, dan ginjal. Klaim untuk penyakit katastropik pada 2018 lalu diketahui mencapai 30 persen dari total klaim BPJS atau setara Rp 28 triliun.
Dari hasil kajian KPK, BPJS harus mengeluarkan kebijakan pembatasan pemberian manfaat bagi pasien-pasien penyakit katastropik. Pembatasan pemberian manfaat itu dapat diterapkan kepada orang-orang yang mempunyai gaya hidup tidak sehat.
“Tidak boleh misalnya, dengan segala hormat kepada para perokok, kanker paru dia ngerokok atau enggak, tetap saja dikover. Padahal harusnya ada pembatasan manfaat. Kalau dia merokok harusnya tertentu saja,” kata Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, Jumat (13/3/2020).
Menurutnya, penyakit-penyakit katastropik itu lebih banyak menyerang masyarakat kelompok menengah ke atas akibat gaya hidup tak sehat. “Jadi kasihan juga yang PBI, yang penerima bantuan iuran, yang orang-orang tergolong miskin, 99 juta orang bayar tapi yang menikmati yang gaya hidup,” ujar Pahala.
Di samping itu, KPK juga mendorong pengimplementasian Peraturan Menteri Kesehatan No 51 Tahun 2018 yang mengatur soal sistem co-payment (pembayaran bersama) bagi peserta BPJS. Pahala mengatakan, Permenkes itu mengatur peserta BPJS Kelas I dan II harus membayar 10 persen biaya yang diklaim BPJS Kesehatan.
“Klaimnya yang mampu ini ada sekitar Rp 22 triliun di tahun 2018. Kita bayangkan kalau co-payment ini kita jalankan, maka sebenarnya ada Rp 2,2 triliun didapat oleh BPJS dalam bentuk pengurangan klaim,” kata Pahala.
Dua usulan tersebut merupakan bagian dari enam rekomendasi yang disampaikan KPK untuk menekan pengeluaran BPJS Kesehatan. Rekomendasi lainnya adalah mendorong Kemenkes mempercepat penyusunan Pedoman Nasional Praktik Kedokteran untuk mencegah unnecessary treatment (perawatan yang tidak perlu) yang dapat meningkatkan pengeluaran.
Kemudian, mengakselerasi coordination of benefit (kerja sama yang menguntungkan) dengan asuransi kesehatan swasta, mengevaluasi penetapan kelas rumah sakit, serta menindaklanjuti verifikasi lapangan untuk mengatasi fraud (penipuan).
Pahala mengatakan, jika rekomendasi itu dijalankan maka BPJS dapat menghemat pengeluaran mencapai Rp 12,2 triliun tanpa harus menaikkan iuran.
“Jadi kalau dari penerimaan dikerjakan, tunggakan dikejar, dan dari ini spesifik untuk enam rekomendasi kita, rasanya defisit itu bukan hal yang harus ditutup dengan hanya kenaikan iuran,” kata Pahala.
Premi Khusus Bagi Perokok
Sebenarnya, salah satu penyebab defisitnya keuangan BPJS disebabkan karena pembiayaan penyakit katastropik pernah diakui oleh manajemen BPJS sendiri.
Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan, Budi Mohamad Arief mengatakan, pembiayaan penyakit katastropik masih menjadi beban. Pembiayaan penyakit katastropik ini menyedot 25 persen dari jumlah proporsi pembiayaan secara keseluruhan.
Dari data BPJS, diketahui jumlah kasus dan pembiayaan penyakit katastropik dari 2014 hingga 2018 terjadi kenaikan. Pada 2014 terdapat 6,1 juta kasus dengan total pembiayaan sebesar Rp 9,1 triliun. Sedangkan pada 2018, terdapat 19,2 juta kasus dengan jumlah pembiayaan Rp 20,4 triliun.
“Tentu penyakit itu (katastropik) memberikan pengaruh pada realisasi biaya. Tapi kami tidak bisa sebut itu sebagai penyebab (defisit),” ujar Budi pada 13 Maret 2019.
Sementara, ekonom Institute For Development of Economic dan Finance (INDEF) Dradjad mengusulkan, karena penyakit katastropik tertinggi yang membebani BPJS adalah penyakit jantung, maka pemerintah harus membebani perokok dengan premi sendiri.
Perokok yang sakit, menurut Dradjad, seharusnya tidak dijamin oleh BPJS sehingga mereka perlu dibebani sebuah premi atas setiap batang rokok yang diisap. Premi ini ditambahkan langsung ke harga rokok dan dibayarkan ke perusahaan asuransi BUMN, dalam hal ini Jiwasraya. Pasalnya, premi ini bisa dilihat sebagai sebuah “asuransi” yang memenuhi bidang kerja Jiwasraya.
“Kenapa tidak langsung ke BPJS? Karena kita harus memegang teguh prinsip bahwa BPJS tidak menjamin pelayanan kesehatan bagi penyakit akibat merokok,” katanya, Selasa (10/3/2020).
Karena itu, ia melanjutkan, jika perokok sakit maka pelayanan kesehatannya dibebankan ke premi itu. Sehingga perokok tidak menggerogoti BPJS, karena kalau sakit sudah memiliki asuransi sendiri.
Menurut Dradjad, solusi ini berbeda dengan cukai rokok. Cukai merupakan instrumen penerimaan APBN, yang dananya masuk ke Kementerian Keuangan. Dana tersebut dipakai untuk semua pos belanja APBN. Sementara premi bersifat spesifik. Perokok membayar sendiri beban pelayanan kesehatannya.
Mengenai hitungannya, Dradjad menjelaskan, ada beberapa simulasi premi senilai 10, 15, dan 20 persen. Estimasi dana yang terkumpul antara Rp 28 triliun dan Rp 57 triliun setahun, sehingga bisa menutup beban yankes BPJS untuk penyakit akibat merokok. “Solusi ini lebih realistis secara politis dan layak secara keuangan,” pungkas Dradjad. (wip)
Sumber: Tirto.id, Kompas.com, Liputan6.com