JAKARTA, (IslamToday ID) – Sejak diumumkan Presiden Jokowi ada dua orang positif corona pada 2 Maret 2020 lalu, kasus infeksi virus asal China tersebut terus menyebar. Kini setelah 24 hari, jumlah pasien positif corona di Indonesia sudah mencapai 790 orang dan tersebar di 24 provinsi. Sedangkan jumlah pasien meninggal mencapai 58 orang dan 31 pasien dinyatakan sembuh.
Meski korban sudah mencapai ratusan, namun pemerintah belum mengambil opsi lockdown atau karantina wilayah. Padahal di sejumlah negara, lockdown sudah diberlakukan meski korbannya belum sebanyak di Indonesia.
Presiden Jokowi sebelumnya telah mengungkapkan alasan pemerintah tidak memilih opsi lockdown untuk menghambat penyebaran virus corona. Menurutnya, setiap negara memiliki karakter, budaya dan kedisiplinan yang berbeda-beda, sehingga yang paling cocok untuk diterapkan di Tanah Air adalah physical distancing atau menjaga jarak aman secara fisik dari kerumunan sosial.
Ia sadar bahwa imbauan ini membutuhkan kedisiplinan dari masyarakat agar penyebaran corona dapat dicegah. “Jangan sampai yang sudah diisolasi, saya baca berita, sudah diisolasi masih membantu tetangganya yang mau hajatan. Ada yang sudah diisolasi, masih beli HP dan belanja di pasar,” ujar Jokowi saat rapat terbatas melalui telekonferensi dari Istana Merdeka, Selasa (24/3/2020).
Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Abra Talattov mengatakan sejumlah risiko akan dialami Indonesia jika kebijakan lockdown diberlakukan.
Pertama, jika lockdown diberlakukan, pemerintah akan memiliki kewajiban untuk menjamin kebutuhan hidup dari sisi pangan bagi seluruh masyarakat. Hal ini tertuang dalam UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. “Itu dari sisi anggaran sangat berat kalau misalkan mau lockdown se-Indonesia,” ujar Abra, Rabu (25/3/2020).
Ia mencontohkan, untuk di Jakarta saja pemerintah harus menggelontorkan dana Rp 300 miliar dalam sebulan yang ditujukan bagi 1,5 juta pekerja informal di Ibukota. Perhitungan ini dilakukan dengan asumsi pemerintah memberikan bantuan uang tunai sebesar Rp 200.000 per bulan.
“Rp 200.000 itu pun pasti sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan satu bulan untuk satu keluarga. Kalau kita mengacu pada garis kemiskinan saja di Jakarta, itu minimal Rp 600.000 satu orang, jadi kurang lebih satu KK itu sekitar Rp 3 juta butuhnya,” jelas Abra.
Kalaupun pemerintah memberikan uang tunai bagi masyarakat, tantangan lain yang muncul adalah terkait akses masyarakat terhadap kebutuhan pokok. Menurut Abra, jika lockdown diberlakukan, permintaan kebutuhan pokok akan meningkat drastis, sehingga kepanikan dan aksi borong bahan pokok dikhawatirkan dapat terjadi.
“Kalau stok pangan tidak cukup, ada risiko terjadi gejolak sosial karena masyarakat kesulitan mengakses kebutuhan pokok,” kata Abra.
Kemampuan Pemerintah Terbatas
Dari sisi anggaran, Abra mengatakan bahwa kemampuan pemerintah juga sangat terbatas untuk memberi subsidi kepada masyarakat karena penerimaan negara yang tertekan.
Ia menjelaskan, dengan turunnya harga minyak dunia dan harga komoditas lain di tengah pandemi corona saat ini, negara berpotensi kehilangan penerimaan baik pajak maupun bukan pajak.
“Saya sudah melakukan perhitungan. Jadi kalau diasumsikan harga minyak dunia rata-rata selama tahun 2020 ini di level 30 dolar per barel, asumsi APBN-nya kan 63 dolar per barel, jadi kalau 30 dolar saja itu negara punya potential loss penerimaan sekitar Rp 85-138 triliun atau sekitar 3,8-6,2 persen terhadap penerimaan negara,” jelasnya.
Dengan demikian, di Indonesia opsi lockdown membuat pemerintah serba salah. “Kalau mau subsidi seluruhnya, dananya tidak cukup. Sementara kalau lockdown tidak dilakukan, dari aspek kesehatannya, risikonya tetap akan terus ada dan besar,” ungkapnya.
Jika dilihat dari sudut pandang karakter masyarakat, pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati menyebut bahwa opsi lockdown di Indonesia cenderung sulit untuk direalisasikan, apalagi jika sampai menerapkan sanksi bagi yang melanggar. “Jangankan lockdown, social distancing saja sulit,” ujar Abra.
Ia menyebut tiga faktor menjadi penyebabnya, yaitu sosial, kultural, dan spiritual. Secara sosial, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat komunal, artinya memiliki ketergantungan yang sangat kuat atas kebersamaan dengan orang lain.
Secara kultural, ia menyebut bahwa masyarakat Indonesia masuk dalam kategori “masyarakat jangka pendek” atau short term society, yang ditandai dengan jargon “kita hidup untuk hari ini.” Hal ini berbeda dengan masyarakat barat yang menurutnya masuk dalam kategori long term society, di mana warganya terbiasa menyusun langkah-langkah hidup secara sistematis.
“Ini yang membuat konteks pengaturan masyarakat barat akan lebih mudah untuk diajak duduk bicara secara objektif, untuk memikirkan langkah-langkah ke depan dalam berbagai aspek kehidupan,” jelas Devie.
Selain itu, aspek spiritual yang sangat kuat membuat masyarakat selalu percaya bahwa akan ada kekuatan lain yang membantu mereka melampaui persoalan-persoalan yang ada, dalam hal ini bencana corona. “Makanya tidak mudah kampanye untuk tinggal di rumah,” katanya.
Alih-alih menerapkan lockdown apalagi dengan sanksi, masyarakat lebih baik diberikan insentif supaya mereka tergerak untuk mau melakukan penjagaan jarak aman dari kerumunan sosial.
“Bayangkan, tilang saja kita lihat banyak videonya bagaimana masyarakat bisa ngamuk-ngamuk sama polisi. Ini saya tidak terbayang, kalau misalnya dia bilang saya mau beli telur terus tiba-tiba polisi di depan pakai senjata, yang ada itu emak-emak bakal ngamuk-ngamuk. Masyarakat akan ngamuk-ngamuk. Chaos yang ada, sulit,” pungkasnya. (wip)
Sumber: Detik.com, Antaranews.com