(IslamToday ID) — Fenomena meluasnya peristiwa ‘mudik’ sebelum lebaran akhir-akhir ini yang berasal dari kota-kota besar seperti Jabodetabek dan sekitarnya menuai polemik. Sejumlah pihak pun mengemukakan pandangannya baik yang pro dan kontra.
Pihak yang kontra bersikukuh dengan pandangan bahwa saat wabah menyerang, alangkah baiknya tetap tinggal di lokasi agar wabah tidak merebak ke wilayah lainnnya.
Sementara itu, pihak yang pro, memaklumi dan menilai bahwa wajar saja para buruh, pekerja harian dan karyawan asal Jakarta terpaksa mudik, karena disana mereka tak dapat menjamin kelangsungan hidupnya terkait pangan, karena mata pencahariannya dihentikan sementara akibat wabah melanda.
Berdasarkan pantauan ITD, ada pendapat salah seorang warganet melalui akun facebooknya yang cukup menarik untuk diulas.
Nawir Rahim, misalnya, Ia berpandangan bahwa seyogyanya sejumlah kalangan mendudukkan persoalan secara lebih jernih.
Pengungsi Corona
“Mereka Bukan Pemudik, Tetapi Pengungsi Karena Corona”, demikian menurut Nawir Rahim.
Menurutnya, Frasa “Pemudik” yang disematkan pada himbauan pemerintah kepada warga untuk tidak pulang kampung akibat wabah Corona, “keliru” dan “misleading”.
“Mereka bukan “Pemudik”, tapi “Pengungsi”, tegasnya.
Nawir menambahkan bahwa mereka mengungsi karena ritme ekonomi di kota sebagai sumber mata pencaharian terhenti. Sementara Di desa, masih tersisa harapan, minimal dengan berkebun atau bertani dan tidak perlu keluar biaya sewa rumah yang sangat mahal di tengah hilangnya sumber penghasilan.
Nawir pun menekankan bahwa untuk mencegah arus pengungsian ini, sumber masalahnya yang harus diatasi dulu.
“Jika tidak, maka himbauan itu akan sia-sia saja”, pungkanya.
Selain itu, ada pula kekhawatiran baru ditengah meluasnya gerakan lockdown lokal di kampung-kampung, dan perumahan yang kini mulai viral, dimana tampak beredar begitu banyak foto di media sosial blokade gang-gang kampung dan jalur masuk lalu lintas.
Ditengarai, lockdown daerah yang terus meluas karena kesadaran warga untuk bertahan tersebut diduga dapat menimbulkan ‘chaos’, kekacauan. Bagaimana solusinya apabila mereka hendak mengungsi balik ke kampung halamannya. Akan tetapi saat sampai di depan gerbang kampungnya, mereka ditolak. Tentu hal ini akan menjadi permasalahan baru.
Sebenarnya dimana sumber masalahnya?
Penerapan Utuh UU Karantina Kesehatan
Republik ini sebenarnya telah memiliki sejumlah protokol dalam rangka menghadapi situasi wabah pandemi, misalnya UU No.6/2018 tentang kekarantinaan kesehatan yang memuat ancaman pidana. Undang-undang tersebut sekaligus memuat kewajiban pemerintah untuk memenuhi sejumlah kebutuhan masyrakat selama karantina wilayah.
Pakar Hukum Pidana, Dr. Muhammad Taufiq menegaskan, penegakan undang-undang harus berdasarkan dan tidak boleh melanggar undang undang.
Menurutnya, dalam ilmu hukum hal ini dikenal dengan prinsip Due prosses of law. Sebab, undang undang bersifat integral. Maka prosedur hukum yang adil, logis dan layak wajib dilaksanakan pihak berwenang.
Lebih lanjut Taufiq menjelaskan, UU Kekarantinaan harus berlaku utuh, sehingga desakan karatina wilayah secara nasional dapat dilaksanakan. Bahkan apabila, karantina dilakukan secara nasional atau parsial hanya wilayah dengan zona merahh yang diberlakukan, maka kekhawatiran masyarakat akan pemenuhan kebutuhan pokok tidak lagi ada.
UU Kekarantinaan Kesehatan mewajibkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan, medis, dan kebutuhan sehari hari. Bahkan pemerintah, harus bertanggungjawab pada pemenuhan makanan ternak. Sederet hak dan kewajiban itu dimuat dalam pasal 8 dan pasal 55 UU No.6/2018 tentang kekarantinaan kesehatan.
Penulis: Tori Nuariza