IslamToday ID — Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah kondisi rakyat Indonesia. Belum lepas dari bahaya corona virus (COVID-19). Surat telegram kapolri yang berisi penindakan kejahatan cyber menambah ketakutan bagi rakyat.
Sebelumnya, Jenderal Polisi Idham Azis menerbitkan tiga surat telegram yang berisi tindak kejahatan yang harus dicegah dan ditindak di masa pandemi COVID-19. Salah satu surat telegram itu berkaitan dengan kejahatan cyber, yaitu ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 yang ditandatangani Kabareskrim atas nama Kapolri, diterbitkan pada Sabtu (4/4/2020).
Kejahatan cyber yang dimaksud adalah penyebaran hoax terkait covid-19, penipuan penjualan online masker, APD, antiseptik, obat-obatan, disinfektan, tidak mematuhi penyelenggara karantina kesehatan atau menghalanginya kebijakan pemerintah.
Selain itu, telegram Kapolri itu juga memerintahkan untuk menindak siapa saja yang menghina presiden dan pejabat pemerintah, sebagaimana dimaksud pasal 270 KUHP perihal penghinaan kepada penguasa/Presiden dan pejabat pemerintah.
“Laksanakan patroli siber untuk monitoring perkembangan situasi serta opini di ruang siber,” bunyi surat yang ditandatangani Kabareskrim Polri Irjen Listyo Sigit, atas nama Kapolri Jenderal Idham Aziz itu, Ahad, (4/4/2020), seperti dikutip dari Tirto id
Menyimpang Dari Kebutuhan Masyarakat
Defny Holidin, Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI) menilai penerbitan surat telegram itu menyimpang dari tujuan dan kebutuhan masyarakat, yakni mengatasi pandemi corona agar segera berakhir.
Terlebih lagi definisi penghinaan presiden dan pejabat tidak memiliki indikator yang objektif dan terukur, sehingga akan samar dengan upaya seseorang yang hendak mengkritik.
“Jika kebijakan ini diterapkan, dampaknya kontraproduktif, menyimpangkan capaian kebijakan ini nanti dari tujuan awal garis besar kebijakan penanganan pandemi,” ujar Defny, Selasa (7/4/2020)
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai surat telegram Kapolri itu malah membuka potensi penyalahgunaan kekuasaan dan penegakan hukum. Selain itu aturan tersebut dapat memicu pelanggaran kebebasan berpendapat.
Menurut Usman, sejak awal pemerintah mengabaikan wabah ini. Akibatnya sepanjang masa pandemi Covid-19, banyak masyarakat merasa dirugikan dari kebijakan-kebijakan pemerintah. Terbitnya telegram tersebut akan membuat orang-orang yang semula berniat memberi pendapat justru takut bersuara karena ancaman hukuman
Akibatnya, pemerintah akan kesulitan mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh rakyatnya dalam kondisi genting seperti ini. Selain itu, Telegram itu bertentangan dengan rencana pemerintah untuk membebaskan 30 ribu tahanan demi menekan angka penyebaran COVID-19.
“Amnesty mendesak pihak berwenang untuk menarik surat telegram tersebut.” pungkas Usman Hamid dalam keterangan tertulis, Senin (6/4/2020).
Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai, pemerintah membutuhkan kritik di tengah penanganan Covid-19. Menurutnya pendapat kritis akan membantu pemerintah merumuskan kebijakan yang tepat bagi masyarakat.
“Situasi krisis justru membutuhkan suara kritis agar penguasa mengerti kenyataan yang terjadi di masyarakat dan dapat membuat kebijakan yang tepat bagi keselamatan rakyat,” jelas Asfinawati melalui keterangan tertulis, Selasa (7/4/2020).
Penulis. Arief Setiyanto
Sumber: Tirto id, Kompas com, dan CNN Indonesia