“Jika saat krisis 1997/1998 hanya melahirkan obligasi bertenor 30 tahun, kenapa saat ini bisa melahirkan obligasi bertenor 50 tahun. Apakah kondisi sekarang akan lebih buruk dari krisis ekonomi 1997/1998?”
IslamToday ID –-Keluarnya surat hutang negara dengan nilai dan jangka penulanasan terlama sepanjang sejarah Indonesia menjadi rekor yang sangat memalukan. Ironisnya rekor memalukan ini dikemas, seolah sebagai prestasi.
“Sepanjang lima tahun lalu, Pemerintah tak hati-hati dalam mengelola keuangan negara, sehingga kita kian terjerumus pada jurang defisit,” ujar Fadli Zon, Anggota DPR- RI dari Fraksi Partai Gerindra.
Fadli menuturkan, pada tahun 1996, rasio utang hanya 24 persen dari PDB. Pada era Presiden Soeharto itu pemerintah juga menganggap angka ini aman.
Padahal, saat krisis mulai terjadi di tahun 1997, akibat inflasi dan jatuhnya nilai tukar, rasio utang melonjak menjadi 38 persen.
Tahun 1998, rasio utang melonjak kembali menjadi 57,7 persen. Dalam kurun tahun 1999 hingga 2003, rasio utang terus melonjak, bahkan menjadi lebih dari 60 persen.
Tahun 1999 sebesar 85,4 persen, tahun 2000 sebesar 88,7 persen, tahun 2001 menjadi 77,2 persen, tahun 2002 67,2 persen dan tahun 2003 61,1 persen. Di akhir periode pemerintahan Presiden Megawati, rasio utang ada di angka 56,5 persen (2004).
Selama sepuluh tahun periode kepemimpinan Presiden SBY, rasio utang baru berhasil diturunkan. Pada tahun 2014 rasio utang berada diangka 24,7 persen dari PDB.
“Sayangnya, selama lima tahun pertama pemerintahan Presiden Jokowi, rasio utang kita kembali meningkat hingga di atas 30 persen,” ujar Fadli Zon
Di sisi lain, jumlah utang yang terus meningkat, tidak dibarengi dengan laju kenaikan pendapatan. Penambahan utang jauh lebih cepat dari kenaikan pendapatan.
Ia mencontohkan, pada masa pemerintahan Presiden SBY rasio pajak selama 10 tahun 14,86 persen. Namun, rasio pajak dalam lima tahun pertama pemerintahan Presiden Jokowi hanya 11 persen.
Akibatnya rasio utang Pemerintah terhadap pendapatan negarapun meningkat. Jumlah utang di akhir tahun 2019 sudah 2,5 kali lebih besar daripada pendapatan.
“Sepanjang lima tahun lalu, Pemerintah tak hati-hati dalam mengelola keuangan negara, sehingga kita kian terjerumus pada jurang defisit,” kata Fadli
Ia khawatir pemerintah tidak sanggup membuat terobosan untuk mengatasi krisis yg tengah berlangsung. Menurutnya, pemerintah seharusnya berusaha membuat banyak terobosan, bukan terjebak pada solusi konvensional dengan terus-menerus memperbesar utang.
Bahaya
Sebelumnya, selasa (7/4/2020) menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa Indonesia telah mengeluarkan surat hutang di tengah pandemi Covid-19. Sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan keberhasilan pemerintah dalam menerbitkan global bond menjadi bukti masih adanya kepercayaan pasar terhadap Indonesia di tengah perlambatan ekonomi global karena penyebaran virus corona.
“Keberhasilan global bond adalah bentuk kepercayaan di tengah ketidakpastian (ekonomi di dunia), tapi Indonesia masih dipercaya,” ujar Perry.
Namun, terbitnya surat hutang dengan jangka waktu pelunasan hingga 50 tahun dinilai sebagai bencana kedua pasca corona. Indonesia jadi terjebak dalam lilitan hutang dalam jangka yang sangat panjang.
Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan mengatakan, Sejak awal, pemerintah sudah diingatkan agar tidak memanfaatkan sumber pendanaan dari global bond di saat pandemik Covid-19. Sebab, para manager fund global akan mematok yield yang sangat tinggi.
“Ternyata, peringatan tersebut tidak diindahkan oleh Menteri Keuangan dan akhirnya Indonesia masuk dalam perangkap lilitan global bond berbunga tinggi,” kata Heri Kamis (9/4/2020) seperti dilansir Indonesiainside
Ia membandingkan perbandingan, surat utang Seri RI1030 senilai 1,65 miliar dolar AS dengan tenor 10,5 tahun yang jatuh tempo pada 15 Oktober 2030 dipatok yield/kupon sebesar 3,9 persen. Padahal Obligasi Pemerintah AS dengan tenor 10 tahun hanya dipatok yield/kupon 0,72 persen.
Sebelumnya pada 14 Januari 2020 lalu pemerintah sudah menerbitkan tiga seri surat utang negara (SUN) berbentuk valuta asing. Ketiga surat utang iru berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) dan euro dengan total nilai Rp43 triliun. Yakni, RI0230 dan RI0250 yang berdenominasi dolar AS dan RIEUR0227 yang berdenominasi euro.
Ternyata yield SUN berdominasi dolar AS yang diterbitkan pemerintah pada Januari 2020 lalu jauh lebih rendah dibanding tingkat yield SUN berdominasi dolar AS yang diumumkan Menteri Keuangan, Selasa (7/4/2020). Selisih 1,05 persen untuk surat utang yang bertenor 10 tahun dan 0,75 persen untuk surat utang yang bertenor 30 tahun.
“Artinya pemerintah menemui jalan buntu dan akhirnya menerima global bond dengan persyaratan yang sangat berat tersebut. Masih bilang ini prestasi?” imbuhnya
Artinya, selain dicekik dengan yield tinggi, Indonesia juga terperangkap hutang dalam jangka waktu yang sangat lama, yakni 50 tahun. Jika saat krisis 1997/1998 hanya melahirkan obligasi bertenor 30 tahun, kenapa saat ini bisa melahirkan obligasi bertenor 50 tahun.
Apakah kondisi sekarang akan lebih buruk dari krisis ekonomi 1997/1998 ?
Penulis: Arief Setiyanto