IslamToday ID — Johns Hopkins University mengungkapkan tingkat kematian akibat terinfeksi Covid-19 di Indonesia paling tinggi, se-ASIA (26/4). Tingginya tingkat kematian Indonesia saat ini ada di angka 8-9%, jumlah kasus kematian 743 kasus dengan jumlah kasus positif corona ada 8.882 kasus.
Hasilnya tingkat kematian di Indonesia adalah 8,4%. Sementara itu tingkat kematian di negara-negara Asia yang lain berada di presentase seperti Filipina (6,5%), Singapura (0,1%), Malaysia (1,7%), China (5,6%), Jepang dan Korea Selatan (2-3%).
Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia juga belum terlihat dampaknya. Adapun, tingkat kematian di Indonesia pada (9/4/2020) yaitu ada di presentase 8,5% yakni ada 280 orang meninggal dunia dari 3.293 kasus korban positif.
Pada hari pelaksanaan (PSBB) pertama (10/4) tingkat kematiannya ada di 8,7% dengan 306 kematian dari 3.512 kasus positif. Berikutnya, sehari selang PSBB (11/4) ada 327 orang meninggal dan 3.842 positif terinfeksi maka tingkat kematian di Indonesia yaitu 8,5%. Pemerintah secara konsisten menampilkan data tingkat kematian berkisar 8,4% hingga 8,7% setiap harinya.
Satu-satunya cara untuk bisa menekan penambahan korban terinfeksi Covid-19 adalah dengan cara melakukan tes massal. Namun, hal ini bukan hal yang mudah bisa dilaksanakan. Mahalnya biaya test membuat penduduk miskin tidak bisa mengikuti tes Covid-19. Rumah sakit dan pemerintah hanya menyediakan pemeriksaan gratis bagi mereka yang pernah kontak dengan pasien yang terinfeksi.
Akses tes Covid-19 yang gratis tidak berlaku bagi masyarakat yang memiliki gejala klinis tanpa melalui kontak dengan kasus positif corona dan tidak datang ke daerah yang beresiko. Sementara biaya tes Covid-19 itu terbilang mahal yakni Rp 770 ribu hingga Rp 1 juta. Bagi mereka yang berpenghasilan rendah tentu tes ini tidak terjangkau.
Alhasil akses yang tidak merata dalam pelaksanaan tes Covid-19 akan sangat berbahaya bagi keselamatan masyarakat. Banyak kasus yang kemungkinan tidak terdeteksi sejak awal sehingga mengalami keterlambatan diagnosis.
“Deteksi dini melalui tes skala besar merupakan strategi kunci untuk menekan laju pandemi. Namun, dengan proporsi tes sebesar 184 tes per satu juta populasi, Indonesia termasuk salah satu negara dengan proporsi tes terendah di dunia – jauh lebih rendah dibandingkan dengan Singapura (16.203), Australia (17.412), Korea Selatan (11.138) atau Italia (23.985),” ungkap Dosen Sosiologi UGM, Fina Itriyati (22/4/2020).
Janji Tes Massal
Pada (19/3) lalu Presiden Jokowi pernah menjanjikan adanya tes massal Covid-19. Namun hingga kini janji itu pun belum juga terealisasi. Pemerintah harus memastikan bahwa tes massal tersebut bisa dilakukan gratis oleh semua kalangan masyarakat. Bahkan, pemerintah perlu menjadikan tes massal sebagai prioritas utama dalam penanggulangan Covid-19 di seluruh Indonesia.
Sebulan telah berlalu janji Presiden Jokowi mengadakan tes massal Covid-19 belum juga terpenuhi. Hal inilah yang ditagih oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada (21/4) lalu. IDI menagih janji pengadaan tes massal dan pengadaan obat Covid-19. Padahal, pemerintah memiliki kapasitas untuk mengadakan tes spesimen Covid-19.
“Dari kemarin kan katanya, akan terus. Tapi, bagaimana realisasinya? Seperti dulu mau mendatangkan 2 juta tablet Avigan (obat untuk pasien Covid-19), sampai hari ini juga enggak ada barangnya,” Wakil Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Slamet Budiarto (21/4/2020).
Saat ini Indonesia menjadi negara dengan tes massal paling sedikit dan tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain. Hingga (27/4) jumlah uji tes swab atau Polymerase Chain Reaction (PCR) di Indonesia baru 75.157 spesimen dari 59.409 orang, sementara populasi di Indonesia angkanya mencapai 264 juta jiwa.
Terhitung Indonesia sudah dua kali alat tes corona impor sampai di Indonesia, 500 ribu dari China dan 18 lightcycle dari Swiss. Pertama pada (19/3) alat rapid test dari China dan kedua, pada (7/4) impor alat tes PCR dari Swiss yang dilakukan oleh Kementerian BUMN tiba di Indonesia. Alat tes dari Swiss tersebut diprediksi mampu melakukan 10 ribu tes spesimen perharinya. Alat tes swab dari Swiss ini didistribusikan keduabelas provinsi di Indonesia yaitu Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Papua.
Pemerintah Indonesia melalui Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penangananan Covid-19, Doni Monardo mengumumkan bahwa Indonesia akan memproduksi alat tes swab secara massal pada (27/4). Direncanakan Indonesia melalui perusahaan BUMN Bio Farma akan memproduksi 100.000 alat tes PCR lokal. Ironisnya, produksi alat tes tersebut melibatkan sebuah perusahaan ventura besar yang kemarin heboh gara-gara keterlibatannya dalam program Kartu Prakerja.
Covid-19 Indonesia di Mata Asing
Max Roser seorang peneliti dari Universitas Oxford pernah mengkritik pemerintah Indonesia akibat rendahnya jumlah tes corona di Indonesia. Menurutnya, pada (15/4) baru melakukan 0,12 dari 1.000 orang, di tanggal tersebut Indonesia baru melakukan tes kepada 33 ribu orang dari total 100 ribu orang yang berstatus Orang Dalam Pengawasan (ODP). Saat itu jumlah tes corona Indonesia lebih rendah daripada negeri tetangga terdekatnya, Malaysia 87 ribu tes (2,65 tes per 1000 orang) dan Singapura 39 ribu tes (0,36 per 1000 orang).
Selain Max Roser, Ilmuwan Amerika Barbara Marston juga mempertanyakan bagaimana pelaksanaan tes Covid-19 di Indonesia. Mengingat tingginya tingkat kematian akibat Covid-19 di Indonesia. Semakin banyak tes Covid-19, maka semakin banyak kasus yang bisa teridentifikasi.
“Jika sebuah negara menyajikan data, lalu kita melihat sedikitnya jumlah kasus tetapi angka kematian yang relatif tinggi, kami menjadi penasaran apakah ada kasus-kasus yang tak dilaporkan,” tutur Barbara Pimpinan Gugus Tugas Covid-19 AS (CDC) (15/4/2020).
Sementara itu, dengan melihat tingkat kematian akibat Corona yang tinggi, mencapai 8,7% (26/3) lalu, membuat peneliti Pusat Pemodelan Matematika Penyakit Menular (CMMID) London, Inggris mengungkap fakta lain kematian akibat Covid-19. Mereka menyayangkan tingginya tingkat kematian dan rendahnya angka tes Covid-19 di Indonesia. Oleh karena itu, peneliti Inggris menduga ada banyak kasus yang tidak terdeteksi di Indonesia yang mungkin jumlahnya bisa mencapai ratusan ribu.
Pemerintah Lamban
Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI), Dr Pandu Riono menilai pemerintah cenderung lambat dalam merespon keberadaan wabah Covid-19. Pada awal Maret Indonesia hanya memiliki satu laboratorium untuk melakukan tes Covid-19. Sehingga, hasil tes swab tidak bisa segera diketahui, hal ini membuat para petugas medis terlambat dalam memberikan perawatan yang sesuai dengan penyakit pasien. Akibatnya, rumah sakit banyak yang kewalahan dalam menghadapi banyaknya kasus yang muncul di lapangan.
“Jika otoritas bertindak cepat dan menunjuk banyak RS untuk menangani kasus Covid-19, maka sumber daya manusia, peralatan, dan pengobatan akan sepenuhnya dioptimalkan di beberapa RS. Seluruh ranjang bisa dipakai, sehingga tingkat kematian bisa lebih rendah karena fokus merawat sejumlah pasien Covid-19 yang terbatas di ruang isolasi RS,” kata Pandu Riono (26/4/2020).
Keterlambatan pemerintah inilah yang memicu rumah sakit-rumah sakit di Indonesia tidak siap dalam menghadapi banyaknya kasus Covid-19. Pada akhir Maret lalu misalnya banyak rumah sakit daerah yang tidak siap menghadapi lonjakan jumlah pasien Covid-19. Sementara pemerintah pun cenderung lambat dalam menyediakan dan mendistribusikan alat medis yang dibutuhkan. Alhasil, banyak rumah sakit saling berebut alat pelindung diri (APD).
“Masker N95 misalnya ini dibutuhkan yang berada di garda terdepan tapi barang itu mungkin terbatas sampai bersaing dengan rumah sakit lain untuk mendapatkan itu,” ungkap Sekjen Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) dr. Lia G Partakusuma (19/4/2020).
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza