IslamToday ID — Ramadhan ditengah pandemi corona virus diseases (COVID-19) membuat masjid-masjid terasa sepi. Tak ada buka puasa bersama, tadarus Al-Qur’an, tarawih hingga i’tikaf pun ditiadakan di Masjid.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, ternyata i’tikaf yang menjadi sarana bertafakur dan mendekatkan diri kepada Allah, turut menjadi titik tolak lahirnya organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII).
Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 4 Mei 1947. PII digagas oleh Djoesdi Ghozali, mahasiswa Fakultas Hukum Sekolah Tinggi Islam (STI), sekarang Universitas Islam Indonesia (UII).
Pemuda kelahiran Klaten, 20 Oktober 1923 ini gelisah, dengan kondisi umat dan negerinya. Penjajahan telah meninggalkan dualisme dalam sistem pendidikan di Indonesia. Pondok pesantren dan sekolah umum yang memiliki orientasi yang berbeda. Pondok pesantren berorientasi ke akhirat, sementara sekolah umum berorientasi ke dunia.
Dalam Kenangan Indah Pelajar Islam Indonesia, polarisasi tersebut sampai-sampai menimbulkan friksi yang tajam. Para santri menjuluki pelajar sekolah umum dengan “pelajar kafir”, karena menjalankan sistem pendidikan warisan Belanda. Sebaliknya, pelajar sekolah umum menilai pondok pesantren kolot dan tradisional; mereka menjulukinya dengan sebutan “santri kolot”.
Kondisi itu membuat Djoezdi Goezali gelisah, ia berfikir keras hingga akhirnya melabuhkan jiwa dan pikirannya di Masjid Gedhe Kauman Ngayogyakartahadirningrat. Dalam i’tikafnya, terlintas dalam pikirannya untuk untuk membentuk suatu organisasi yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam.
Alumnus Madrasah Mambaul Ulum Solo ini pun mengumpulkan sahabat sahabatnya, Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zakhasyi, dan Noersjaf. Mereka sepakat untuk mendirikan organisasi pelajar Islam.
Kesepakatan itu kemudian disampaikan dalam Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), pada tanggal 30 Maret-1 April 1947 di Gedung Muallimin. Perdebatan sempat mewarnai kongres tersebut, namun akhirnya peserta sepakat untuk membentuk organisasi pelajar Islam yang tunggal dan independen dengan nama Pelajar Islam Indonesia (PII).
Ahad, 4 Mei 1947 menjadi momentum bersejarah bagi PII. Kantor GPII Jalan Margomulyo No.8 Yogyakarta saksi berdirinya organisasi yang bertekad mendidik anggotanya menjadi orang yang berkepribadian Muslim dan tunduk patuh hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Kiprah PII
Saat Belanda melancarkan Agresi Militer I, PII membentuk Brigade PII di Ponorogo, Jawa Timur, pada 6 November 1947, Organisasi otomom dibawah pimpinan Abdul Fattah Permana ini, turut berjuang melawan Belanda. Brigade PII bahkan sejajar dengan laskar rakyat lainnya seperti Hizbullah, BPRI, TRIP, Sabilillah, Tentara Pelajar IPPI, TPI, Corps Pelajar Solo, dan lain-lain.
Brigade PII juga membantu logistik, medis, dan bergerilya selama hingga Konverensi Meja Bundar (Brigade PII juga sempat bergabung dengan pasukan Batalyon 17 di bawah pimpinan Chalil Badawi dan Ahmad Tirto Sudiro di daerah Magelang, Jawa Tengah.
Tahun 1948, PII berhadapan dengan massa PKI pimpinan Muso, dalam Peristiwa Pemberontakan PKI Madiun. Komandan Brigade PII Madiun, Surjo Sugito, yang masih duduk di sekolah menengah, gugur dalam pertempuran tersebut.
Tidak hanya itu, pada 13 Januari 1965, ketika seratus lebih peserta Latihan Kader PII menunaikan sholat subuh, ribuan massa PKI dengan nenenteng senjata tajam menyerbu KH Said di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri. Mereka melukai peserta dan merusak rumah Kyai itu.
”Setelah kami semua salat subuh pada hari keempat atau pada tanggal 13 Januari 1965, kami kedatangan tamu tak diundang. Saat itu ada pengajian,”. Ibrahim berhenti sejenak. Bibirnya mengatup sebentar. ”Ada ribuan, mungkin lima ribu orang mengepung kami,” kata panitia kegiatan tersebut. Mohammad Ibrahim dikutip dari Sindonews (30/9/2017)
”Ayo bunuh antek-antek nekolim. Ayo bunuh anak-anak Masyumi”, imbuhnya.
Menurut analisa Ibrahim, penyerbuan Kanigoro merupakan latihan PKI sebelum G30S PKI. Ini adalah prolog sebelum gerakan September 1965. Penyerbuan Kanigoro juga merupakan ‘test case’ kekuatan di luar PKI.
PII juga aktif menyuarakan aspirasi rakyat dan turut serta dalam aksi TRITURA atau tiga tuntutan rakyat pada era presiden Soekarno. Saat pemerintahan dikendalikan PII juga sering melontarkan kritik dan protes, sebab karena banyaknya kebijakan tidak sesuai dengan yang diharapkan masyarakat dan umat Islam. Sampai pemerintah menyatakan bahwa PII tidak diakui karena tidak memenuhi persyaratan undang-undang dan semua kegiatan PII dilarang.
Penulis: Arief Setiyanto
Redaktur: Tori Nuariza