IslamToday ID – Warga Negara Indonesia yang menjadi Anak Buah Kapal (ABK) di kapal Long Xing 629 mengalami perbudakan. Pangakuan WNI yang menjadi ABK di kapal berbendera China itu pertama kali disiarkan oleh media di Korea Selatan MBC News.
Praktek perbudakan ini terungkap ketika kapal tersebut merapat ke Busan pada 23 April 2020 lalu. Seorang ABK dilarikan kerumah sakit setelah mengeluh sakit dibagian dada, namun akhirnya meninggal tanggal 27 April 2020 lalu. Kemudian para awak kapal mengadukan penderitaan yang mereka alami kepada aparat setempat, hingga akhirnya disiarkan oleh MBC News Korea
MBC News turut menyiarkan video pelarungan jenazah anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia (WNI) di Kapal, Long Xing 629, mengundang keprihatinan masyarakat. Kuat dugaan adanya praktek perbudakan di kapal berbendera China itu.
Tiga awak kapal asal WNI meninggal saat kapal sedang berlayar di Samudera Pasik. Padahal dalam kontrak perjanjian, seharusnya jasad atau dikremasi jenasah diserahkan kepada pihak keluarga. Ketiga jenasah yang meninggal dan dilarung itu adalah Ari (24), Alfata (19) dan Sepri (24).
“Mulanya teman saya merasa kakinya kebas (mati rasa), kemudian kaki mereka mulai membengkak, begitu juga tubuhnya, sehingga sulit bernapas,” tutur salah seorang ABK WNI
Perbudakan
Menurut mereka, kondisi di kapal ikan tersebut sangat buruk. Para ABK disuruh bekerja 18 jam sehari baru duduk setiap 6 jam.
“Bekerja terus, buat makan (hanya dapat waktu) sekitar 10 menit dan 15 menit. Kami bekerja mulai jam 11 siang sampai jam 4 dan 5 pagi,” ujarnya BR salah satu WNI yang menjadi ABK di kapal tersebut, Kamis (7/5/2020).
Para WNI yang menjadi ABK di kapal tersebut juga mengakui, mengalami didiskriminasi. Para ABK Cina bisa meminum air kemasan, sedangkan pelaut Indonesia minum dari air laut yang disuling. Minuman tersebut sering membuat pusing kepala mereka.
Tidak hanya itu, ABK asal Indonesia juga makan-makanan yang tidak layak. ABK asal Indonesia sering kali makan ikan yang biasa dipakai untuk umpan. Sementara mereka yang berasal dari makan yang segar-segar dan enak-enak,
“kalau kami sering kali makan ikan yang biasanya buat umpan itu.” Ujar KR (19) ABK asal Manado
Jam Kerja
Selain itu, kapten kapal juga mengharuskan kepada ABK Indonesia mencapai target tangkapan ikan dalam jumlah tertentu setiap harinya. Akibatnya, terkadang mereka hanya tidur tiga jam.
Selain itu, mereka juga mendapat gaji yang tidak sepadan dengan beban pekerjaan. Mereka hanya menerima USD120 atau sekitar Rp 1,8 juta untuk bekerja di laut selama setahun lebih. Sejumlah ABK Indonesia bahkan mengaku gaji mereka belum dibayar.
Praktek perbudakan ini terungkap ketika kapal tersebut merapat ke Busan pada 23 April 2020 lalu. Seorang ABK dilarikan kerumah sakit setelah mengeluh sakit di bagian dada, namun akhirnya meninggal tanggal 27 April 2020 lalu. Kemudian para awak kapal mengadukan penderitaan yang mereka alami kepada aparat setempat, hingga akhirnya mencuat di MBC News Korea.
Kasus ini sempat dilaporkan lembaga hak asasi manusia di negara tersebut kepada kepolisian pantai di Korea Selatan. Ironisnya, 29 April 2020 kapal tersebut sudah bertolak dari pelabuhan dan apparat setempat mengaku sudah tidak bisa melacak jejaknya.
Pengacara Publik Kim Joung-cheol mengatakan, seharusnya pemerintah mengusut kejadian tersebut, karena pemerintah korea telah menandatangani aturan internasional untuk mencegah perdagangan manusia, kerja paksa dan eksploitasi seksual.
Duta Besar Indonesia untuk Korea, Umar Hadi mengaku terus memantau kondisi para ABK. Tercatat ada 15 orang yang turun di Busan dan meminta bantuan hukum. Ia menambahkan, KBRI Seuol dan KBRI Beijing sudah berkoordinasi untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan yang mempekerjakan ABK asal Indonesia itu, termasuk meminta pertanggungjawaban agen yang menyalurkan mereka.
“Semua sudah terdata, perusahaannya, pemiliknya sampai agen yang merekrut mereka, semua kita desak untuk bertanggungjawab,” ujar Umar Hadi.
Tanggapan Normatif
Lembaga yang bergerak di bidang advokasi dan perlindungan pekerja migran Indonesia, Migrant Care, menilai respons Kementerian Luar Negeri RI atas dugaan perbudakan ABK WNI di kapal China normatif. Menurut Migrant Care, respons Kemlu harus menuju ke pokok persoalan.
“Migrant CARE menilai respons Kementerian Luar Negeri RI bersifat normatif namun belum menukik pada pokok persoalan apakah sudah ada desakan bagi investigasi pelanggaran hak asasi manusia, juga belum ada pernyataan tegas untuk memastikan pemenuhan hak-hak ABK tersebut,” demikian pernyataan Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, Kamis (8/5).
Wahyu Susilo mengatakan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia belum maksimal memperjuangkan penegakan hak asasi pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan.
Sebelumnya diketahui, Kemlu RI menyatakan akan memanggil Duta Besar China di Jakarta untuk mengklarifikasi soal tuduhan perbudakan dan pelarungan jasad WNI di kapal Long Xing 629. Saat ini, sekitar 14 ABK WNI tersebut berada di Busan, Korea Selatan, menunggu pemulangan ke tanah air.
Dalam pernyataannya, Kemlu RI mengatakan telah memastikan pemenuhan hak-hak para WNI oleh perusahaan mereka. Kemlu juga akan memastikan bahwa pelarungan jenazah para ABK sesuai dengan aturan kelautan Organisasi Buruh Internasional (ILO).
Selain itu, Migrant Care menyayangkan belum adanya tanggapan dari Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia terkait masalah ini.
“Migrant CARE mendesak Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia untuk bersikap pro-aktif memanggil para agen pengerah ABK tersebut (berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan) untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dan apalagi ditemukan pelanggaran hukum harus diteruskan melalui mekanisme hukum yang berlaku,” tukas Wahyu.
Menurutnya, sektor kelautan dan perikanan memang tempat praktik perbudakan modern yang terburuk. Wahyu mengutip laporan Global Slavery Index yang dikeluarkan Walk Free tahun 2014-2016 yang mencatat ada ratusan ribu ABK Indonesia di kapal-kapal penangkap ikan berada dalam perangkap perbudakan modern.
“Jika kondisi tersebut masih berlangsung sampai sekarang, maka situasi memang belum berubah dan ini tentu sangat menyedihkan,” tandas Wahyu.
Di masa Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudiastuti, terang Wahyu, Pemerintah Indonesia pernah terlibat dalam upaya memerangi perbudakan di sektor kelautan. Namun inisiatif ini lebih banyak menyangkut soal perbudakan di perairan Indonesia, tidak meluas pada nasib ABK WNI di kapal asing.
“Inisiatif ini pun tidak mendapat dukungan signifikan dari Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perhubungan atau BNP2TKI (waktu itu, sekarang menjadi BP2MI),” jelas Wahyu Susilo.
Selain itu, Wahyu menganggap para ABK ini rentan karena tak ada instrumen perlindungan yang memadai sebagai payung perlindungan bagi mereka.
“Meskipun UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia mengamanatkan adanya aturan khusus mengenai Pelindungan Pekerja Migran Di sektor Kelautan dan Perikanan, namun hingga saat ini aturan turunan tersebut belum terbit,” kata Wahyu.
“Bahkan terlihat ada kecenderungan berebut kewenangan antara Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan perlindungan Pekerja Migran Indonesia,” imbuhnya.
Penulis: Arief Setiyanto
Editor: Tori Nuariza