IslamToday ID — Iuran peserta BPJS akhirnya resmi dinaikkan oleh Presiden Jokowi melalui Peraturan Presiden (Perpres) No.64/2020. Perpres ini mulai berlaku untuk bulan April, selain itu selama tiga bulan terhitung April hingga Juni pemerintah masih menggunakan tarif iuran BPJS sesuai dengan Perpres No. 82/2018. Kini publik ramai-ramai mengkritik kebijakan Presiden Jokowi, baik mereka yang berada dalam kubu oposisi hingga mereka yang berada di barisan pendukung pemerintahan, misalnya sikap berbeda sejumlah tokoh PDIP.
Perpres tersebut menjadi payung hukum pemerintah tentang tarif iuran peserta BPJS akhirnya dikeluarkan Presiden Jokowi, setelah hampir dua bulan lebih tanpa kepastian. Terutama pasca pembatalan Perpres No.75/2019 oleh MA pada (9/3). Ironisnya, di tengah-tengah situasi wabah Covid-19 ini, Presiden hanya beberapa kali saja menyinggung BPJS. Salah satunya adalah agar pembiayaan pasien Covid-19 peserta BPJS menggunakan anggaran dari APBN dan APBD.
“Kita harus memastikan bahwa gubernur, bupati, wali kota juga melakukan realokasi anggaran APBD untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang terpapar Covid-19,” kata Presiden Jokowi (24/3) lalu.
Defisit BPJS yang terjadi sejak tahun 2015 ini membuat ia berjanji akan melakukan pembenahan BPJS secara total di tahun 2020 ini. Hal ini disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato penentuan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 dan Nota Keuangan pada (16/8/2019). Salah satu “pembenahan” yang dimaksud oleh Presiden Jokowi adalah penetapan naiknya iuran BPJS.
Naiknya iuran BPJS ini secara resmi ditetapkan melalui Perpres No.75/2019 yang diteken oleh Presiden Jokowi pada 24 Oktober 2019. Perpres dikeluarkan empat hari setelah ia resmi dilantik sebagai presiden untuk periode kedua. Hal ini dikarenakan beban keuangan yang ditanggung oleh BPJS teramat berat, angka defisit tahun 2018 ialah Rp 19,4 T belum lagi hutang BPJS ke rumah sakit seluruh Indonesia per 30 September 2019 mencapai Rp 17 T.
Jurus menambal defisit BPJS paling kontroversial yang pernah dikeluarkan oleh Presiden Jokowi terjadi di tahun 2018 ketika pemerintah menggunakan pajak rokok untuk menutupi defisit BPJS (17/9/2018). Bahkan aturan penggunaan pajak rokok untuk menutupi defisit BPJS ditetapkan dalam satu aturan yang sama dengan naiknya iuran BPJS tahun 2018. Aturan tersebut adalah Peraturan Presiden (Perpres) No.82/2018.
“Sudah saya keluarkan. Pertama, amanat Undang-Undang bahwa 50% cukai rokok itu digunakan untuk pelayanan kesehatan. Yang namanya layanan kesehatan harus dilakukan sebaik-baiknya sehingga defisit itu sebagian ditutup dari cukai rokok,” kata Presiden Jokowi (19/9/2018).
Fakta hutang yang lainnya yang dimiliki BPJS terungkap pada Desember 2019, BPJS menanggung hutang pada perusahaan farmasi tanah air. Menurut catatan Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) kebutuhan obat obat pasien BPJS 90 %nya dipenuhi oleh mereka dan masih berstatus hutang. Hutang yang menumpuk pada GPFI mencapai angka Rp 7 T menyebabkan terjadinya kekosongan obat bagi para pasien BPJS.
Sebelumnya, di Februari 2019 Indonesia Corruption Watch atau ICW menemukan ada 85 kasus kekosongan obat di empat daerah seperti Medan, Badan Aceh, Serang, dan Blitar. Bahkan kekosongan obat telah menjadi fenomena gunung es yang terjadi di seluruh rumah sakit pemerintah dan swasta. Untuk menambal defisit tahun 2017, pemerintah pada tahun 2018, menghapus obat kanker payudara “Trastuzumab” dari daftar obat katastropik atau berbiaya mahal dari pembiayaan BPJS. Kasus ini kemudian digugat oleh salah satu pasien kanker, Juniarti pada 27 Juli 2018.
Kritik Pedas PDIP
Rupanya ragam cara yang diterapkan Presiden Jokowi untuk menyelamatkan BPJS belum juga menampakan hasil. Hingga kini defisit BPJS menjadi masalah serius yang selalu berulang setiap tahunnya. Meskipun anggaran kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah juga telah mengalami kenaikan.
Besaran anggaran BPJS dari tahun ke tahun (dalam triliun) Rp 74,2 (2015), Rp 106,1 (2016), Rp 104 (2017), Rp 111 (2018), Rp 123,1 (2019) dan tahun 2020 direncanakan sebesar Rp 132,2. Menkeu, Sri Mulyani mencatat besaran defisit BPJS dari tahun ke tahun (dalam triliun) adalah Rp 1,9 (2014), Rp 9,4 (2015), Rp 6,7 (2016), Rp 13,8 (2017), Rp 19,4 (2018). Pada Maret lalu, Menkeu Sri Mulyani mengungkapkan defist BPJS tahun 2019 adalah Rp 13 T, bahkan itu setelah BPJS mendapatkan suntikan dana Rp 15 T.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, Presiden Jokowi memilih kembali menaikan iuran BPJS setelah sempat dibatalkan oleh MA. Dalam keadaan normal pun kebijakan menaikan iuran BPJS banyak dikeluhkan oleh masyarakat meskipun pemerintah kerap berargumen bahwa semata-mata demi BPJS. Dan kini ketika situasi sedang dilanda pandemi Covid-19 pemerintah menetapkan bahwa iuran BPJS tetap naik mulai Juli nanti.
Pengkritik kebijakan Presiden Jokowi kini bahkan berasal dari lingkungan terdekatnya, yakni partai pendukung pemerintah, PDIP. Setelah kehadiran Perpres No. 64/2020 mulai ramai diperbincang oleh publik secara serentak kader-kader PDIP bersuara. Sejumlah anggota DPR, walikota dan gubernur dari intern PDIP pun memprotes kebijakan sang presiden.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Walikota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo misalnya, keduanya mengatakan bahwa naiknya BPJS memberatkan rakyat. Menurut Ganjar kebijakan yang diambil oleh Presiden Jokowi sangat tidak populer. Dia berharap kebijakan ini bisa membuat BPJS bertindak lebih profesional. Di sisi lain ia juga meminta agar sistem jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) bisa kembali dimanfaatkan.
“Ini berat bagi rakyat kalau benar-benar iuran BPJS naik. Pemda minta buatkan lagi Jamkesda daripada BPJS keberatan,” tutur Ganjar (14/5/2020).
Senada dengan sang gubernur, Rudy menilai kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Jokowi memberatkan rakyat di tengah-tengah situasi banyaknya PHK akibat wabah Covid-19 yang meluas. Di sisi lain Rudy menilai kebijakan yang ditetapkan oleh presiden membuat pemda bingung. Menurutnya, kebijakan yang ditetapkan oleh MA pun belum dijalankan tapi sudah ada regulasi baru yang ditetapkan oleh pemerintah.
“Karena keputusan MA belum dijalankan, tapi sudah ada aturan baru, ini membuat pemda bingung. Keputusan MA kan baru saja itu. Tapi sekarang muncul perpres baru lagi. Ini mesti harus diluruskan dulu”, kata Rudy (14/5/2020).
Kritik ’Setengah Hati’
Fenomena kritik ke Presiden Jokowi yang dilakukan oleh kader-kader PDIP di mata Pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas) Andi Yusran sebagai sesuatu yang tidak tepat. Menurutnya seharusnya kritik tidak bersifat individual atau dilakukan per kader, melainkan secara kelembagaan melalui DPR.
Ia menilai kritikan tersebut hanyalah setengah hati, artinya hanya ingin menegaskan kepada publik, terutama kepada pendukung yang loyal kepada partai berlambang banteng tersebut. Mereka hanya ingin menegaskan kepada pendukungnya bahwa PDIP tidak setuju dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Presiden Jokowi.
“Jika sekiranya PDI Perjuangan secara kelembagaan ‘serius’ menolak maka idealnya Fraksi PDI-P di DPR bisa menginisiasi penggunaan hak ‘interpelasi’ dan atau hak-hak lainnya secara lebih optimal,” (15/5/2020).
Senada dengan yang disampaikan oleh Andi Yusran, Ubedillah Badrun menilai banjir kritik yang dilakukan oleh kader-kader PDIP kepada Presiden Jokowi hanyalah kepura-puraan dan menjadi ajang panggung politik semata. Ia bahkan tidak percaya dengan pernyataan kader-kader PDIP yang menolak kenaikan premi BPJS. Mengingat sasaran kritiknya hanya diberikan kepada Presiden Jokowi yang juga menjadi petugas partai PDIP.
“Dalam konteks sikap itu saya belum percaya dengan sikap PDIP. Kalau partai penguasa itu cenderung ditempatkan sebagai gertak sambal saja. Ujung-ujungnya ya jadi stempel pemerintah. Buktinya anggota DPR dari fraksi berkuasa ini juga sering pura-pura kritis. Misalnya dalam kasus Perppu KPK, Perppu Corona, RUU Minerba. Bahwa mereka hanya melakukan dramaturgi politik. Panggung depan dan panggung belakang politik mereka terlalu vulgar perbedaannya,” jelasnya (15/5/2020).
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza