IslamToday ID – Presiden Jokowi sekarang mempunyai wewenang untuk ‘mengurus’ promosi, mutasi, bahkan pemberhentian jabatan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mungkinkah ‘job sampingan ini bernuansa politik, meskipun Presiden Jokowi mustahil mencalonkan diri kembali?
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS, kini Presiden Jokowi memiliki wewenang untuk ‘mengurus’ promosi, mutasi, bahkan pemberhentian jabatan di lingkungan kementerian/lembaga pemerintah apabila terdapat pelanggaran prinsip sistem ‘merit’ yang dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).
Aturan ini semakin menguatkan wewenang presiden Jokowi dalam manajemen PNS. Presiden Jokowi bisa dengan mudah mencabut kewenangan kementerian/lembaga dalam mengangkat, mutasi, bahkan memberhentikan PNS.
Dalihnya, wewenang ini dipakai jika ada pelanggaran pelanggaran prinsip sistem merit oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Sistem merit yang dimaksud ialah manajemen PNS berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja dan mengesampingkan faktor politik, ras, agama, asal usul, jenis kelamin, dan kondisi kecacatan.
“Apapun isinya karena itu sudah disetujui dan ditandatangani presiden ya kita harus konsisten dengan apa yang diatur. Apapun isinya kan ini sudah melalui proses pembahasan,” ujar Wakil Ketua Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Tasdik Kinanto, seperti dilansir CNN Indonesia, Jumat (15/5/2020).
Kekuatan presiden itu jelas tertuang dalam Pasal 3 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2020 tersebut. Selaku pemegang kekuasaan tertinggi, presiden berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS.
Selain itu, Presiden juga dapat mendelegasikan kewenangan itu kepada menteri di kementerian, pimpinan lembaga, sekretaris jenderal, gubernur, dan bupati, wali kota. Begitu pula untuk Jaksa Agung, Kapolri, Kepala Badan Intelijen Negara, dan pejabat lain.
Pendelegasian kewenangan tersebut juga dapat ditarik kembali oleh presiden, sebagai mana termaktub dalam pasal 3 ayat 7. Yakni, jika terjadi pelanggaran prinsip sistem merit yang dilakukan PPK. Selain itu dengan dalih peningkatan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Aturan ini, tentu menjadi ‘ warning’ bagi para pejabat lembaga negara tanpa terkecuali. Mulai dari pejabat di lingkaran kementerian, pemerintah daerah, hingga Kejaksaan Agung, kepolisian hingga Bada Intelijen Negara. Di sisi lain, bukan tidak mungkin aturan ini menjadi alat untuk merapikan ‘biji catur’ kekuasaan Presiden Jokowi bahkan setelahnya.
PNS dan Kekuasaan
Sejak dahulu hingga sekarang, netralitas PNS masih diragukan. Dalam hitungan angka, PNS menjadi komoditas yang menggiurkan dalam percaturan politik. Setidaknya, berdasarkan data Kemenpan-RB, per Juni 2019 jumlah PNS di Indonesia mencapai 4.286.918 orang. Mengantongi suara PNS dapat dikatakan, selangkah menuju kemenangan dalam pemilu ataupun pilkada.
Hal ini pula yang mungkin dilihat oleh Presiden Soeharto, Korpri dan ABRI menjadi elemen penting untuk mendulang kemenangan Golkar di era orde baru. Bagi pegawai negeri waktu itu, hanya ada ‘satu pilihan’, Golkar. Jika menyimpang, maka ‘hukuman perih’ harus diterima. Misalnya di-mutasi ke daerah terpencil atau bahkan dipecat.
Saat itu, Korpri menjadi komoditas yang menggiurkan. Selain jumlah suara, Korpri merupakan kekuatan teriorganisir. Mereka dapat ‘memainkan’ peran dilingkungannya. Paling tidak menggaet suara anggota keluarganya.
Seperti dilansir Tirto ID, tidak hanya para PNS yang bulat tekad mencoblos Partai Golkar saat era orde baru, tapi juga anggota keluarga mereka. Pada tahun 1993, jumlah PNS sekitar 3,95 juta personil. Maka betapa besarnya perolehan suara Golkar jika tiap PNS bisa menarik 2 hingga 6 anggota keluarganya untuk mencoblos Golkar dalam Pemilu.
“Orde baru memanfaatkan Golkar sebagai ujung tombak politiknya terutama sebagai mesin politik pemilihan umum dengan birokrasi sipil, birokrasi militer dan Golongan karya sendiri sebagai partai”, demikian ungkap Daniel Dhakidae dalam bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003).
Pasca reformasi, PNS rupanya tidak bisa sepenuhnya lepas dari pusaran kekuasaan, meskipun mereka wajib netral. Elit politik membuat mereka seolah olah bukan mengabdi kepada negara melainkan pada penguasa.
Tidak mengherankan pula, jika ‘kelompok’ ini di-anak-emaskan pemerintah dengan berbagai fasilitas. Misalnya, gaji ke-13 yang logikanya satu tahun hanya ada 12 bulan. Sisi lain, saat jutaan buruh menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan dirumahkan, PNS masih bisa tersenyum menerima kucuran Tunjangan Hari Raya (THR).
Menjadi pertanyaan besar tentunya, apakah beragam fasilitas yang memanjakan PNS itu belum cukup untuk menjaga loyalitas mereka pada penguasa, sehingga Presiden Jokowi sampai-sampai perlu potong kompas. Mengatur sendiri promosi, mutasi hingga pemecatan PNS.
Mungkinkah, tindakan menendang pebajat-pejabat pemerintahan yang kemudian melontarkan kritik tajam pada pemerintah menimbulkan efek traumatik pada pemegang kekuasaan. Terlepas dari itu mudah-mudahan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS membuat PNS benar-benar netral di tengah pusaran arus kekuasaan.
Penulis: Arief Setiyanto
Redaktur: Tori Nuariza