IslamToday ID — Defisit keuangan yang melanda Indonesia sejak pandemi Corona kian membengkak menjadi Rp 500 triliun per 14 Mei 2020, sehingga membutuhkan suntikan dana yang secepatnya. Bahkan Menkeu Sri Mulyani telah memprediksikan jika APBN 2020 mengalami angka defisit hingga 6,27% menjadi Rp 1.028,5 triliun.
Hal ini membuat pemerintah Indonesia kewalahan dan berusaha berpikir keras untuk menambah keuangan demi mengatasi dampak-dampak Covid-19. Sementara Utang Luar Negeri Indonesia juga terus bertumpuk bahkan pada Februari 2020 lalu sudah mencapai Rp 6.376 triliun (kurs dolar Rp 15.600).
Melihat hal itu tentu bukan hal yang mudah bagi pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Gubernur BI untuk mengambil sikap. Meskipun DPR telah mendesak pemerintah untuk segera mengatasi masalah defisit pendanaan demi menangani pandemi Corona ini. Usulan DPR yang disampaikan oleh Ketua Banggar DPR RI dari Fraksi PDIP, Said Abdullah pada (3/5) tersebut mendesak BI untuk segera mencetak uang hingga Rp600 triliun.
“Kalau cetak uang Rp 600 triliun kemudian seakan-akan uangnya banjir, tidak juga. Htungan kami kalau BI cetak Rp 600 triliun, itu inflasinya sekitar 5-6%, tidak banyak. Masa Rp 600 triliun tiba-tiba inflasi akan naik 60-70%? Dari mana hitungannya,” kata Said Abdullah, politisi Fraksi PDIP ini, (3/5/2020).
Permintaan DPR ini pun segera direspon oleh Gubernur BI, Perry Warjiyo. Menurut Perry kebijakan mencetak uang besar-besaran bukanlah hal yang lazim dilakukan oleh bank sentral, BI. Oleh karena itu BI tidak akan melakukan percetakan uang secara besar-besaran.
“Jadi pandangan-pandangan tersebut tidak sejalan dengan hal yang lazim dilakukan oleh bank sentral, tentu tidak akan dilakukan juga oleh BI,” tutur Perry (6/5).
Lahirnya Perppu ‘Extraordinary’
Sebelumnya untuk menangani masalah fiskal selama masa pandemi Corona ini pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pengganti Perundang-undangan (Perppu) No. 1/2020 tentang Penanganan Covid-19. Aturan tersebut memberikan wewenang kepada BI untuk membeli surat utang pemerintah melalui pasar perdana sebagai pemberi pinjaman terakhir atau the lender of the last resort.
Perppu tersebut sekaligus mengganti Undang-undang (UU) No.23/1999 tentang Bank Indonesia. Dalam UU tersebut BI dilarang melakukan pembelian surat utang melalui pasar perdana. Dengan dalih kebijakan extraordinary di saat pandemi corona ini pemerintah mengubah peraturan tersebut.
Akhirnya BI pun melakukan “cetak uang” untuk membantu pemerintah dengan pembelian maksimal surat utang sebanyak 25% saja. Langkah ini diambil untuk menutupi angka defisit fiskal negara.
“Beberapa kali kami ditanya berapa bisa beli (utang pemerintah), jumlahnya Rp125 triliun,” ucap Perry.
Angka tersebut di atas berdasarkan atas besaran Surat Berharga Negara (SBN) yang dilelang pemerintah untuk biaya penanganan Covid-19, yakni sekitar Rp506,8 triliun. Namun BI pun bisa memberi pinjaman lebih jika pemerintah membutuhkan jumlah utang yang dibutuhkan untuk penanganan Covid-19 mengalami penambahan. Akan tetapi, besaran pembelian SBN tetap sesuai dengan batas maksimal yakni 25% dari pagu.
Selanjutnya berdasarkan laporan CNBC Indonesia pada (16/5) disebutkan bahwa BI telah melakukan berbagai kebijakan cetak uang seperti penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) bagi perbankan, bahkan ini sudah untuk kali yang kedua dilakukan oleh BI untuk tahun ini.
Pada awal Mei lalu, BI menurunkan GWM 200 basis poin (bps) untuk bank umum, dan 50 bps untuk bank syariah. Dengan penurunan tersebut, BI mengatakan ada penambahan likuiditas ke perekonomian sebesar Rp 117,8 triliun. Sementara pada Januari lalu BI telah mengeluarkan dana sebesar Rp 53 triliun untuk membantu menangani likuiditas perbankan.
Dalam laporan yang ditulis CNBC Indonesia tersebut juga ditulis bahwa BI telah membeli SBN hingga Rp 166triliun. Sementara di (6/5) Gubernur Perry mengatakan hanya sanggup melakukan pembelian SBN hingga Rp 125triliun saja.
Selanjutnya, memberikan fasilitas repo yaitu salah satu bentuk investasi yang familiar dilaukan dalam dunia saham, BI melakukan repo perbankan hingga Rp 137,1 triliun. BI pun telah memberikan fasilitas swap valas (valuta asing) hingga 29,7 triliun. Sehingga total kegiatan cetak uang BI mencapai Rp 503,8 triliun.
Inflasi dan Moral Hazard
Wacana cetak uang yang diminta DPR tersebut justru bisa menimbulkan inflasi, hal ini disampaikan oleh Pakar Hukum, Dr. Abdul Chair Ramadhan. Ia berpandangan bahwa dalam teori ekonomi kebijakan mencetak uang tanpa ada underlying asset yang jelas akan berimplikasi terjadinya laju inflasi dan depresiasi mata uang (baca; rupiah).
Inflasi menjadi salah satu indikator makro ekonomi yang memiliki hubungan erat dengan nilai tukar. Bahkan salah satu dampak berbahaya dari inflasi menyebabkan kebijakan impor barang lebih tinggi karena harga barang dalam negeri cenderung mahal.
Ironisnya, regulasi kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan yang pada awalnya didasarkan pada ‘kedaruratan kesehatan masyarakat” akibat pandemik Covid-19 dan dengannya menjadikan sebagai syarat “kegentingan yang memaksa”, telah kehilangan maknanya. Keberadaannya tidak lagi menunjuk pada kepentingan keselamatan jiwa rakyat. Keberlakuannya memang ‘dengan sengaja’ diperuntukkan untuk perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
“Kepentingan oligarki ekonomi semakin diapresiasi. Refocusing anggaran yang tidak lagi melalui APBN-P 2020, telah menjadikan kekuasaan semakin mendominasi. Seiring dengan itu, fungsi anggaran lembaga legislatif telah dinegasikan,” ungkap Abdul Chair (18/5/2020).
Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri mengungkapkan ketidaksepakatannya terhadap rencana cetak uang yang diusulkan oleh Banggar DPR pada (3/5) lalu. Menurutnya, kebijakan cetak uang selain menyebabkan terjadinya inflasi justru bisa menimbulkan risiko moral atau moral hazard.
Faisal Basri pun berharap pemerintah bisa belajar dari kebijakan serupa yang pernah dilakukan oleh orde lama yang justru berakhir dengan inflasi dan krisis ekonomi.
“Cetak uang adalah opsi yang pernah dilakukan di masa orde lama dan berbagai negara, hampir semua mengarah ke bencana. Hal ini karena negara itu dikelola oleh politisi. Mereka itu [DPR] punya masa kepemimpinan 4 sampai 5 tahun, kemudian dipilih kembali, jadi cara pandangnya itu sempit. Mereka cenderung ingin mengalihkan masalah ke masa di depannya, tidak diselesaikan pada masa mereka. Spending-spending aja, tapi tidak mau intensifkan ke penerimaan, jadi ini adalah moral hazard yang terjadi ” ungkap Faisal Basri (18/5/2020).
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza