“Tentang perumahan rakyat, kita menunjukkan ketinggalan yang terbesar. Sering-sering saya berkata, sebagian besar daripada rumah-rumah rakyat lebih menyerupai kandang sapi daripada tempat kediaman manusia. Perumahan yang semacam itu tidak layak bagi suatu bangsa yang merdeka dan tahu (harga?) diri”
-Moh. Hatta-
IslamToday ID –Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat ini tiba-tiba hangat diperbinjangkan. Penyebabnya ialah kontroversi PP No.25/2020 yang dikeluarkan Presiden Jokowi. PP tersebut mengatur mekanisme Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.
Tapera bermaksud menjalankan amanat UUD 1945, salah satunya Pasal 28 H ayat 1, bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Kebijakan ini menjadi kontroversial,sebab muncul ditengah suasana pendemi covid. Di tengah kondisi perekonomian yang serba sulit, Tapera menambah deretan iuran yang harus dibayarkan. Selain itu, para pengamat melihat , PP Tapera dan UU Tapera tidak menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab bagi penyediaan dana perumahan Mayarakat Berpenghasilan Rendah. . Tak heran, muncul keluhan dari kalangan pengusaha dan pekerja.
“Ini jadi banyak gaji yang dipotong di era covid-19. Potongan ini, jangan lah menambah beban,” ujar Pengamat Tata Kota dan Perumahan Universitas Trisaksi Yayat Supriyatna, Kamis, (4/6/2020) seperti dilansir dari CNN Indonesia
Jika menengok sejarah, Kebijakan rumah untuk rakyat bukan hal baru. Seperti dilansir trto.id, gagasan penyediaan rumah layak dan murah bagi rakyat tercetus dalam dalam Kongres Perumahan Rakyat Sehat yang digelar di Bandung pada 25-30 Agustus 1950. Menindaklanjuti hasil kongres, pada 20 Maret 1951 kemudian dibentuk Badan Pembantu Perumahan Rakyat. Badan ini bertugas memberikan saran kepada presiden atau institusi pemerintahan mengenai rencana pembangunan rumah rakyat.
Lalu, pada 25 April 1952, Presiden Soekarno mengeluarkan SK Presiden No.5/1952 dan membentuk Jawatan Perumahan Rakyat. Selain itu dibentuk pula Yayasan Kas Pembangunan (YKP).
Dalam Setengah Abad Perumahan Rakyat (1995) terbitan Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat, yayasan tersebut membangun 12.460 unit rumah di 12 kota hingga tahun 1961. Namun proyek ini tersendat, lantaran dana yang dibutuhkan besar kemudian di susul krisis ekonomi yang melanda tanah air.
Namun demikian, kebijakan ini telah dilanjutkan di era pemerintahan Presiden Soeharto. Tapi, hingga tahun 1969, Soeharto, hanya bisa membangun 1.000 unit rumah .
Arah kebijkan perumahan rakyat berubah. Tahun 1972, Presiden yang menjajaki kekuasaan dengan tiket Surat perintah sebelas maret ini, membentuk Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional (BKPN). Kemudian pada18 Juli 1974 ia meremikan BUMN Perum Perumnas. Perum Perumnas Kemudian menggandeng Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai mitra untuk memfasilitasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Faktanya, program perumahan rakyat dengan lebel perumnas itu hanya dinikmati oleh aparatur sipil dan militer.
Perumahan rupanya menjadi bisnis yang menjanjikan. Di tahun 1979, Real Estate Indonesia (REI) ambil bagian. REI berhasil membangun 73.914 unit rumah. , Pemerataan perumnas mulai terasa di tahun 1982. Perumnas banyak berdiri di Depok, Jakarta, Bekasi, Cirebon, Semarang, Surabaya, Medan, Padang, hingga Makassar. Pada tahun 1994, orde baru cukup massif membangun perumahan hingga 300.280 unit. Namun pembangunan peumahan rakyat turut terimbas gejolak politik pasca keruntuhan orde baru., pembangunan perumahan nasional yang mengalami penurunan cukup drastis menjadi 238.074 unit.
Berbeda dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden SBY, lebih getol menggenjot pembangunan rumah susun dengan nama Program Seribu Tower Rumah Susun Sederhana. Hunian ini ditujukan untuk rakyat kecil dengan pendapatan dibawah Rp 5,5 juta per bulan. Program rumah rakyat dengan konsep rumah susun ini berakhir di tahun 2013, seiring lengsernya PResiden SBY.
Kenyataannya, program rumah susun ini dikeluhkan oleh rakyat. Sebab, semakin hari harganya semakin mahal dan tak terjangkau oleh rakyat kecil karena harganya terbilang mahal dari Rp 144 juta per unit naik menjadi Rp 216juta.
Pada era Presiden Jokowi, di tahun 2015, dicanangkanlah program ‘Sejuta Rumah’ yang dipusatkan di Kabupaten Ungaran. Selain di daerah Ungaran, sembilan daerah lain seperti Nias Utara, Jakarta, Bantaeng, Ungaran, Tangerang, Cirebon, Malang, Kota Waringin Timur, dan Palembang.
Pada tahun 2018 pemerintah mengklaim berhasil membangun 3.542.318. Menurut Kementerian PUPR pada tahun 2016, total kebutuhan rumah di Indonesia hingga tahun 2025 sebanyak 30 juta unit.
Tahun 2020 ini Presiden Jokowi mengejutkan Publik dengan menerbitkan PP No.25/2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Sebelumnya, 2016 pemerintah telah menerbitkan 2016 lewat UU 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Tapera merupakan perangkat untuk mengelola dana masyarakat secara bersama-sama dan saling menolong antarpeserta dalam menyediakan dana murah jangka panjang dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau bagi Peserta Tapera.
Kebijkan ini menuai protes lantaran muncul ditengah kondisi ekonomi yang sulit akibat pandemic covid-19. Selain itu, regulasi yang dikeluarkan pemerintah dinilai sebagai keputusan sepihak dan pemaksan. Program ini juga diunilai sebagai sinyal lepasnya tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan hunian layak dan murah bagi rakyat.
“Peran pemerintah sebagai penanggung jawab penyediaan rumah rakyat menjadi tidak berfungsi. Di saat rakyat menghadapi kesulitan ekonomi karena pandemi Covid-19, potongan gaji untuk Tapera, yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, akan menambah kesulitan mereka (rakyat),” ujar Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS Anis Byarwati,
Penulis: Arief Setiyanto, Kukuh subekti