IslamToday ID — Ibnu Manzhur dalam Lisan Al-Arab menjelaskan, “Al-Wazir adalah pendamping khalifah/sultan/amir/malik/raja dan kepercayaan khusus, ia membawa beban dan membantu kerja penguasa dengan pendangan-pandangannya. Sementara menurut pakar bahasa terdapat tiga pendapat utama tentang asal-usul kata Al-Wizarah.
Pendapat pertama, menjelaskan bahwa kata Al-Wizarah berasal dari kata Al-Wizr yang berarti Ats-Tsaql atau beban. Sebab menteri, membawa beban dan tanggungjawab yang diamanatkan raja kepadanya.
Kedua, kata Al-Wizarah dibentuk dari kata Al-Wazar yang artinya al-Malja atau tempat berlindung, karena raja meminta pendapat dan bantuannya.
Pendapat ketiga, kata tersebut berasal dari kata Al-Azr yang berarti azh-Zahr karena raja menjadi kuat karena eksistensi menterinya yang diumpamakan dengan badan yang menjadi kuat karena punggung.
Sementara Rasulullah semasa menjalankan roda pemerintahan dan mengurus kepentingan umat juga meminta bantuan sahabat-sahabatnya. Dan Rasulullah paling banyak meminta bantuan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khathab.
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, ia mengatakan: “Rasulullah bersabda, “Kedua pembantuku dari penduduk langit adalah Jibril dan Mikail, dan kedua pembantuku dari penduduk bumi adalah Abu Bakar dan Umar.”
Prof. Raghib As-Sirjani dalam bukunya Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, menjelaskan pula tentang arti penting keberadaan sosok menteri dalam peradaban Islam. Berdasarkan pendapat pakar hukum Islam dan sejarawan muslim, seperti Imam Al-Mawardi dalam karyanya Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, yakni
“Segala sesuatu yang diwakilkan kepada pemimpin seperti mengurus kepentingan umat tidak dapat dilaksanakan olehnya seorang diri secara keseluruhan kecuali mewakilkan atau meminta bantuan kepada orang lain. Pelimpahan kewenangan kepada menteri yang membantunya dalam mengatur dan mengurus kepentingan umat lebih efektif dalam pelaksanaannya daripada menjalankannya seorang diri untuk memperlihatkan kemampuan dirinya. Cara seperti ini lebih efektif untuk menghindarkannya dari ketergelinciran dan mencegah terjadinya kesalahan dan kerusakan, dan meminta bantuan kepada orang lain lebih menjamin keselamatan pekerjaan tersebut.”
Selain itu, Ibnu Khaldun, mengatakan bahwa Kementerian merupakan strategi utama kekuasaan yang agung dan jabatan pemerintahan. Sebab, namanya menunjukan pengertian sebagai pembantu jalannya pemerintahan secara mutlak.
Kisah Umar bin Khathab Sebagai Menteri
Salah satu kisah penting yang dikisahkan oleh Prof. Raghib adalah kisah Umar Bin Khathab pada saat Abu Bakar menjadi pemimpin pemerintahan, menggantikan Rasulullah SAW. Seorang Umar kerap dimintai pendapat oleh Abu Bakar tentang berbagai hal terkait berbagai persoalan dalam pemerintahan.
Salah satu proyek besar yang ditawarkan oleh Umar kepada Abu Bakar adalah meminta Abu Bakar untuk mengumpulkan (menuliskan) Al-Qur’an. Pada saat itu, Umar mellihat bahwa banyak penghafal dan pembaca Al-Qur’an yang gugur dalam perang Al-Yamamah. Kisah tersebut dituturkan oleh Zaid bin Tsabit.
Pada suatu ketika, Abu Bakar mengutusku, Abu Bakar Ash-Shidiq mengatakan, “Sesungguhnya Umar menghadapku seraya mengadu: “Sesunggunya korban perang semakin berjatuhan dari kalangan qurra (penghafal) Al-Qur’an, dan aku khawatir jika korban tersebut terus berjatuhan pada warga sehingga banyak Al-Qur’an yang akan hilang. Aku berpendapat alangkah baiknya, jika kamu mengumpulkan Al-Qur’an.”
Lalu aku katakan kepada Umar,“Bagaimana kamu dapat mengatakan sesuatu yang belum pernah dilakukan Rasulullah?” Umar menjawab, “Demi Allah, ini demi kebaikan,” demikian keterangan Zaid bin Tsabit ketika mengisahkan bagaimana sosok Umar selama ia menjadi seorang menteri yang membantu tugas Abu Bakar.
Peran Menteri Masa Umayyah dan Abbasiyah
Hal ini berlanjut pada masa Bani Umayyah, ketika Muawiyyah bin Abu Sufyan mengangkat Amr bin Al-Ash sebagai pembantu dalam menjalankan pemerintahannya meskipun meskipun tidak menyebut atau mengangkatnya secara resmi. Hal ini terungkap dalam dialog antara keduanya sebagaimana terdapat dalam Tarikh Al-Umam wa Al-Muluk, At-Thabari.
Kepada Mu’awiyah, Amr bin Al-Ash berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah aku orang yang paling banyak memberikan nasihat kepadamu?” Lalu dijawab oleh Muawiyyah “Karena itulah kamu mendapatkan apa yang berhak kamu dapatkan.”
Prof. Raghib juga mengungkapkan bagaimana Ath-Thabari dengan sangat jelas menjelaskan tentang jabatan kementerian pada masa Kekhalifahan Bani Umayyah dalam sebuah peristiwa yang diadukan oleh penduduk Mesir.
Peristiwa tersebut terjadi pada masa kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik pada tahun 125 H. Yang pada saat itu, mereka gagal menemui sang khalifah, lantas mereka (para penduduk Mesir yang datang mengadu) menunggu hingga perbekalan mereka habis belum juga bisa bertemu dengan khalifah. Mereka lantas menuliskan nama-nama mereka beserta nasab mereka di atas sebuah kulit binatang yang tipis, yang mereka serahkan kepada para menteri seraya berkata, “ Ini adalah nama-nama kami dan nasab kami. Apabila Amirul Mukminin bertanya kepada kalian tentang kami, maka beritahukanlah kepadanya.”
Kisah lain dituliskan oleh Ath-Thabari terjadi pada tahun 85 H. Ia mengisahkan jabatan Qabishah bin Dzua’aib sejajar dengan jabatan menteri pada masa kita sekarang. Ia menjelaskan bahwa Abdul Malik bin Marwan berkata,
“Qabishah tidak pernah terpisah dariku sedikitpun. Ia datang menghadapku siang dan malam ketika aku sendirian atau sedang menerima tamu. Apa bila aku sedang bersama dengan istri-istriku, maka aku mempersilahkannya masuk dan memberitahukan kedudukannya. Dan ia pun masuk. Ia memiliki kewenangan untuk membawa stempel atau cincin kerajaan, memegang kendali percetakan uang, beberapa informasi sampai kepadanya terlebih dahulu sebelum sampai kepada Abdullah bin Malik, dan ia membacanya lebih dulu sebelum dirinya, dan kemudian menyerahkan surat tersebut kepada Abdul Malik dalam keadaan terbuka.”
Jabatan kementerian mulai menemui babak baru pada masa Bani Abbasiyah. Pada masa ini, pengangkatan menteri menjadi perkara penting. Pengangkatan menteri pertama dalam sejarah Islam adalah pada saat Abu Salamah Al-Khalal (132H/750M), ia adalah orang pertama yang mendapatkan gelar menteri dalam Islam. Ia mendapatkan panggilan menteri atau pembantu keluarga Muhammad. Dialah yang membelanjakan banyak harta dalam upaya mempopulerkan Kekhalifahan Bani Abbasiyah.
“Jabatan menteri di bawah naungan kekhalifahan Bani Abbasiyah menempati kedudukan yang terhormat, bahkan hingga menjadikannya sebagai orang yang mengendalikan pemerintahan dan rakyatnya. Inilah realita yang kita temukan pada keluarga Bamarki, dimana Yahya bin Khalid Al-Bamarki mendapatkan kewenangan atau kekuasaan mutlak, sehingga ia memiliki hak untuk mengeluarkan perintah dan larangan dalam pemerintahan,” tulis Prof. Raghib.
Pada masa Khalifah Al-Makmun dari Bani Abbasiyah berkuasa ia merumuskan beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk memilih seorang menteri. Adapun 15 kriteria-kriteria yang ditetapkannya adalah sebagai berikut: 1) menjaga kesucian dirinya, 2) beretika, 3) istiqamah dalam jalan yang ditempuhnya, 4) beretika dan memiliki pengalaman, 4) apabila dipercaya untuk membawa rahasia maka ia melaksanakannya, 5) dapat mengendalikan diri ketika marah, 6) berbicara dengan ilmu pengetahuannya, 7) berpikir cepat dan mengambil keputusan yang tepat, 8) memiliki pandangan komprehensif, 9) memiliki kekuatan untuk memimpin, 10) memiliki kesadaran orang-orang bijak, 11) memiliki kerendahan hati ulama, 12) memiliki pemahaman para pakar hukum, 13) dan apabila mendapat kebaikan maka bersyukur dan apabila dicoba dengan keburukan maka bersabar, 14) tidak menjual bagiannya hari ini dengan menghilangkan hari esoknya, 15) mampu meluluhkan hati para tokoh-tokoh terkemuka dengan pembicaraannya yang menarik dan penjelasannya yang baik.
Prof Raghib menambahkan keterangan dari Tarikh Baghdad karya Al-Khatib Al Baghdadi menuliskan sosok Al Fadhl bin Sahl sebagai menteri pilihan Al-Makmun pada tahun 202H. Ia adalah salah satu menteri terbaik dalam peradaban Islam. Ia mendapatkan gelar dari Al-Makmun sebagai Dza Riyasatain yakni orang yang memiliki dua kepemimpinan, untuk mengatur pena dan pedang. Yang artinya melimpahkan segala urusan yang berhubungan dengan politik dan perang. Penyatuan tugas dan wewenang seperti ini belum pernah terjadi di generasi sebelumnya.
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza