Islamtoday ID –Pro-kontra program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sudah terjadi sejak tahun 2016 lalu. Yakni sejak terbitnya Undang-undang No.4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Program ini meniadakan tanggungjawab pemerintah dalam penyediaan hunian layak dan murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Kemunculan UUNo.4/2016 UU dinilai bertentangan dengan semangat UU No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Sebab, undang-undang ini merupakan jaminan adanya tanggungjawab pemerintah dalam menjalankan pasal 28 ayat 1 UUD 1945.
Namun pemerintah mengklaim, kehadiran UU. No.4/2016 merupakan upaya untuk melengkapi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang diamanahkan UU No.1/2011. Pemerintah juga menganggap Program Tapera sudah lazim diterapkan di sejumlah negara.
“Program serupa Tapera sudah lazim dilaksanakan di berbagai negara, seperti Singapura, Malaysia, China, India, dan Korea Selatan,” Deputi Komisioner BP Tapera Eko Ariantoro (3/6/2020).
Lebih lanjut, Deputi Komisioner Bidang Pemupukan Dana Tapera, Gatut Subadio mengatakan, iruran dari peserta program akan dikelola oleh Badan Pengelola Tapera (BP Tapera). Iuran akan dikelola dalam tiga hal yakni, dana pemupukan, dana pemanfaatan dan dana cadangan.
Tujuan pengelolaan dana tersebut turu mengundang protes banyak pihak. Sebab dana yang terkumpul juga dimanfaatkan untuk keperluan investasi, baik secara syariah maupun konvensional.
Instrumen yang ditawarkan oleh pemrintah meliputi deposito perbankan, surat utang pemerintah pusat, surat utang pemerintah daerah. Selain itu juga dalam bentuk surat berharga di bidang perumahan dan kawasan permukiman. Bakhkan bisa dalam bentuk investasi lain yang dinilai menguntungkan.
Oleh karena itu, peneliti INDEF, Bhima Yudisthira menyebut, kebijakan ini memiliki motif terselubung. Motif terselubung itu terlihat jelas dalam PP No.25/2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.
“motif terselubungnya kelihatan jelas di pasal 27 dalam PP Tapera bahwa dana bisa diinvestasikan ke surat utang pemerintah,” kata Bhima (4/6/2020).
Bhima menduga, pemerintah dengan sengaja ‘memaksa’ para pekerja untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN). Dugaan ini cukup kuat, sebab pemerintah tengah berusaha mencari akal untuk menutupi defisit anggaran negara selama pandemic Covid-19.
“pemerintah sedang cari sumber pembiayaan baru ditengah pelebaran defisit anggaran,” imbuhnya
Anggota DPR-RI, Ahmad Syaikhu juga berpandangan sama. Timbul kesan bahwa pemerintah mencari sumber pendanaan baru, ditengah situais sulitnya kondisi keuangan negara. Hal ini terlihat dari isi pasal 27 PP Tapera, bahwa dana iuran dapat diinvestasikan ke surat utang pemerintah.
“Kecurigaan itu semakin kuat, karena ada kebijakan pemerintah dalam penyediaan sumber pendanaan penanggulangan dampak Corona,” jelasnya.
Dugaan ini bukan tanpa alasan. Faktanya pemerintah memang semakin berani mengeluarkan SUN sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat 1 Perppu No.1/2020. Bahkan pemerintah mencoba mengeruk dana abadi untuk stimulus pemulihan ekononomi pasca pandemi.
Hasil simulasi perhitungan iuran Tapera ternyata mampu mengumpulkan dana yang lumayan. Dengan iuran peserta sebesar 3, Real Estate Indonesia (REI) merilis, Tapera mampu mengumpulkan dana hingga Rp 134 triliun. Angka ini diperoleh dengan asumsi peserta Tapera diperkirakan mencapai 90 juta. Sedangkan menurut hitungan pemerintah akan mampu terkumpul dana sebanyak Rp 71 triliun dari iuran Tapera.
Oleh karena itu, menurut Syaikhu pemerintah sebenarnya tidak serius membangun rumah untuk rakyat. Sebaliknya, tujuan utama Tapera ialah untuk mendapatkan dana talangan.
“rakyat diwajibkan menyisihkan gajinya dengan besaran 2,5 persen. Tak terbayangkan betapa nestapanya hidup rakyat,” ujar Syaikhu
“PP Tapera tak perlu dihadirkan,” imbuhnya
Asosiasi Pengusaja Indonesia (APINDO) pernah memprediksi bahwa cepat atau lambat buruh dan pegawai swasta akan menolak keberadaan Tapera. Sebab program ini dinilai menambah beban potongan terhadap gaji karyawanSelama ini karyawan dan pemberikerja telah dibebani iuran BPJS,Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun, dan PPH 21.
Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) menilai kebijakan tersebut tidak tepat jika diterapkan untuk kelas pekerja, buruh, karyawan swasta. Kebijakan ini tidak lebih hanyalah upaya pemberian beban atas biaya perumahan kepada para buruh melalui pemotongan gaji.
“Pemenuhan hak dasar, termasuk kebutuhan akan rumah, adalah kewajiban negara, Setelah tidak mengambil kewajiban penuh dalam sektor kesehatan, kali ini negara juga menarik diri dari kewajiban pemenuhan perumahan rakyat,” ujar Ketua Umum KPBI Ilhamsyah (4/6/2020).
Pemotongan gaji sebesar Rp 2,5% dari gaji dinilai semakin menguras upah para buruh. Hal ini jelas akan berdampak pada penurunan daya beli. Ia menyayangkan peran pemerintah saat ini hanya sebagai pemungut iuran serta memanfaatkan iuran tersebut untuk memperoleh keuntungan.
“Kewajiban negara akan pemenuhan perumahan justru dibebankan ke pundak kelas pekerja. Peran negara hanya menjadi tukang pungut dana dari rakyat, otoritas pengelola, dan menjadikan dana publik demi tujuan-tujuan berorientasi profit,” imbuh Ilham.
Penulis: Kukuh Subekti