IslamToday ID – Sejak dilantik 23 Oktober 2019, Menteri BUMN Erick Thohir digadang-gadang melakukan banyak gerbrakan. Tidak hanya memangkas perusahan BUMN, Erick turut menyelipkan para petinggi Polisi,TNI, BIN, eks-KPK hingga politisi ke perusahaan ‘plat merah’.
Yang terbaru adalah Irjen Carlo Brix Tewu. Jendral polisi yang sebelumnya bertugas di Deputi V Bidkor Kamtibmas Kemenkopolhukamini pada februari lalu di tarik Erick ke menjadi Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan. Pada 10 Juni 2020 kemarin, polisi yang berhasil mengungkap kasus pembunuhan Hakim Agung Saifudin Syafiuddin Kartasasmita ini ditetapkan sebagai komisaris PT Bukit Asam (Persero).
Di BUMN ini Erick juga memasukan Marsekal Madya (Marsda) Andi Pahril Pawi. Jenderal bintang dua di TNI AU ini sebelumnya pernah menjabat Staf Ahli Bidang Hankam BIN (Badan Intelijen Negara) dan pernah bertugas sebagai Kepala Biro Pengamanan, Biro Pengamanan, Seilustrasukretariat Militer Presiden.
Sebelumnya, 25 November 2019 lalu Komjen Pol. Condro Kirono juga ditarik menjadi komisaris Pertamina. Bulog yang juga bagian dari BUMN, kursi direkturnya juga di isi mantan petinggi Polri, yakni Komjen (Purn) Budi Waseso.
PT Pelindo I juga diisi Polisi, yakni Irjen Pol. Arman Depari. Ia aktif sebagai Deputi Bidang Pemberantasan Badan Narkotika Nasional. Selain Arman ada dari unsure TNI, Achmad Djamaluddin. Ahmad juga tercatat masih aktif sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Sesjen Wantannas).
Perusahaan tambang milik negara, PT Timah Tbk (TINS) mengangkat purnawirawan TNI Angkatan Laut Letnan Jenderal Muhammad Alfan Baharudin sebagai Komisaris Utama. Di perusaahan ini Irjen Pol Satriya Hari Prasetya juga diangkat sebagai Komisaris Independen. Mantan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti juga tercatat menjadi Komisaris utama BUMN Waskita Karya.
Dari unsur Kejaksaan Agung sekaligus eks KPK, Erick memasukan nama Warih Sadono sebagai Staf Ahli bidang Implementasi Kebijakan Strategis. Chandra Hamzah yang pernah menjadi pejabat KPK juga turut menempati jajaran kursi di Bank BTN.
Sementara dari unsure politisi, Erick memasukan nama Arif Budimanta, politisi PDIP ini masuk dalam jajaran komisaris di Bank Mandiri. Politisi PDIP lainnya, Pataniari Siahaan menjadi salah satu komisaris Bank BNI.
Dwi Ria Latifa yang juga politisi PDIP dan Zulnahar Usman dari Hanura juga menjadi komisaris Bank BRI. Selain PDIP dan Hanura, Nasdem pun ikut mendapat jatah. Pertama Zulfan Lindan sebagai Wakil Komisaris Utama/Independen Jasa Marga. Kemudian Irma Suryani Chaniago sebagai komisaris Pelindo I.
Bagi-bagi kue ini bukan yang pertama. Dilaporkan CNNIndonesia 22 Mei 2017 lalu, setidaknya ada 125 Pejabat ‘Kongkalikong’ Jadi Komisaris BUMN. Mereka berasal dari kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,Kementerian Perindustrian, Sekretariat Kabinet, TNI/Polri, Kementerian Pariwisata, serta dari kalangan akademisi sejumlah Perguruan Tinggi Negeri.
Alasan
Erick berdalih penunjukan para petinggi Polisi/TNI, eks Kejaksaan Agung dan para politisi sebagai komisaris BUMN bukan sekadar membagi jabatan. Itu dilakukan untuk mendukung kelangsungan bisnis BUMN. Misalnya di sektor pertambangan yang kerap mendapat berbagai masalah yang berhubungan dengan hukum dan keamanan, seperti; konflik tanah, perizinan, hingga isu sosial masyarakat.
“Pemilihan pasti ada reason-nya (alasan). Pertambangannya misalnya, suka ada konflik tanah, perizinan yang tumpang tindih, isu sosial dengan masyarakat, jadi kami harus balance,” ucap Erick dalam konferensi pers virtual, Jumat (12/6).
Kebutuhan sosok yang ahli di bidang hukum dan keamanan sejatinya juga diperlukan di sektor lain, misalnya perasuransian.Sebab banyak isu penipuan. Makanya,pada BUMN di sektor asuransi ia turut memasukan figur yang ‘dekat’ dengan hukum dan keuangan,
Berkaca Pada Orba
Banyaknya para petinggi Polisi dan TNI ke BUMN mengingatkan pada peran TNI di era Orde Baru. Seperti dilaporkan tirto.id, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto TNI merajai semua lini. Departemen Dalam Negeri, Departemen Penerangan, Perindustrian, Departemen Agama, turut diisi para jendral. Bahkan Kejaksaan Agung juga diisi beberapa jenderal berlatar belakang pendidikan hukum militer.
Selain itum banyak pula jenderal yang dijadikan gubernur. Mislanya di DKI Jakarta yang selalu diisi kalangan militer. Seperti Soerjadi Soedirdja, Wiyogo Atmodarminto, Soeprapto, dan Tjokropanolo.
Di Jawa Barat, sepanjang zaman Soeharto, gubernurnya juga selalu para jenderal. Mulai dari Mashudi, Solichin G.P., Aang Kunaefi, Yogie S. Memet, hingga Raden Nuriana. Begitu pun di Jawa Tengah. Ada Moenadi, Soepardjo Rustam, Muhammad Ismail, dan Soewardi.
David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983 mengulas bahwa, Soeharto memang banyak melibatkan petinggi militer dalam pemerintahan. Di jajaran Staf Presiden setidaknya ada enam orang perwira tinggi Angkatan Darat. Selain itu banyak pula jenderal yang menjadi ‘raja’ di departemen atau provinsi.
Begitu pula Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016) juga memaparkan, bahwa bagi-bagi kue itu merupakan cara Suharto agar para jenderalnya menganggur. Setidaknya itu cara Suharto member hiburan kepada para jendral yang gagal menapaki puncak karir di ABRI.
Dengan jabatan sipil yang diemban, para Jendral itu membawahi orang-orang sipil yang sebenarnya lebih berpengalam. Sehingga tidak lagi penting jendral yang memangku jabatan sipil itu mengerti permasalahan pada sector yang dipimpinya.
Mudah-mudahan, masuknya para Jendral Polisi dan TNI serta para politisi di BUMN bukan dengan motif itu.
Penulis: Kukuh Subekti, Arief Setiyanto