IslamToday ID – Mendikbud Nadiem Makariem akhirnya mengeluarkan kebijkan untuk membuka lagi sekolah ditengah pandemic covid-19. IA juga memastikan bahwa jadwal tahun ajaran baru 2020/2021 tetap dimulai pada bulan Juli
Ia juga menetapkan keputusan tentang pelaksanaan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan zona penyebaran covid-19. Namun kebijakan Nadiem tampak setengah hati.
Nadiem menyampaikan kegiatan belajar mengajar (KBM) secara tatap muka dibuka kembali bagi sekolah di wilayah Zona Hijau, dengan sejumlah syarat. Sedangkan sekolah di wilayah zona merah, oranye, dan kuning tetap tidak diperbolehkan untuk dibuka. Pembelajaran di wilayah ini dilakukan secara daring (online).
Menurut catatannya, jumlah siswa di wilayah zona merah, kuning, oranye,mencapai 94 persen dari total peserta didik di tingkat pendidikan dini, dasar dan menegah.
“Total 94 persen peserta didik kita tidak diperkenankan tatap muka. Jadi masih belajar dari rumah,” kata Nadiem (15/6/2020).
Artinya kebijakan ini sebenarnya hanya bisa dinikmati oleh segelintir peserta didik di zona hijau. “Hanya 6 persen populasi peserta didik kita di zona hijau,” imbuh Nadiem.
Jumlah tersebut mencakup peserta didik di tingkat pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah di zona hijau.
Selain itu, kebijakan ini tampak setengah hati lantaran pelaksanaan KBM secara tatap muka sangat bergantung pada persetujuan pemerintah daerah, sekolah dan orangtua siswa.
Mantan bos Go-jek ini menambahkan, keputusan membuka kembali kegiatan belajar mengajar secara tatap muka tidak tidak bisa dilaksanakan tanpa adanya persetujuan pemerintah daerah. Pemerintah daerah di zona hijau harus terlebih dulu menyetujui dan memberikan izin untuk pembukaan sekolah.
Setelah pemerintah daerah di zona hijau memberi ijin, sekolah-sekolah wajib menerapkan protokol kesehatan. Ini dimaksudnkan untuk meminimalisir penyebaran dan penularan covid-19.
Tapi ujungnya, kebijakan ini tergantung orang tua siswa. Nadiem mengatakan ijin pemerintah daerah dan kesanggupan sekolah untuk melaksanakan protocol kesehatan itu tidak cukup menyelenggarakan KBM secara tatap muka. Ada syarat terakhir, yakni izin dari orang tua yang membolehkan anaknya untuk pergi ke sekolah.
“Jadi walaupun sekolah tatap muka, apabila orang tua tak nyaman murid boleh [belajar] di rumah,” kata Nadiem.
Tidak Menyelesaikan Permasalahan
Kebijakan Mendikbud Nadiem Makarim, akhirnya memperpanjang masa pembelajaran jarak jauh (PJJ). Padahal PJJ menyisakan benyak persoalan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, 95,4 persen peserta didik memanfaatkan telepon genggam untuk pembelajaran daring. Ternyata, pembelajaran dengan cara ini ‘tidak ramah anak’.
“banyak siswa yang mengaku matanya sakit dan kelelahan karena berjam-jam menatap layar ponsel,” ungkap Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti dalam pernyataan tertulis, Sabtu (2/5/2020).
Selain itu, PJJ juga tidak maksimal, sebab mayoritas guru tidak terbiasa menerapkan pembelajaran secara daring. Hasil survei menunjukkan bahwa hanya 8 persen guru konsisten melakukan pembelajaran daring. Bahkan masih ada guru yang sama sekali belum pernah melaksanakan pembelajaran daring sebelum masa pandemic.
Survei juga menemukan, 82,2% guru hanya sebatas menggunakan WA, LINE, IG, dan FB sebagai media pembelajaran. Menurut KPAI, ini tidak sepenuhnya keliru, tetapi metode ini sangat minimalis dalam konteks pengelolaan media pembelajaran berbasis digital/TIK.
Data tersebut diperkuat dengan hasil survei bahwa, 79,9% responden menyatakan bahwa PJJ minim interaksi. Interaksi antara guru dan siswa hanya saat memberikan tugas dan menagih tugas saja.
Tercatat, hanya 20,1% responden yang menyatakan ada terjadi interaksi antara siswa dengan guru selama PJJ. Misalnya melalui chatting sekitar 87,2 persen 20,2 persen menggunakan zoom meeting, sedangkan 7,6% lagi menggunakan aplikasi video call WhatsApp dan 5,2% responden menggunakan telepon untuk langsung bicara dengan gurunya.
Problem lain yang muncul dari PJJ adalah akses internet yang mahal. Padahal penghasilan orangtua turun drastis. Dalam kondisi ini yang menjadi kebutuhan prioritas adalah kecukupan pangan. Akhirnya, kebutuhan pulsa dan kuota internet untuk Pendidikan dinomor duakan. Padahal akses internet ‘kebutuhan pokok’ untuk mengikuti pembelajaran jarak jauh. Seharusnya pemerintah membuka akses internet gratis. Dengan demikian, anak-anak dapat belajar dengan tenang dan aman.
“Isu ini harus menjadi perhatian Pemerintah dan perhatian bersama. Sebab, pendidikan adalah hak dasar anak yang harus dipenuhi negara,” kata dia.
Penulis: Arief Setiyanto