IslamToday ID—Kekhawatiran berbagai pihak terhadap Perppu No 1 tahun 2020, yang dinilai memberikan kekebalan hukum bagi pejabat pemerintah mulai terbukti. Sederet kejanggalan dalam program Prakerja hingga potensi korupsi tidak berujung pada penegakan hukum.
Temuan KPK
Pada 18 Juni 2020 kemarin, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata membeberkan sejumlah temuan dalam Program Prakerja. KPK menemukan adanya ketidakakuratan dalam proses pendaftaran.
Berdasarkan data Kemenaker dan BPJS Ketenagakerjaan jumlah pekerja terkena PHK yang terdampak Covid-19 tercatat 1,7 juta orang. Tapi faktanya dari jumlah tersebut hanya 143 ribu orang saja yang mendaftar program Prakerja. Sedangkan tiga gelombang pelatihan Prakerja sudah mencapai 9,4 juta pendaftar.
“sebagian besar peserta yang mendaftar untuk tiga gelombang, yaitu 9,4 juta pendaftar, bukanlah target yang disasar oleh program ini,” ungkap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata (18/6/2020).
Padahal sebelumnya, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto mengatakan program yang awalnya bertujuan untuk peningkatan kompetensi, produktivitas dan daya saing angkatan kerja ini, sejak 11 April lalu dinyatakan sebagai jaring pengaman sosial bagi warga terdampak Covid-19.
“Kartu Prakerja yang semula untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, sekarang juga untuk membantu meningkatkan daya beli,” kata Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto (11/4/2020).
KPK juga menemukan, kejanggalan dala penunjukan mitra Prakerja. Partisipasi 8 platform digital dalam program Prakerja tidak melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah (PBJ). KPK juga menemukan, lima dari delapan platform digital terlibat konflik kepentingan dengan lembaga penyedia jasa pelatihan.
Selain itu dari 1895 pelatihan yang tersedia, ada 250 pelatihan adalah milik lembaga penyedia pelatihan yang terlibat konflik kepentingan.
Selain itu, menurut temuan KPK, dari 1.895 pelatihan hanya sekitar 13 persen materi memenuhi syarat. Sebaliknya, banyak materi pelatihan yang dapat ditemukan di internet secara gratis.
Dari 1.895 pelatihan yang tersedia KPK mengambil 327 sampel pelatihan. Kemudian materi tersebut dibandingkan ketersediaan pelatihan di internet. Hasilnya, 89 persen sample pelatihan tersedia di internet secara gratis, termasuk di laman prakerja.org.
KPK juga menilai, metode pelaksanaan program pelatihan kartu prakerja secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif, serta merugikan keuangan negara. Penyebabnya, metode pelatihan hanya satu arah dan tidak memiliki mekanisme kontrol atas penyelesaian pelatihan yang sesungguhnya oleh peserta.
KPK juga menemukan anggaran yang tidak efisien. Dari total anggaran senilai Rp 20 triliun yang diproyeksikan untuk 5,6 juta peserta, ternyata ada aliran dana untuk penggunaan fitur Face Recognition. Fitur ini disebut untuk kepentingan identifikasi peserta.
Nilainya sangat besar, mencapai Rp 30,8 miliar. KPK menilai, dana ini tidak efisien, sebab pemerintah bisa memanfaatkan data dari NIK dan keanggotaan BP Jamsostek.
KPK Melunak
Ironisnya, sederet kejanggalan itu tidak membuat KPK membawa permasalahan ini lebih serius keranah penyelidikan dan penyidikan. KPK tampak lunak dengan hanya melayangkan surat berisi sejumlah rekomendasi.
Pada suratnya tertanggal Jumat (19/6/2020), KPK merekomendasikan penghentian sementara program Kartu Prakerja gelombang keempat dan evaluasi gelombang sebelumnya
KPK merekomendasikan penerimaan peserta dilakukan dengan metode pasif. Peserta yang disasar pada whitelist, tidak perlu mendaftar daring melainkan dihubungi manajemen pelaksana untuk mengikuti program. Identifikasi peserta cukup menggunakan NIK dan tidak perlu penggunaan fitur lain yang tidak efisien dari sisi anggran
Selain itu, platform digital tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan lembaga penyedia pelatihan. Maka 250 materi pelatihan yang terindikasi terlibat konflik kepentingan harus dicabut.
KPK juga merekomendasikan, materi pelatihan yang teridentifikasi sebagai pelatihan yang gratis melalui jejaring internet, harus dikeluarkan dari daftar pelatihan Pelaksanaan pelatihan daring harus memiliki mekanisme kontrol agar tidak fiktif, KPK turut merekomendasikan pengembalian implementasi program ke Kemnaker
Langkah KPK ini tampak begitu lunak. Para penegak hokum juga tampak duduk manis mendengar carut marut dan kejanggalan program pra kerja. Padahal Presiden Jokowi sebelumnya telah menipkan pelui agar BPK, KPK dan penegak hkum, seperti Polri dan Kejaksaan berlomba-lomba mengawasi stimulus penanganan covid-19.
“Kalau ada yang masih bandel, kalau ada niat untuk korupsi, ada mens rea, maka silakan bapak ibu digigit dengan keras. Uang negara harus diselamatkan, kepercayaan rakyat harus terus kita jaga,” ujar Jokowi Senin lalu (15/6/ 2020 )
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri sejak 29 April lalu telah mengancam pemberian sanksi hukuman mati bagi mereka yang melakukan korupsi dana Covid-19. Ia juga menyebutkan ada empat celah korupsi yang perlu diwaspadai dalam penanganan Covid-19.
Celah tersebut meliputi pengadaan barang dan jasa, sumbangan dari pihak ketiga, realokasi anggaran, dan saat pendistribusian bantuan sosial. Dari celah tersebut yang paling berpotensi terjadi penyimpangan adalah penyaluran bansos.
“Keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi, maka yang korupsi dalam suasana bencana, tidak ada pilihan lain dalam menegakkan hukum yaitu tuntutannya pidana mati,” jelas Firli (29/4/2020).
Setelah covid-19 melanda Indonesia, Program Prakerja turut menjadi jaring pengaman sosial. Namun penyimpangan pada jaring pengaman sosial ini faktanya aman-aman saja. ‘Peluit’ yang ditiupkan presiden Jokowi agar waspada terhadap penyelewengan dana corona hanya angin lalu dan ancaman Ketua KPK tampak seperti gincu.
Atau, mungkinkah para pejabat telah kebal dengan tameng Perppu No 1/2020 yang kini telah menjelma menjadi UU No 2/tahun 2020 ?
Penulis: Kukuh Subekti, Arief Setiyanto
Editor: Arief Setiyanto