IslamToday ID –Efektivitas rapid test yang diperintahkan oleh Presiden Jokowi pada 19 Maret 2020 lalu, kini mulai dipertanyakan. Muncul usulkan agar rapid test massal distop, lantarant tingkat akurasi rapid test rendah.
Epidemiolog UI, dr Pandu Riono menilai rapid test hanya mebuang-buang anggaran. Sebab tingkat akurasi rapid test rendah. Hal ini disebabkan lantaran rapid test hanya mampu menguji antibody seseorang, tidak langsung pada material virus. Berbeda halnya dengan tes PCR atau tes swab yang langsung mendeteksi keberadaan virus.
“Saya sampaikan ke Pak Jokowi, mohon setop pemakaian rapid test antibodi, tidak bermanfaat, membuang biaya saja. Hasil rapid test tidak akurat, hanya deteksi antibodi yang lambat terbentuk. Jadi tidak sesuai dengan tujuan skrining, mendeteksi sedini mungkin penular,” kata Pandu (25/6/2020).
Sebenarnya sejak awal April lalu, tingkat akurasi rapid test telah diragukan Kepala, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Doni Monardo. Namun pemerintah bersikeras melakukan rapidtest dengan dalih biaya lebih murah.
“Rapid test ini tidak semuanya efektif. Oleh karenanya ke depan kita lebih banyak mendatangkan PCR test,” tutur Doni (6/4/2020).
Alasan biaya lebih murah ini juga dipertegas oleh anggota tim komunikasi publik Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, dr Reisa Broto Asmoro pada (20/6) lalu. Ia mengemukakan tiga alasan yang menyebabkan rapid test masih dipilih oleh pemerintah. Tiga alasan tersebut ialah minimnya jumlah mesin PCR pada laboratorium, populasi Indonesia sangat banyak, deteksi dini dan penghematan biaya.
Di saat yang bersamaan Tim Gugus Tugas Covid-19 Provinsi Riau tidak lagi menggunakan rapid test untuk deteksi covid-19. Mereka lebih memilih menggunakan metode PCR. Setidaknya laboratorium Gugus Tugas Covid-19 Provinsi Riau memiliki kemampuan melakukan uji 700 sampel dengan metode PCR atau swab test.
“Kami intensif melakukan pendekatan swab. Karena memang hasil rapid test-nya negatif palsunya lumayan tinggi. Rapid negatif, swab positif. Dengan bertambahnya kasus positif dengan tracing maka kami memperkuat surveillance kami, yakni dengan tidak melakukan rapid melainkan PCR,” jelas Juru bicara Gugus Tugas Provinsi Riau, dr. Indra Yopi (23/6/2020).
Anehnya, pemerintah tetap menggenjot produksi alat rapid test. Pemerintah mnargetkan produksi alat rapid test sebanyak 2 juta unit. Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro beralasan produksi alat rapid test dalam negeri digenjot untuk mengurangi impor.
“Kami sedang memproduksi (alat) rapid test dengan target sampai 2 juta unit, sekarang sudah 100 ribu unit dan sudah mulai dipakai,” kata Bambang (24/6/2020).
Sementara itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tengah mengembangkan alat tes deteksi Covid-19 yang bernama RT-LAMP (reverse transcription loop-mediated isothermal amplification turbidimetri). Alat ini diprediksikan akan menggantikan rapid test yang telah ada.
“RT-LAMP ini bisa lebih diandalkan dari pada rapid test yang berbasis antibodi,” ungkap Kepala LIPI Laksana Tri Handoko (26/6/2020).
Tri menuturkan bahwa alat produksi LIPI ini akan diuji validasinya pada Agustus atau September 2020. Ia menambahkan ke depan pihaknya akan membuat dua alat sebagai tes corona. Dua RT-LAMP masing-masing menggunakan metode yang berbeda, yakni turbidimetri dan kolorimetri.
Penulis: Kukuh Subekti