IslamToday ID — Pertamina menuai banjir keluhan masyarakat akibat tidak menurunkan harga BBM di tengah anjloknya harga minyak dunia. Maraknya protes dari sejumlah pihak ini justru ditanggapi dengan jawa Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati.
Bos Pertaminia ini mengaku tak nyaman karena merasa dipojokkan oleh masyarakat untuk menurunkan harga BBM dalam negeri. Nicke mengklaim mahalnya ongkos produksi minyak dalam negeri melebihi harga impor minyak saat anjlok.
Dalih Pertamina
Mahalnya biaya produksi hulu migas dan kilang di dalam negeri menjadi salah satu alasan mengapa Pertamina enggan menurunkan harga BBM di Indonesia. Meskipun nada protes mulai nyaring terdengar sejak bulan April lalu. Di sisi lain Pertamina khawatir kebijakan untuk menurunkan harga BBM, menyebabkan tutupnya industri hulu migas Pertamina.
“Tutup kilang, tutup sumur lebih menguntungkan.Tapi kami kan BUMN. Industri turunan ikut mati kalau kami tutup. Kalau mau profit saja mah gampang, beli saja,” kata Dirut Pertamina Nicke, Senin (29/6/2020).
Nicke mengklaim turunnya harga minyak mentah dunia hanya terjadi pada periode April hingga Mei. Ia menambahkan jika kondisi kembali normal harga minyak bisa kembali naik.
“Kondisi kemarin harga impor produk lebih murah dari impor crude itu April-Mei. Itu kondisi anomali memang,” terangnya.
Di sisi lain negara juga memiliki utang kepada Pertamina senilai Rp 96,5 triliun. Nilai tersebut merupakan akumulasi dari jumlah utang sejak tahun 2017. Dengan rincian utang pemerintah kepada Pertamina sejak tahun 2017 sebesar Rp 20,78 triliun. Kemudian di 2018 sebesar Rp 44,85 triliun. Adapun di 2019 sebesar Rp 30,86 triliun. Dikabarkan piutang Pertamina tersebut baru akan dibayar pemerintah sebesar Rp 45 triliun pada tahun 2020 ini. Sisanya sebesar Rp 51,50 triliun baru akan dibayarkan pada tahun 2021 mendatang.
“Surat dari Menteri Keuangan yang akan dibayarkan ke Pertamina tahun ini Rp 45 triliun. Sebetulnya utang pemerintah ke Pertamina itu adalah Rp 96,5 triliun,” ungkap Nicke.
Dugaan sejumlah pihak tentang beban keuangan Pertamina akhirnya diakui oleh Nicke pada 29 Juni lalu. Meskipun demikian ia tidak menyebutkan besaran minus yang dialami oleh perusahaan yang dipimpinnya tersebut. Pertamina sangat terbantu dengan rencana pembayaran utang pemerintah kepada Pertamina.
“Di poin inilah kami sangat terbantu dengan pencairan piutang pemerintah karena ini sangat membantu ketika arus kas dari operasi ini di Maret dan April kami sangat suffered (tertekan),” ungkap Nicke.
Temuan KPPU
Sebelumnya, pada Mei lalu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkapkan dugaan adanya permainan harga eceran BBM yang terjadi di Indonesia. Praktik permainan harga BBM yang dilakukan oleh lima pelaku sektor usaha berlangsung sejak bulan Maret 2020. Meskipun saat itu KPPU tidak merinci lima sektor usaha yang dimaksud namun mereka terbukti melanggar ketentuan Pasal 5 UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
“Saat ini KPPU telah mengantongi satu jenis alat bukti yang menjadi dasar penegakan hukum tersebut,” ujar Komisioner KPPU Guntur Saragih pada (15/5/2020).
Dikutip dari laporan Kompascom (17/5/2020) terungkap lima sektor usaha yang dimaksud oleh KPPU. Mereka adalah lima perusahaan yang menjual BBM ke pasar ritel di Indonesia.
Lima perusahaan tersebut adalah PT Pertamina, Shell Indonesia, PT Total Oil Indonesia, PT ExxonMobil Indonesia, PT AKR Corp Tbk yang bermitra dengan British Petroleum (BP), PT Vivo Energy Indonesia.
Gugatan Masyarakat
Sepanjang tidak ada penurunan harga BBM ini yang dilakukan oleh pemerintah, Presiden Jokowi menerima somasi dan juga gugatan. Salah satunya yang dilakukan oleh Pengamat energi, Marwan Batubara yang pada (22/5) telah mempersiapkan gugatan terhadap kebijakan pemerintah yang tidak mau menurunkan harga BBM.
Marwan menuturkan kerugian masyarakat akibat harga BBM yang tak kunjung turun mencapai Rp 13,75 triliun. Jumlah tersebut merupakan kerugian yang dihitung sejak harga minyak mentah dunia mengalami penurunan turun.
Selain mengacu pada ketidakmauan pemerintah untuk menurunkan harga BBM, ia juga akan menggugat ketidakkonsistenan pemerintah dengan kebijakan yang telah ditetapkannya.
Kebijakan yang dimaksud oleh Marwan Batubara ialah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 48 Tahun 2018. Ia berpendapat harga BBM seharusnya merujuk pada dua indikator yakni harga minyak mentah dan kurs rupiah. Ia pun mempertanyakan penyebab Pertamina enggan menurunkan harga BBM selama periode April-Mei.
“Pertamina bilang karena belum ada izin dari pemerintah, tapi aturannya sudah jelas itu bisa tinggal mengajukan kalau perlu penyesuaian ke pemerintah,” ungkap Marwan (22/5/2020).
Marwan menduga beban finansial Pertamina menjadi penyebab mengapa Pertamina enggan menurunkan harga BBM. Ia menduga Pertamina masih memiliki beban keuangan akibat penugasan yang selama ini diberikan pemerintah. Penugasan itu mulai dari penyaluran BBM subsidi hingga kebijakan BBM satu harga di seluruh Indonesia.
Koalisi Masyarakat Penggugat Harga BBM (KMPHB) akhirnya mengirimkan somasi kepada Presiden Jokowi pada Juni lalu. Surat somasi tersebut dikirimkan kepada sekretariat negara pada 9 Juni 2020 lalu. Jika somasi tersebut tidak dihiraukan oleh Presiden Jokowi, maka gugatan mereka berencana melakukan gugatan ke pengadilan.
“Apabila sampai batas waktu tanggal 16 Juni 2020 tuntutan kami tidak dipenuhi, maka langkah kami berikutnya adalah menggugat secara hukum (citizen law suit) ke pengadilan,” pungkas Koordinator KMPHB, Marwan (11/6/2020).
Menurut laporan Kontan.coid Pertamina kini memiliki surat utang atau global bonds US$ 1 miliar yang akan jatuh tempo pada 23 Mei 2021. Surat utang tersebut dikeluarkan pada 23 Mei 2011 lalu.
Sementara itu dikutip dari investor id pada (16/2) lalu, Pertamina juga mengeluarkan surat utang yang nilainya mencapai US$ 1,45. Bahkan Pertamina sebelumnya juga telah menerbitkan surat utang di bulan Januari.
Penulis: Kukuh Subekti
Editor: Tori Nuariza