IslamToday ID — Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof Dr KH Said Aqil Siroj menerima kunjungan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI untuk berdikusi tentang RUU Haluan Ideologi Pancasila di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, Jumat (3/7). Pada kesempatan tersebut, PBNU mendesak agar RUU HIP dicabut.
Setelah menggelar diskusi dengan pimpinan MPR, Ketum PBNU Said Aqil menyatakan sikap bahwa RUU HIP harus dicabut dan dibahas ulang dengan menggunakan kajian akademik.
“PBNU dari awal menyikapi, setelah mengkaji beberapa kali bahwa sebaiknya RUU HIP ini dicabut, dimulai, diulang dari awal dengan kajian akademik,” ujar Said Aqil Sirodj, Jumat (3/7), dikutip dari Republika.
Menurut Said, Aqil PBNU mengusulkan agar nama RUU HIP tersebut nantinya diganti dengan nama RUU BPIP.
“Kemudian nama juga diubah total, supaya tidak multi tafsir, langsung saja RUU BPIP. Itu usulnya PBNU itu,” jelasnya.
Kunjungan MPR ke PBNU dipimpinan oleh Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo. Hadir juga Wakil Ketua MPR, Zulkufli Hasan, Ahmad Basarah, Syarief Hasan, dan Arsul Sani. Mereka berdiskusi dengan Kiai Said sekitar satu jam tentang RUU HIP.
“Kurang lebih satu jam untuk diskusi tema yang sangat hangat ini yaitu menyikapi tentang RUU HIP yang sudah menjadi bahan pembicaraan seluruh komponen mayarakat. Banyak sekali yang menyikapi dengan sangat keras,” jelasnya.
Rancangan undang-undang haluan ideologi Pancasila (RUU HIP) telah disahkan menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna DPR sejak 12 Mei lalu. Namun, RUU ini mendapatkan penolakan dari kalangan masyarakat. Saat ini, DPR menunda pembahasan RUU HIP meski tidak dikeluarkan dari prolegnas prioritas tahun 2020.
RUU HIP Bongkar Falsafah Bangsa
Sementara itu dalam kesempatan berbeda, PBNU menilai penyebutan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) sama dengan membongkar kembali falsafah bangsa yang sudah selesai. Karena itu sebaiknya RUU HIP ditarik saja.
Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini menyampaikan, perumusan Pancasila melalui proses yang sangat luar biasa. Bagi NU, Pancasila merupakan titik temu adanya berbagai macam perbedaan pendapat, ras, dan golongan. Pada Munas Alim Ulama NU 1983 di Situbondo menyatakan konsepsi kebangsaan kenegaraan bahwa Pancasila dan NKRI adalah bentuk final.
“Maka dalam konteks itu kita semua dikagetkan dengan munculnya perdebatan tentang RUU HIP, menurut hemat kami kalau ini (RUU HIP) diteruskan maka akan melahirkan satu keadaan yang kontraproduktif di tengah situasi kita sedang menghadapi Covid-19,” pungkas Helmy dalam konferensi pers menyampaikan pernyataan bersama ormas-ormas keagamaan tentang RUU HIP di Auditorium KH Ahmad Dahlan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (3/7).
Helmy juga menyampaikan, PBNU baru saja menerima kunjungan pimpinan MPR RI, ternyata pandangan PBNU yang disampaikan dalam pertemuan dengan MPR RI tersebut sama persis dengan aspirasi yang diterima pimpinan MPR RI. Jadi terkait RUU HIP ini sebaiknya ditarik saja.
Menurutnya, terkait kebutuhan dalam proses ketatanegaraan terkait lahirnya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang mungkin memerlukan satu payung hukum. Maka sebaiknya diusulkan kembali dalam pembahasan berikutnya melalui RUU inisiatif DPR atau agar lebih elegan RUU yang diusulkan pemerintah.
“(Misalnya) RUU inisiatif untuk memberikan payung hukum bagi adanya badan atau lembaga baru, seperti UU KPK dan UU lainnya, jadi tidak kemudian melebar terlalu jauh dengan penyebutan RUU HIP ini sama dengan membongkar kembali falsafah bangsa yang kita semua anggap sudah selesai,” ujarnya.
Pernyataan bersama untuk menanggapi polemik RUU HIP ini dihadiri Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan KWI Romo Agustinus Heri Wibowo, dan Sekretaris Umum PGI Pendeta Jacky Manuputty. Kemudian dihadiri juga oleh tokoh PHDI KS Arsana, tokoh Permabudhi Pandita Citra Surya, dan Ketua Umum Matakin Xs Budi S Tanuwibowo.
Salah satu poin dalam pernyataan bersama tersebut menyampaikan pemerintah menyatakan menunda pembahasan RUU HIP. Oleh karena itu, DPR hendaknya menunjukkan sikap dan karakter negarawan dengan lebih memahami arus aspirasi masyarakat dan lebih mementingkan bangsa dan negara di atas kepentingan partai politik dan golongan.[IZ]