IslamToday ID – Menteri Agama Fahrul Razi mengaku telah ‘menyensor 155 buku pelajaran agama Islam yang dinilai memuat radikalisme. Buku yang disensor tersebut merupakan buku pelajaran tentang Akidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Alquran dan Hadis, serta Bahasa Arab.
“Kami telah melakukan review 155 buku pelajaran. Konten yang bermuatan radikal dan eksklusivis dihilangkan. Moderasi beragama harus dibangun dari sekolah,” kata Menag Fachrul seperti dilansir dari CNNIndonesia.com (2/7/2020).
Buku-buku yang telah lolos sensor, siap digunakan pada tahun ajaran baru 2020/2021. Buku-buku yang telah lolos sensor turut menjelaskan bahwa khilafah tidak lagi relevan dengan kondisi Indonesia.
Sistematis
Penghapusan ilmu tentang khilafah dari peradaban bangsa Indonesia tierlihat sistematis. Selain menyasar buku pelajaran sekolah, program moderasi agama Kemenag juga menyasar dunia kampus. Program moderasi agama di kampus dilakukan dengan cara membangun rumah moderasi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN).
Tidak cukup itu, Menag turut ‘mencampuri’ urusan rumah tangga. Bimbingan perkawinan diarahkan pada masalah kesehatan dan moderasi beragama. Dengan adanya bimbingan perkawinan tersebut kemenag berharap akan terwujud sebuah keluarga yang seluruh anggotanya mampu bersikap moderat.
“Presiden menggaris bawahi penguatan bimbingan perkawinan pada upaya membangun generasi sehat, kita perkuat lagi dengan moderasi beragama,” tutur Menag, Fachrul.
Selain mulai mengatur kehidupan keluarga, Kemenag melalui program moderasi beragama, juga akan mengatur para dosen dan guru. Kemenag berencana memberikan pelatihan kepada guru, dosen dengan penyusunan modul pengarusutamaan Islam wasathiyah (moderat), serta madrasah ramah anak.
Bahkan kini Kemenag tengah berencana membuat lomba ceramah toleransi, menulis cerita pendek tentang toleransi, hingga lomba karikatur toleransi dan kerukunan umat beragama.
Seperti dilaporkan CNNIndonesia.com (11/11/19), ia mengaskan bahwa pemerintah Indonesia melarang faham khilafah. Ia berargumen paham seperti itu lebih banyak unsur merugikan bagi keutuhan bangsa Indonesia.
“Saya sudah mulai lakukan secara tegas kita katakan khilafah tidak boleh ada di Indonesia. Memang kalau ngomong khilafah ini kan kalau dilihat dari aspek-aspek Alquran atau hadis-hadis dan lain sebagainya, kontroversial. Kalau kita berdebat enggak akan selesai-selesai,” kata Fachrul dalam lokakarya di sebuah hotel di Jakarta, Rabu (30/10).
Pada tahun 2019 lalu, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, fokus pada rencana penghapusan konten-konten yang dinilai bermasalah seperti khilafah.
Seluruh konten yang berpotensi disalah pahami oleh siswa akan dihapus oleh Kemenag. Salah satunya dengan melakukan sensor dan merombak isi buku pelajaran agama. Hal itu dilakukan mulai dari materi tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.
Sejak awal Jendral Purnawirawan TNI Fachrul Razi memang dipersiapkan Presiden Jokowi untuk melakukan ‘operasi’ deradikalisasi. Sejak awal menjabat, ia fokus pada pelarangan khilafah dan menangkal radikalisme di Indonesia. Saking semangatnya, Menag Fachrul Razi sempat melarang penggunaan cadar dan celana cingkrang.
Dikutip dari okezone.com (21/11/19) Menag mengaku telah memetakan sebab-sebab munculnya radikalisme. Setidaknya ia menyebut ada tiga elemen penyebab radikalisme yakni ekonomi, pendidikan dan agama.
Ia juga menyiapkan tiga langkah untuk menangkal radikalisme di Indonesia. Pertama melalui jalur pendidikan dengan cara pembinaan mental. Kedua melalui mainstreaming moderasi beragama, dengan cara menempatkan bandul selalu di tengah. Menurutnya selain harus memiliki keyakinna yang kuat dengan agamanya sesorang juga harus mampu bertoleransi terhadap agama lain.
Cara ketiga yang dikemukakan oleh Fachrul ialah dengan melakukan internalisasi nilai-nilai empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI dalam aktivitas sehari-hari.
Moderasi Beragama
Adian Husaini dalam kumpulan Catatan Akhir Pekannya tentang Problematika Istilah Islam Moderat menuturkan, seolah ada keharusan penggiringan opini bahwa di zaman globalisasi, corak keberislaman yang ‘baik’ adalah menjadi Muslim yang moderat. Dengan kata lain, bukan menjadi Muslim yang liberal atau yang radikal.
Lanjut Adian, istilah “moderat” tersebut dimunculkan dan dipopulerkan oleh berbagai kalangan, baik cendekiawan, kepala Negara/pemerintahan Muslim, atau tokoh-tokoh agama. “Islam moderat”, yang kadang-kadang disamakan dengan istilah “ummatan wasatha”.
“Sebagai satu sistem ajaran dan nilai, sepanjang sejarahnya, Islam tidak menafikan kemungkinan mengambil istilah-istilah asing untuk diadopsi menjadi istilah baru dalam khazanah Islam. Tetapi, istilah baru itu harus benar-benar diberi makna baru, yang sesuai dengan Islam. Istilah itu tidak dibiarkan liar, seperti maknanya yang asli dalam agama atau peradaban lain,” ujarnya
Sikap wasathiyah adalah karakter ajaran Islam itu sendiri. Istilah wasathiyah, menurut Dr. Muhammad Imarah, termasuk yang sering disalahartikan. Dalam bukunya, Ma’rakah al-Mushthalahat bayna al-Gharb wa al-Islam (Di Indonesiakan oleh Musthalah Maufur MA dengan judul “Perang Terminologi Islam versus Barat”), Imarah menjelaskan dengan cukup panjang lebar makna konsep “al-wasathiyah” di dalam Islam. Istilah al-wasathiyah dalam pengertian Islam mencerminkan karakter dan jatidiri yang khusus dimiliki oleh manhaj Islam dalam pemikiran dan kehidupan; dalam pandangan, pelaksanaan, dan penerapannya.
“Sikap wasathiyah Islam adalah satu sikap penolakan terhadap ekstremitas dalam bentuk kezaliman dan kebathilan. Ia tidak lain merupakan cerminan dari fithrah asli manusia yang suci yang belum tercemar pengaruh-pengaruh negative,” ujar Adian
Umat yang adil dan umat pilihan adalah ‘ummatan wasatha’ (umat pertengahan). Menurutnya, saat ini terjemahan “umat pertengahan” atau “umat yang adil dan pilihan” mungkin lebih tepat dari pada umat moderat, mengingat banyaknya kerancuan dalam istilah moderat yang digunakan oleh Barat dan kaum sekular-liberal saat ini.
Konsep ‘al-wasathiyyah’ bukan berarti sikap yang tidak berpihak kepada kebenaran, tidak memiliki pendirian untuk menentukan mana yang haq dan mana yang bathil. Al-Wasathiyyah juga tidak bermakna sikap ‘plin-plan’, dengan mengorbankan kebenaran demi untuk mencapai tujuan keduniawian.
“Saat ini, ada kecenderungan pengaburan sikap al-Wastahiyyah pada beberapa kalangan, dan menyamakannya dengan konsep moderatisme Islam yang kabur maknanya. Malah, ada yang menggunakan istilah “Islam moderat” dengan makna yang sama dengan istilah “Islam Inklusif” atau “Islam Pluralis”. Melalui konsep dan kedok istilah “Islam Moderat” itu pula, kemudian disebarkan paham “Pluralisme Agama” (At-Ta’addudiyah al-Diniyyah), yang menyatakan semua agama itu adalah sama dan benar,” tutur Adian
Penulis: Kukuh Subekti, Arief Setiyanto