IslamToday ID —Beredar kabar Presiden Jokowi akan memembubarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kendati santer di berbagai media, ternyata tidak satu pun memuat pernyataan resmi Presiden Jokowi. Berbagai media mengutip laporan yang diturunkan Reuters.
Dalam beritanya berjudul judul “Exclusive: Indonesia considers putting banking regulation under central bank – sources” (2/7/2020) , Reuters menyampaikan bahwa Presiden Indonesia Joko Widodo sedang mempertimbangkan untuk mengeluarkan dekrit darurat. Dektri tersebut dalam rangka mengembalikan regulasi perbankan ke kewenangan bank sentral.
Menurut dua orang yang mendapat pengarahan Jokowi, pertimbangan mengembalikan peran OJK e BI karena ketidakpuasan Jokowi tentang kinerja OJK selama pandemi,
“BI sangat senang tentang ini … tetapi akan ada tambahan untuk KPI: akan diberitahu untuk tidak hanya menjaga mata uang dan inflasi, tetapi juga pengangguran,” kata sumber yang diwawancarai reuters,
OJK didirikan berdasarkan undang-undang tahun 2011 untuk mengawasi lembaga keuangan. Lembaga ini mengacu pada struktur regulasi jasa keuangan Inggris saat itu. Indonesia sekarang melihat struktur Perancis, yang memiliki otoritas administratif independen di bawah bank sentral yang mengawasi perbankan, kata salah satu orang.
Sinyal Pembubaran OJK
Wacana pembubaran OJK bukan pertama kali terjadi. Wacana itu muncul awal tahun 2020 lalu. Wacana itu disampaikan Eriko Sotarduga, Wakil Ketua Komisi XI DPR, pernah mengatakan, pengawasan OJK terhadap industri keuangan belum maksimal. Menurutnya, DPR bisa saja mengembalikan fungsi pengawasan industri keuangan dari OJK ke Bank Indonesia.
“Memungkinkan saja OJK dikembalikan ke BI. Di Inggris sudah terjadi, beberapa negara juga sudah terjadi. Nah ini tentu harus dievaluasi (OJK),” kata, Selasa (21/1/2020) dikutip dari kumparan.com
Pada Januari lalu, Presiden Jokowi juga sudah menyampaikan sinyal untuk mereformasi industry kekuangan termasuk merevisi UU Nomor 21 tahun 2011 tentang OJK. Alasannya, banyak kasus keuangan yang terjadi, seperti kasus PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asabri.
“Ini momentum untuk mereformasi industri keuangan nonbank, baik asuransi maupun dana pensiun sehingga muncul kepercayaan dari masyarakat. Bisa saja UU OJK juga direvisi karena dibentuk sejak 2012, sebelumnya Bapepam-LK,” ujar Jokowi, Jumat (17/1/2020).
Hal ini diperparah dengan terjeratnya pejabat aktif OJK dalam pusaran Mega Skalndal Jiwasraya.. Kejaksaan Agung menetapkan Deputi Pengawasan Pasar Modal Fakhri Hilmi sebagai tersangka bersama 10 perusahaan manajer investasi. Sebelumnya sudah ada sembilan tersangka dalam kasus ini.
Berdasarkan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan, kerugian negara akibat kasus Jiwasraya ditaksir Rp 16,8 triliun. BPK menyebutkan penyebab utama gagal bayar Jiwasraya adalah kesalahan mengelola investasi. Dalam audit investigasi awal, BPK menemukan manipulasi pencatatan laporan keuangan atau window dressing dan pencatatan laba yang semu selama bertahun-tahun. Hingga kuartal ketiga 2019, Jiwasraya mencatatkan ekuitas negatif Rp 24 triliun.
Cukup Evaluasi
Rencana Presiden Jokowi mengembalikan tugas dan wewenang ke Bank Indonesia (BI) ditolak sejumlah pihak. Rencana tersebut dinilai dapat menimbulkan kegaduhan di pasar keuangan. Pembubaran OJK akan membuat para nasabah dan investor beranggapan bahwa kondisi keuangan di Indonesia dalam situasi gawat.
Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira menolak rencana tersebut. Menurutnya, rencana pengembalian tugas pengawasan OJK, akan memperberat kinerja BI. Pengembalian tugas dan wewenang juga tidak menjamin peran pengawasan bisa lebih baik. Ia menyarankan agar pemerintah membiarkan BI fokus dengan tugasnya dalam menerapkan kebijakan moneter.
“Masa adaptasi yang lama membuat kebijakan tidak efektif. Budaya kerja antara pegawai OJK dan BI kan beda. Kalau dipaksa gabung ada penyesuaian lagi dari sisi budaya kerja. Ini kalau tidak hati-hati justru kontra produktif. Maunya cepat eksekusi stimulus tapi sebaliknya, ada masa adaptasi sehingga realisasi stimulus keuangan terhambat,” kata Bhima (05/07/2020).
Bhima, sependapat jika kinerja OJK selama ini memiliki banyak kelemahan. Misalnya dalam kasus asuransi Jiwasraya. Terlebih ada oknum yang terlibat dalam skandal korupsi di Jiwasraya. Selain itu, juga dominasi modal asing dari Kookmin Bank (bank asal Korea Selatan) di Bank Bukopin. Sejumlah kasus tersebut membuat OJK pantas dianggap tidak tegas dalam menjalankan tugas pengawasannya terhadap dunia perbankan Indonesia.
“OJK lebih bersikap reaktif dibandingkan proaktif dalam mengatasi fintech-fintech ilegal. Belum lagi soal pungutan OJK terhadap lembaga keuangan. Ini yang aneh dari awal, bagaimana mungkin mengawasi perbankan atau asuransi yang jadi sumber operasional OJK. Pasti menimbulkan moral hazard,” tutur Bhima.
Bhima pun menyarankan kepada pemerintah belajar dari kasus yang terjadi di lembaga sejenis dengan OJK yakni FSA di Inggris. FSA dibubarkan oleh pemerintah Inggris pada tahun 2013 setelah dinilai gagal dalam menangani krisis ekonomi yang terjadi di Inggris tahun 2008. Artinya membutuhkan kajian lima tahun lamanya sebelum membubarkan FSA.
Berkaca dari kasus yang terjadi di OJK, Bhima meminta pemerintah melakukan evaluasi terhadap OJK dari sisi kelembagaan dan kepemimpinan. Menurutnya hal tersebut lebih baik daripada membubarkan OJK. Ia pun menganjurkan kepada pemerintah untuk mengganti para pejabat yang kinerjanya dinilai tidak memuaskan.
Hal senada juga disampaikan oleh Pengamat Ekonomi Syariah Institut Pertanian Bogor, Irfan Syauqi Baek. Irfan menilai rencana pemerintah membubarkan OJK adalah tindakan yang tergesa-gesa. Perlu dilakukan kajian mendalam terkait dampak yang ditimbulkan dari pembubaran OJK. Pengambilan situasi di tengah krisis hanya akan merusak kepercayaan masyarakat dan berujung pada timbulnya kepanikan masyarakat.
“Kalau melihat damaging effect dalam situasi sekarang akan memperberat industri keuangan syariah dan keuangan secara umum, berpotensi menciptakan krisis keuangan yang lebih dalam sebab ketika dibubarkan, banyak hal yang sedang ditangani OJK saat ini akan ikut tidak terawasi dengan baik. Jadi, biarkan saja dulu OJK perbaiki dirinya,” jelas Irfan dikutip dari Kumparan.com (5/7/2020).
Irfan menilai untuk situasi saat ini Langkah yang paling tepat ialah melakukan evaluasi terhadap OJK. Jika ditemukan pejabat yang tidak berkompetensi bisa diganti dengan mereka yang lebih kompeten. Ia menambahkan bahwa dalam situasi krisis saat ini yang dibutuhkan ialah koordinasi yang kuat di internal OJK.
“Dalam kondisi krisis saat ini justru kekuatan harus bisa dikoordinasikan dengan baik supaya saling dukung. Jadi lebih baik evaluasi saja orangnya, cost-nya lebih kecil dibandingkan bubarkan institusinya,” ucap Irfan
Penulis: Kukuh Subekti