IslamToday ID –Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) memasuki episode baru. Muncul agenda mengganti RUU HIP menjadi RUU Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP). Meskipun digangti menjadi RUU BPIP, dikhawatirkan tafsir Pancasila tetap dapat dimonopoli oleh pihak yang berkuasa.
Lika-liku RUU HIP
Usulan RUU HIP muncul lewat rapat Badan Legislasi DPR (Baleg). Dari laman resmi DPR, rapat pembahasan RUU HIP setidaknya sudah dilakukan 7 kali sejak Februari 2020 hingga 26 Juni 2020. Rapat Dengar Pendapat Umum digelar perdana digelar 11 Februari lalu. Rapat itu diketuai oleh politisi PDIP sekaligus Wakil Ketua Baleg DPR, Rieke Diah Pitaloka. Rieke juga ditunjuk sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja) untuk RUU tersebut.
Dilansir CNN Indonesia 29 Juni 2020, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengaku RUU HIP diusulkan oleh fraksinya di DPR. Hasto menyebut pihaknya membuka dialog dengan siapapun. Menurutnya, RUU HIP saat ini masih berupa rancangan, sehingga bisa diubah.
“Maka dengan adanya rancangan undang-undang yang kami usulkan, PDI Perjuangan tentu saja membuka dialog,” kata dia dalam webinar berjudul “Jas Merah: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Ciptakan Sejarah Positif Bagi Bangsa” dalam Rangka Peringatan Bulan Bung Karno 2020, Minggu malam (28/6).
Sebelumnya, seperti dilaporkan tempo.co 18 Juni 2020, anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Aria Bima mengatakan dari proses pandangan di baleg DPR semua fraksi sudah memberikan pandangan dan setuju membawa RUU HIP ke paripurna. Ia mengatakan di paripurna pun tak ada yang memberikan catatan.
“Tapi kemudian seolah-olah di publik lepas tangan dengan menyalahkan beberapa orang atau beberapa partai saja. Ini yang saya sangat menyayangkan jangan begitu lah,” kata Aria
Sejumlah pasal dalam RUU HIP dianggap bermasalah oleh sejumlah tokoh. Puncaknya, ribuan orang menggelar demonstrasi menolak RUU HIP di depan Gedung DPR/MPR RI, Rabu (24/6/2020). Dalam aksi ini terjadi insiden pembakaran bendera PDIP dan bendera berlambang palu arit. Insiden ini lantas mengundang ‘kemarahan’ PDIP, sehingga membawa insiden ini ke ranah hukum.
Dilansir republika.co.id 28 Juni 2020, Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah menbgusulkan agar RUU HIP diganti nama menjadi RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila), sesuai nomenklatur awalnya. Fungsinya sebagai payung untuk mengatur wewenang, tugas, dan fungsi BPIP dalam melakukan pembinaan ideologi bangsa.
Usulan tersebut tidak meredakan penolakan. Bahkan usulan itu dinilai bagai mengganti baju RUU HIP, berubah nama namun isinya sama.
Pada 26 Juni 2020, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menyerukan agar RUU HIP dicabut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Ia juga menolak modus perubahan nama untuk meloloskan RUU tersebut.
“Jangan ada pihak tertentu mengajukan UU lain dengan nama yang berbeda, tetapi isinya sama dengan RUU HIP ini. Seperti misalnya mengajukan RUU lain yang namanya RUU tentang BPIP,” ucap Abdul Mu’ti dalam diskusi RUU HIP yang digelar Demokrat secara virtual.
Manuver Ganti RUU
Di sisi lain, Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siraj menawarkan alternatif lain. Ia menawarkan agar RUU HIP diganti menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) usai melalui proses perombakan. Usulan ini disampaikan dalam pertemuan bersama Ketua MPR Bambang Soesatyo di kantor PBNU, Jum’at 3 juli 2020
“Sebaiknya RUU HIP ini dicabut. Judul juga diubah total supaya tidak multitafsir. Langsung saja jadi RUU BPIP,” kata Said di Kantor PBNU, Jakarta.
Kemudian, Selasa 7 Juli 2020 Pengurus Besar Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKA PMII), Legiun Veteran serta Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat mendukung peungatan BPIP melalui undang-undang.
Bamsoet juga menyebut bahwa pemerintah memiliki hak untuk tidak mengeluarkan surat presiden (Surpres). Pemerintah menyusun daftar inventaris masalah (DIM) dengan cara mencoret materi dalam RUU yang selama ini menjadi polemik, serta fokus materi undang undang pada penguatan BPIP.
“Sekarang bola ada di tangan pemerintah dan pemerintah punya waktu sampai 20 Juli untuk merespons,” jelas Bamsoet (5/7/2020).
Pada tanggal 8 Juli 2020, terjadi pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan pimpinan MPR di Istana Bogor, Rabu (8/7/2020). Tampaknya telah mengerucut rencana RUU HIP bakal diganti menjadi RUU BPIP. Pasalnya, usai pertemuan itu Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan sikap Presiden ini sejalan dengan keinginan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang menginginkan RUU HIP diganti menjadi RUU BPIP.
“Tapi karena ini adalah sepenuhnya domain pemerintah dan DPR, maka MPR tidak masuk ke wilayah itu. Tapi kami hanya mendengar masukan aspirasi masyarakat, yang tadi Presiden juga menyampaikan hal yang sama,” kata Bamsoet seperti dilaporkan kompas.com
Silang Pendapat Pakar
Pertama dari Pakar Hukum Tata Negara Universitas Jenderal Soedirman (Unsud) Purwokerto, Muhammad Fauzan. Fauzan menilai pembahasan RUU HIP tidak masalah jika bertujuan untuk menguatkan BPIP.
“Kalau maksudnya untuk memperkuat BPIP, itu enggak masalah, memperkuat BPIP dengan undang-undang. Contohnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dasar legitimasinya adalah dengan undang-undang,” ucap Fauzan (6/7/2020)
Sementara itu, Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Universitas Sebelas Maret (UNS) Agus Riewanto mengatakan, sejak 1998 Indonesia mulai kehilangan arah dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Hal ini disebabkan oleh pembinaan ideologi Pancasila tidak sinkron, koordinatif, berkesinambungan, dan partisipatif.
Namun jika kewenangan pembinaan itu diatur dalam Perpres, maka akan rawan disalah gunakan sebab tidak ada kontrol public. Maka dari itu menurut Riewanto pembinaan ideologi Pancasila perlu diatur kelembagaanya dalam bentuk undang-undang.
“Agar tak juga mudah dibubarkan oleh rezim kekuasaan berikutnya,” ujarnya
Sementara itu, pakar hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar berpendapat, sebaiknya RUU HIP Itu dicabut langsung dari Prolegnas DPR. Hal ini bertujuan agar tidak ada peluang atau celah bagi rezim yang berkuasa atau siapapun untuk memonopoli tafsir Pancasila.
“Karena sangat berbahaya dapat digunakan untuk menyingkirkan lawan politik, tentu saja ini bertentangan dengan hakekat demokrasi,” jelas Abdul Fickar, dilansir dari Sindonews.com (6/7/2020).
Ia menilai perubahan RUU HIP menjadi RUU BPIP dinilainya tidak tepat. Ia menyarankan jika sifatnya hanya untuk menguatkan BPIP sebagai lembaga negara non kementerian cukup menggunakan Peraturan Presiden (Perpres).
Jika dipaksakan, akibatnya hanya akan membuat RUU ini sebagai jebakan. Sebab, jika RUU ini disahkan maka rawan digunakan sebagai alat tafsir terhadap Pancasila.
“Jadi saya kira tidak perlu BPIP di RUU-kan. Sekali lagi ini jebakan batman,” pungkasnya.
Penulis: Kukuh Subekti, Arief Setiyanto