IslamToday ID – NU dan Muhammadiyah kompak menolak RUU Omnibus Law. Muhammadiyah menyatakan landasan filosofi RUU Omnibus Law sangat rapuh. Sementara itu Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PBNU) menyatakan, RUU Omnibus Law sebagai bentuk kezaliman yang harus dihentikan.
“Jelas sekali bahwa RUU Cipta Kerja ini sarat dengan aneka kezaliman, kalau sarat dengan aneka kezaliman, tentu tidak harus dilanjutkan,” kata Wakil Ketua Umum PBNU, H. Mochammad Maksum Machfoedz, dikutip dari cnnindonesia.com (28/4/2020).
Maksum menyebutkan salah satu bukti kezaliman RUU Omnibus Law terdapat dalam pasal 66 ayat 2. Melalui pasal tersebut pemerintah melegalkan impor sebagai sarana untuk memenuhi sumber pangan dalam negeri yang sebelumnya dibatasi dalam Undang-undang (UU) No. 18/2012 tentang Pangan.
Selamai ini UU No.18/2012 hanya mengizinkan impor ketika produksi bahan pangan pokok di dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Keberadaan pasal 66 ayat 2 RUU membuat kran impor pangan semakin terbuka lebar.
“Nah kalau pasalnya begitu kan berarti menghalalkan impor. Tidak membedakan impor dan produksi dalam negeri,” ujar Maksum
Hasil Kajian Akademik Muhammadiyah
Sementara itu Muhammadiyah telah tiga kali melakukan kajian akademik yakni pada bulan Januari, Maret dan Mei 2020. Ada tiga kesimpulan utama yang dihasilkan oleh Muhammadiyah.
Pertama, Muhammadiyah menilai proses pengajuan dan pembahasan RUU tersebut tidak didahului dengan adanya partisipasi publik. Kedua, substansi RUU tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai moralitas konstitusi, perlindungan daulat rakyat (UUD 1945 pasal 1 ayat 2) dan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat yang dijamin dalam konstitusi dan sila keadilan sosial.
Muhammadiyah khawatir RUU omnibus law memberikan privilege terhadap kekuatan pemodal asing/sekelompok kecil pemodal dalam negeri. Ketiga, Muhammadiyah menyerukan agar politik legsilasi kembali kepada pengamalan Konstitusi Dasar dan Pancasila sebagai Dasar Konstitusional dan Ideologi Bangsa.
Kemudian pada 8 Juni 2020, Muhammadiyah mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi dan DPR terkait hasil kajian akademis Muhammadiyah terhadap RUU Omnibus Law tersebut.
“Maka, mohon dengan hormat perkenan Bapak Presiden bersama dengan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), untuk tidak melanjutkan pembahasan dan pengesahan atas RUU tersebut untuk kemaslahatan bersama. Dan menariknya guna disesuaikan dengan jiwa dan moralitas UUD 1945-Pancasila,” kata Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas dalam surat PP Muhammadiyah (8/6/2020).
Pada 15 Juli 2020, Busyro kembali menegaskan penolakannya terhadap RUU Omnibus Law. Ia datang ke Gedung DPR dan menyampaikankeberadaan RUU Omnibus Law bertabrakan dengan ideologi Pancasila. Bahkan menurutnya, keberadaan RUU Omnibus Law sebagai bentuk pembangkangan konstitusional.
Pandangan itu bukan tanpa alasan. Muhammadiyah telah melakukan tiga kajian akademis. Kajian pertama dilakukan di kantor Pusat PP Muhammadiyah, kedua forum group discussion (FGD) di Magelang, Jawa Tengah bersama 40 dekan Fakultas Hukum dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum dari seluruh Indonesia beserta para pakar. Puncaknya Muhammadiyah melalui webinar mengundang perwakilan dari DPR yakni Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin.
“Sehingga prosedur yang kami tempuh itu sudah cukup demokratis,” tutur Busyro.
Jika NU yang mempermasalahkan pasal 66 ayat 2 RUU Omnibus Law, maka Muhammadiyah menyoroti kajiannya terhadap pasal 127 RUU Omnibus Law. Pasal tersebut mengatur soal pertanahan yang memperpanjang Hak Guna Usaha (HGU) hingga 90 tahun. Tentu hal ini dianggap bertentangan dengan moralitas konstitusi karena memberikan daulat tanah dan sumber daya alam bukan kepada rakyat.
“Kami gunakan istilah moralitas konstitusi, karena konstitusi kita mengandung ruh dan nilai-nilai moral yang sangat tinggi,” pungkas Busyro.
Tim Teknis Pecah
Pada 3 Juli lalu pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) membentuk Tim Teknis RUU Omnibus Law. Tim ini dibentuk untuk mengurai pelemik RUU Omnibus Law dalam sektor ketenagakerjaan.
Tim ini terdiri 15 organisasi buruh, 15 perwakilan pengusaha dan 25 perwakilan pemerintah. Namun di tengah jalan, sebagian perwakilan buruh memutuskan untuk keluar, dan hanya menyisakan enam organisasi buruh.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), memutuskan keluar setelah kecewa dengan sikap arogansi para pengusaha. Khususnya mereka yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan Kamar Dagang dan Industri (KADIN).
“Unsur Apindo/Kadin dengan arogan mengembalikan konsep RUU usulan dari unsur serikat pekerja dan tidak mau meyerahkan usulan konsep Apindo/Kadin secara tertulis,” jelas Presiden KSPI Said Iqbal, dikutip dari kompas.com (15/7/2020).
Lanjut Iqbal, APINDO dan KADIN tidak mampu menunjukan draft yang mereka miliki. Iqbal menilai APINDO dan KADIN tidak memahami esensi pembhasan tersebut.
“Ini menunjukan Apindo/Kadin tidak memahami esensi pembahasan tripartit dan mengingkari makna take and give yang pernah disampaikan oleh ketua umum mereka dalam rapat pertama. Bahkan amanat Presiden Jokowi pun diabaikan,” jelas Iqbal.
Selain itu, ada empat alasan yang membuat pihaknya keluar dari keanggotaan Tim Teknis RUU Omnibus Law. Pertama, tim tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dan kesepakatan apapun. Tetapi hanya mendengarkan masukan dari masing-masing unsur.
Alasan kedua ialah unsur Apindo maupun Kadin dengan arogan mengembalikan konsep RUU usulan dari unsur serikat pekerja. Berikutnya alasan ketiga adalah ada kesan pembahasan akan dipaksakan selesai pada tanggal 18 Juli 2020. Terakhir, alasan yang membuat pihaknya angkat kaki dari tim tersebut, yakni masukan yang disampaikan hanya sekedar ditampung.
Gelombang Penolakan
Gelombang pemolakan terhadap RUU Omnibus law terus terjadi. Ribuan buruh dan mahasiswa menggelar unjukrasa di depan degung DPR RI, Kamis (16/7/2020). Mereka ingin menggagalkan pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja yang saat ini sedang dibahas DPR bersama pemerintah.
“Sekitar 4.000 massa yang terdiri dari buruh, mahasiwa, dan elemen lainnya,” ujar Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Seluruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos dikutip dai kompas.com
Aksi serupa juga terjadi di sejumlah kota lainnya, seperti Sukabumi, Solo, Pamekasan dan Surabaya. Di Surabaya Ribuan massa yang tergabung dalam Gerakan Tolak Omnibus Law (Getol) Jawa Timur menolak menolak RUU Cipta Kerja dan RUU lain dalam klaster Omnibus Law.
“Kami dengan tegas monolak semua klaster Omnibus Law yang merugikan rakyat, dan menuntut DPR RI menghentikan pembahasannya,” kata Juru bicara Getol, Habibus Shalihin, Kamis (16/7/2020)
Terpisah, ratusan mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor DPRD Pamekasan, Madura, Jawa Timur, Kamis (16/7/2020). Mereka mendesak pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja di DPR RI dihentikan. Sejumlah mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor DPRD Pamekasan, Madura, Jawa Timur, Kamis (16/7/2020). Mereka mendesak pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja di DPR RI dihentikan. RUU itu dinilai cacat prosedur dan bermasalah dalam substansi.
“Kami menilai bahwa baik parlemen maupun pemerintah tidak punya niat politik untuk melindungi rakyatnya,” kata Korlap Aksi, Affan Azhar
Penulis: Arief Setiyanto, Kukuh Subekti