IslamToday ID — Keberadaan kasus positif Corona diakui resmi oleh Presiden Jokowi pada 2 Maret 2020. Hingga saat pemberlakuan ‘new normal’ berlangsung jumlah penduduk yang terpapar kian bertambah, per tanggal 18 Juli 2020 angkanya mencapai 84.882 kasus infeksi, 43.268 sembu, dan 4.016 kematian. Salah satu kota yang beberapa waktu lalu mencuat dalam hal kenaikan kasus ialah Kota Surakarta.
Perjalanan Kasus Infeksi di Solo
Pasien terpapar Covid-19 di Surakarta pertama kali ditemukan pada 8 Maret 2020 lalu. Dikutip dari Kompascom (14/3) saat itu ada dua pasien yang dirawat di RS Moewardi, keduanya sama-sama baru saja datang dari Kota Bogor. Setelah tiga hari menjalani masa perawatan, satu dari dua pasien Covid-19 meninggal dunia pada 11 Maret 2020. Atas kejadian tersebut Pemerinath Kota (Pemkot) Surakarta mengumumkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) pada 13 Maret 2020.
Setelah itu, jumlah penambahan kasus positif Corona di Surakarta berkisar antara satu hingga dua orang saja. Namun pada Ahad (12/7) pekan kemarin jumlah kasus positif Corona di Surakarta naik drastis. Sebanyak 18 orang dinyatakan positif terinfeksi Corona, peningkatan jumlah kasus ini membuat Surakarta masuk dalam zona hitam.
“Biasanya tambah 1-2 orang, hari ini tambah 18 orang. Sudah bukan zona merah lagi, zona hitam,” ujar Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Solo, Ahyani, CNBC Indonesia (13/7/2020).
Ahyani mengungkapkan dari jumlah tersebut kluster terbanyak berasal dari tenaga Kesehatan. Seperti banyak diberitakan bahwa pada sabtu, (11/7) kemarin sebanyak 25 dokter yang kini tengah menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Paru Universitas Sebelas Maret (UNS) dinyatakan positif terinfeksi corona setelah dilakukan SWAB test.
“Dari 25 orang itu, yang dinotifikasi sebagai warga Solo ada 15 orang. 3 orang lainnya masyarakat umum selain nakes. Tiga kasus selain nakes sebelumnya berstatus pasien dalam pengawasan (PDP), lalu naik kelas,” ungkap Ahyani.
Dalam rinciannya ia menjelaskan sebanyak 18 orang yang positif Covid-19 berasal dari beberapa kelurahan di Surakarta, Jebres 10 warga, lalu Mojosongo terdapat 3 warga, sisanya berasal dari Purwosari, Manahan, Sumber, Banyuanyar, dan Timuran masing-masing satu orang.
Dengan demikian jumlah kasus Covid-19 di Kota Surakarta total menjadi 63 kasus. Adapun penjelasannya ialah 22 orang warga Surakarta tengah menjalani perawatan di rumah sakit, sementara 37 orang sembuh, dan 4 orang meninggal dunia.
Atas kejadian tersebut Ahyani mengungkapkan bahwa Pemkot Surakarta belum mengizinkan sekolah dengan bertatap muka. Begitu pula acara hajatan yang berlangsung di rumah masih dilarang.
“Kemarin malah ada yang mau bikin pasar malam. Pokoknya sekolah masih belum kita izinkan tatap muka. Hajatan di rumah tidak boleh. Hajatan di tempat umum dengan protokol kesehatan,” ujarnya.
Penemuan 25 kasus positif Corona di kluster tenaga kesehatan yang juga merupakan bagian dari 80 mahasiswa PPDS FK UNS yang tengah mengadakan magang di RS Moewardi tersebut sudah selayaknya menjadi kewaspadaan tersendiri bagi pihak RS Moewardi. Sebab, selama ini mereka pun turut membantu memberikan pelayanan Kesehatan kepada pasien Covid-19 di RS Moewardi.
Pemkot Surakarta merupakan kota pertama yang menetapkan status KLB pada 13 Maret 2020. Hingga 21 Juni lalu, Pemkot Surakarta terhitung sudah memperpanjang masa KLB hingga empat kali. Pertama 13 Maret hingga 13 April, lalu diperpanjang hingga 26 April. Perpanjangan kedua berlaku hingga 29 Mei 2020, selanjutnya diperpanjang sampai 7 Juni 2020. Dan perpanjangan ke empat berlaku hingga 21 Juni 2020 kemarin.
Lonjakan Kasus di Solo
Sebagai gambaran, lonjakan kasus kasus di Solo memang cukup drastis. Dari Ahad hingga Selasa, ada 26 penambahan kasus.
Ada 19 kasus positif yang disumbang dari klaster tenaga kesehatan (nakes) RSUD dr Moewardi (RSDM). Mereka adalah bagian dari 25 dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PDSS) Paru Universitas Sebelas Maret (UNS) di RSDM yang dinyatakan positif COVID-19 pada Sabtu (11/7) malam. Sementara 6 dokter lainnya terdata sebagai pasien asal kota di luar Solo.
Dari non-nakes, antara lain ada dua bayi yang berusia 1 tahun dan 2 tahun. Lalu ada satu anggota DPRD Jawa Tengah dari Partai Golkar bernama Syamsul Bahri yang dinyatakan meninggal pada Ahad malam.
Dengan meninggalnya Syamsul Bahri, maka jumlah kematian karena COVID-19 di Solo bertambah menjadi 5 orang. Terakhir kali Pemkot Solo mencatatkan kasus kematian karena COVID-19, yakni pada 29 April 2020 lalu.
Ditambah lagi adanya klaster penjual tahu kupat asal Sukoharjo yang berjualan di timur RS Kasih Ibu Solo. Selain penjual itu, ada 9 orang lain yang juga dinyatakan positif COVID-19. Mereka terdiri dari nakes dan satpam RS Kasih Ibu, penjual lain, sopir becak.
Kemudian ada seorang pedagang asal Sukoharjo yang berjualan di Pasar Harjodaksino Solo. Setelah dinyatakan meninggal karena COVID-19, pasar ditutup sementara. Hasil swab beberap kontak erat pedagang tersebut masih belum keluar.
Selain Solo, Klaten juga kembali ke zona oranye Covid-19 berdasarkan data yang diperbarui pada 12 Juli 2020 dan terus di-update setiap pekan. Transmisi lokal di wilayah zona oranye kemungkinan berlangsung cepat.
Demikian pula dengan imported case serta transmisi di tingkat rumah tangga. Dengan demikian klaster baru harus dikontrol melalui tracing yang agresif.
Beda Ganjar & FX Rudy Soal Zona Hitam
Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo pada Senin (13/7) menjelaskan bahwa zona hitam hanyalah istilah karena drastisnya lonjakan kasus Corona. Dengan istilah itu, masyarakat diharapkan menjadi waspada.
“Bolehlah dikatakan zona hitam biar masyarakat lebih waspada, biar hati-hatilah. Karena apapun virus ini tidak terlihat,” kata Rudy saat ditemui di Balai Kota Solo, Senin (13/7/2020).
Jika dilihat sesuai indikator dalam situs covid19.go.id, Kota Solo masih berstatus zona oranye. Zona oranye berarti risiko penularan virus Corona dalam kategori sedang.
“Kalau sekarang ya oranye tua. Tapi masalahnya semua pasien itu ngebyuk (berkumpul) di Solo. RSUD dr Moewardi itu sampai penuh sekarang. Kalau dibilang zona hitam ya benar,” jelasnya, dilansir dari Detikcom.
Status Zona Malah Jadi Polemik
Salah satu pihak yang mempertanyakan adalah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Dia mengaku heran dengan sebutan zona hitam.
“Jarene sapa (kata siapa)? Yang ngomong zona hitam siapa?” kata Ganjar saat ditanya wartawan soal zona hitam Solo, Selasa (14/6/2020).
“Saya juga heran, mungkin itu penilaian pengamat yang bilang begitu, atau ada yang lagi benci. Soalnya yang terjadi dan kita kontrol saat ini di Solo ya di RSUD Moewardi dan UNS, itu saja,” ujarnya.
Pada saat bersamaan, Rudy kembali menjelaskan bahwa sebetulnya Solo memang bukan berstatus zona hitam. Sejak sebelum kasus melonjak, Solo sudah memasuki zona oranye, satu level di bawah merah.
“Sebenarnya Solo bukan zona hitam, zonanya oranye agak kemerah-merahan, sehingga masyarakat wajib hukumnya waspada,” kata Rudy di Balai Kota Solo, Selasa (14/7/2020).
Yang mengkhawatirkan, imbuh Rudy, penambahan kasus baru tersebut berasal dari klaster tenaga kesehatan (nakes). Dia khawatir nantinya pelayanan kesehatan menjadi terganggu.
“Kita digoncang 25 nakes sampai jadi zona hitam ini saja sudah kemana-mana. Makanya kalau sampai kekurangan nakes nanti yang mau mengurusi kita siapa,” ujarnya, dikutip dari Detik.
Sebagai informasi, tidak ada kategori zona hitam dalam data zonasi risiko yang dirilis Gugus Tugas Covid-19. Zona hitam sendiri tak ada dalam data zonasi risiko yang dirilis Gugus Tugas Covid-19. Zonasi risiko dibedakan dalam lima kategori, dengan simbol empat warna yakni merah, oranye, kuning, dan hijau.
Penyebutan Solo sebagai wilayah zona hitam pun membuat Gubernur Ganjar Pranowo kesal. Dia mengatakan pernyataan itu kemungkinan muncul dari orang yang tidak senang dengan Kota Solo.
Kesalahan Pemerintah, Perbaiki Komunikasi Publik
Di tengah-tengah status KLB Kota Surakarta yang terus diperpanjang hingga empat kali tersebut, pemerintah pusat justru mewacanakan kebijakan ‘new normal’. Kebijakan yang berlaku mulai awal Juni lalu kini terbukti gagal menekan penyebaran virus. Terbukti jumlah kasus positif yang terpapar virus ini justru makin bertambah bahkan beberapa kali menciptakan rekor harian terbaru. Atas kegagalan tersebut pemerintah merevisi pilihan diksinya ‘new normal’.
“Diksi ‘new normal’, dari awal diksi itu segera ubah. New normal itu diksi yang salah dan kita ganti dengan adaptasi kebiasaan baru,” jelas Jubir Pemerintah Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, dikutip dari Kompascom (13/7/2020).
Mendengar pengakuan pemerintah tersebut, Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mendesak pemerintah untuk segera memperbaiki kesalahannya. Ia berpendapat kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya berhenti pada masalah pilihan diksi namun juga pola komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat.
“Kalau memang sudah mengakui salah ya, kemudian apa yang harus dilakukan, perbaiki. Diperbaiki dengan tadi meningkatkan komunikasi untuk perubahan perilaku pada penduduk,” pungkas Pandu Riono (13/7/2020).
Salah satunya dengan sikap pemerintah yang lebih transparan dan terbuka kepada masyarakat terkait situasi pandemi Covid-19 yang tengah melanda Indonesia. Ia meminta pemerintah untuk tidak lagi ragu-ragu dan khawatir dengan respon masyarakat. Sebab yang penting bagi masyarakat saat ini ialah sebuah penjelasan yang jernih dan jujur dari pemerintah.
“Jangan takut masyarakat panik atau enggak, masyarakat itu enggak panik, masyarakat itu hanya butuh penjelasan yang jernih dan jujur. Dan pemerintah kebijakannyanya harus tegas dan konsisten jangan bertentangan,” tegasnya.
Istilah Tak Lazim Bagi Warga
Hal senada juga diungkapkan oleh anggota Komisi IX DPR, Saleh Daulay, menurutnya istilah yang digunakan oleh pemerintah dalam menyampaikan masalah Covid-19 tidak bisa dipahami oleh masyarakat. Apalagi istilah yang digunakan kebanyakan menggunakan bahasa asing. Banyak istilah yang digunakan pemerintah untuk menjelaskan kondisi pandemi Corona tidak lazim ada dalam kehidupan masyarakat.
“Sejak awal, pemerintah memang selalu menggunakan istilah-istilah baru dalam mendeskripsikan sesuatu terkait COVID-19. Istilah-istilah banyak diambil dari bahasa Inggris. Lihat saja, ada social distancing, physical distancing, imported case, local transmission, rapid test, new normal, dan lain-lain,” tutur Saleh, detik.com (11/7/2020).
Semua istilah tersebut dinilai sangat asing dan tidak lazim bagi masyarakat. Hal ini menyebabkan ketidakpahaman masyarakat dengan apa pesan yang sebenarnya diinginkan oleh pemerintah. Miskomunikasi, dan mispersepsi antara pihak pemerintah dan masyarakat disebabkan adanya pemaknaan yang berbeda dengan apa yang dimaksudkan.
“Dari sisi strategi penyampaian pesan, penggunaan diksi kata menjadi hal yang sangat penting diperhatikan. Tujuannya agar pesan dapat tersampaikan ke masyarakat secara baik. Kalau menggunakan diksi yang asing dan sulit dimengerti, itu artinya komunikasinya telah salah sejak awal,” ujar Saleh.
Penulis: Kukuh Subekti