IslamToday ID — Bobroknya praktik manajemen rumah tahanan (Rutan) Salemba kembali terungkap. Kebobrokan yang terjadi di Salemba terdiri atas bisnis jual beli kamar, hingga bisnis jual beli narkoba yang ‘legal’.
Hal ini diungkapkan oleh Juru Bicara Front Rakyat Indonesia for West Papua Surya Anta Ginting melaluinya akun twitternya @suryaanta pada (12//7). Surya melalui akun twitternya menyebutkan bagaimana situasi di dalam rutan kelas 1 Jakarta Pusat itu dari pertama ia masuk hingga berbagai aktivitas keseharian para tahanan.
Sebelumnya, kebobrokan Rutan Salemba pernah diungkap oleh Najwa Shihab pada September 2018 silam. Saat itu Najwa mengungkap adanya “apotek narkoba” yang biasa terjadi di blok C dan blok S. Selain apotek, ditemukan pula keberadaan tempat dugem lengkap dengan fasilitas layaknya sebuah diskotik pada umumnya.
Kesaksian Surya
Pada hari pertamanya sebagai tahanan ia bersama tujuh aktivis asal Papua lainya pun menjadi korban pemalakan yang dilakukan oleh tahanan lama kepada dirinya dan teman-temannya. Besaran uang yang diminta pun bervariasi mulai dari 1 juta hingga Rp 3juta.
“Akhirnya kami ber 5 bayar 500 ribu setelah tahanan lain tahu kami aktivis bukan anak pejabat,” kata Surya, Ahad (12/07/2020).
Selain harus menjadi korban pemalakan, Surya dan teman-temannya pun harus menerima kenyataan bahwa ia tidur di sebuah ruangan yang padat oleh 410 orang napi. Akibatnya, mereka tidak merasa nyaman, sebab mau tidak mau para tahanan harus terpaksa tidur dengan memiringkan tubuhnya. Selain harus tidur dalam keadaan berdesak-desakan ia dan para napi baru juga harus sabar dengan minimnya fasilitas MCK di tempat masa pengenalan lingkungan (mapaling) Rutan Salemba.
“Toilet cuma dua, tahanan tidur kaya ikan dijejer, tak jarang agar bisa tidur badan miring. Airnya berasa ada yang lengket. Para tahanan jadi sakit tenggorokan,” ungkap Surya.
Untuk bisa hidup nyaman di dalam Rutan Salemba seseorang harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal. Menurutnya para napi di Salemba pun ditantang untuk bisa survive. Tak heran segala macam cara dilakukan mulai dari cara yang halal atau hingga cara yang haram dilakukan. Mulai dari tukang pijat, tukang palak yang meminta-minta uang hingga menjadi penjual narkoba keliling.
“Karena biaya hidup di penjara mahal. Survival napi macem-macem. Ada yang nyopet. Ada yamg nyiletin kantung temannya. servis elektronik. Pijat. Jadi tamping (Tahanan Pendamping) yang juga ada beberapa yang mesti bayar. Jualan nasi. Jualan narkoba. Atau jd BNN (Bagian Nagih-Nagih) alias tukang pukul,” ungkap Surya.
Surya dalam kicauannya juga menampilkan beberapa dokumentasi berupa foto. Ia mengatakan setiap napi disana bebas memiliki smartphone. Bahkan di dalam rutan terdapat tempat untuk servis HP. Wajar kiranya jika bisnis narkoba di dalam rutan menjadi lancar sebab mereka bebas melakukan transaksi dengan pihak luar.
“Bisnis narkoba lancar. Bisnis transfer & terima uang kiriman juga lancar. Warung makanan ada. Petugas tahu itu. Jual beli parfum ada. Yang gak ada prostitusi,” ungkap Surya.
Fakta-fakta lain selain fakta-fakta yang ia sebut diatas, ialah timbulnya strata sosial di dalam rutan. Salah satunya terlihat dari praktik jual beli kamar yang dilakukan oleh oknum dari Rutan Salemba. Bagi para napi yang memiliki uang mereka bisa membayar “tiket masuk kamar” dan iuran kamar setiap pekannya, sementara bagi mereka yang tidak memiliki uang cukup tidur di lorong-lorong tahanan termasuk di depan kamar mandi.
Beda nasib dengan napi yang memiliki uang. Mereka bisa menyewa kamar yang bagus, seperti yang terdapat di blok O. Yang biaya sewa kamarnya mencapai Rp 70juta.
“Napi Kaya, koruptor misalnya, bisa beli kamar di Blok O seharga 50-70 juta. belum uang mingguannya. Gak perlu masuk Penampungan atau Mapenaling dulu kayak kami selama 1 bulan. Bahkan Napi dari blok lain gak bisa main2 ke Blok O ini,” tutur Surya.
Surya sebagai tahanan politik termasuk beruntung bisa menempati sebuah kamar di blok J.18. Meskipun kamar yang ia dan lima teman-temannya tempati berada dekat dengan “apotik narkoba”. Namun demikian ia pun pernah mengalami masa-masa sulit selama tinggal di rutan Salemba.
“Untuk bisa masak mie dan seduh kopi harus ‘nembak air’ caranya air di botol plastik, lalu bakar bawahnya dengan plastik-plastik. Polusi udara jadinya. Makanya banyak tahanan yang sakit. Saya sempat sakit demam dan keluar darah dari hidung, mau ke klinik prosedurnya rumit,” ujar Surya.
‘Rencana’ Penelusuran Ditjen PAS
Beredarnya pernyataan dari Suryaanta di twitter tersebut pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), baru berencana melakukan penelusuran. Kemenkumham mengklaim akan melakukan tindakan tegas terhadap sejumlah pelanggaran yang terjadi di Rutan Salemba. Seperti adanya aktivitas pungutan liar hingga transaksi narkoba.
“Kami sedang melakukan penelusuran terhadap info tersebut. Memberantas pungli dan peredaran narkoba, kami sangat tegas terkait itu, bisa dilihat bahwa tindakan tegas kepada oknum baik warga binaan maupun narapidana yang terlibat pada pelanggaran-pelanggaran tersebut,” kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen PAS, Rika Aprianti dikutip dari Kompascom, Senin (13/7/2020).
Rika pun mengakui adanya overcapacity yang terjadi di Rutan Salemba. Menurutnya ini adalah persoalan utama yang umumnya terjadi di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas). Ia menyebutkan jumlah penghuni lapas di Rutan Salemba mencapai 3.249 dari kapasitas seharusnya yang hanya mampu menampung setengahnya yakni 1.500 orang. Tidak hanya itu, selain mengalami kapasitas penghuni yang berlebih, Rutan Salemba juga mengalami minimnya jumlah petugas.
“Memang overcrowding itu menjadi salah satu masalah yang harus dipecahkan karena menimbulkan berbagai masalah,” jelasnya.
Menkumham Harus Cek Langsung
Anggota Komisi III DPR RI Rika Aprianti mendesak Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly untuk turun tangan menangani kasus yang terjadi di Rutan Salemba tersebut. Ia meminta Yasonna melakukan pengecekan langsung ke lapangan begitu pula jajaran petugas Rutan Salemba. Ia pun mendesak agar aparat yang terlibat segera ditindak.
Buruknya manajemen di dalam Rutan Salemba membuat kapasitas di dalam penjara menjadi berlebihan. Ia menyebut banyak tindak pidana ringan yang berujung pada diseretnya pelaku kedalam penjara, seperti para napi narkoba. Menurutnya, di Rutan Salemba sebanyak 70% tahanan berasal dari kasus narkotika yang seharusnya menjalani masa rehabilitasi bukan ditahan.
“Saya melihat raut ketidaknyamanan para penghuni yang bukan disebabkan oleh penyesalan dari kejahatannya, melainkan karena kondisi lapas yang penuh sesak dan jauh dari prinsip-prinsip dasar kemanusiaan,” tutur Hinca, dilansir dari CNN Indonesia, Senin (13/7/2020).
Harus Ada Solusi Komprehensif
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, temuan ini tidak mengejutkan tetapi tetap memprihatinkan. Sebab, dengan karena kondisi ini terus terjadi tanpa adanya solusi komprehensif.
“Hal ini jelas terjadi seiring dengan overcrowding Rutan dan Lapas yang terjadi terus menerus tanpa solusi yang komprehensif. Sebagai catatan, sebelum kebijakan pelepasan WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) untuk pencegahan penyebaran Covid-19, per Maret 2020 jumlah penghuni Rutan dan Lapas di Indonesia mencapai 270.466 orang. Padahal kapasitas Rutan dan Lapas hanya dapat menampung 132.335 Orang. Kesimpulannya beban Rutan dan Lapas di Indonesia mencapai 204 persen,” paparnya melalui keterangan pers, Selasa (14/7).
Sayangnya, solusi atas permasalahan tersebut tidak komprehensif dan hilang timbul. Pemerintah dinilai tidak begitu memperhatikan bahwa pangkal permasalahan kondisi adalah kebijakan pemidanaan di Indonesia, demikian menurut ICJR.
“Kementerian Hukum dan HAM pada Juli 2017 telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) No. 11 tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam lampiran Permenkumham tersebut, dinyatakan bahwa upaya penanganan overcrowding juga harus dilakukan dengan melakukan perubahan kebijakan dan mereformasi paradigma penghukuman yang kental dalam sistem peradilan pidana di Indonesia,” tandasnya.
Erasmus menjelaskan, Permenkumham ini menyoroti budaya praktis aparat penegak hukum yang secara eksesif melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dalam masa persidangan.
Per Maret 2020, imbuhnya, jumlah tahanan di Rutan/Lapas di Indonesia menyumbang 24 persen dari jumlah penghuni. Hal ini disebabkan oleh adanya paradigma penegak hukum bahwa penahanan merupakan suatu keharusan. Padahal KUHAP menyediakan mekanisme lain. Misalnya tahanan kota, tahanan rumah ataupun mekanisme penangguhan penahanan.
Untuk penahanan Rutan, KUHAP pun sudah menyatakan bahwa seorang tersangka ‘dapat’ dikenai penahanan, dan bukan ‘harus’ dikenai penahanan. “Sikap seperti ini yang dikritik Permenkumham ini,” jelasnya.
Selanjutnya, Direktur ICJR ini menjelaskan dengan pola pikir seperti ini sangat berdampak pada kapasitas rutan maupun lapas. Oleh karena semakin tinggi penghukuman dengan menggunakan media penahanan maka semakin tinggi jumlah hunian dibandingkan dengan kapasitas ruang yang tersedia.
Erasmus menambahkan, KUHAP dalam ketentuan mengenai penahanan membatasi syarat dilakukannya penahanan berdasarkan dua syarat, yakni syarat objektif dan subjektif. Sayangnya, syarat subjektif penggunaannya sangat bergantung dari penilaian aparat penegak hukum.
Ia pun menuturkan, apabila aparat penegak hukum berpendapat bahwa pelaku akan melarikan diri, maka penahanan dapat dilakukan. Kondisi ini kemudian diperburuk dengan ketiadaan mekanisme untuk mempertanyakan dipenuhinya syarat subjektif ini, karena praperadilan hanya terbatas memeriksa perihal administratif dan hanya dapat dilakukan apabila ada gugatan dari pihak yang haknya terlanggar.
Oleh karena itu, ICJR memberikan rekomendasi solusi untuk perbaikan kondisi ini
Pertama, Pemerintah dan DPR segera melakukan pembaruan KUHAP dan perbaikan sistem peradilan pidana serta memastikan judicial control/oversight yang lebih baik untuk mencegah penggunaan penahanan secara eksesif;
Kedua, Pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap upaya reformasi hukum pidana (reformasi ketentuan pidana dalam RKUHP dan UU terkait Pidana di luar KUHP, mengefektifkan pidana denda, dan bentuk alternatif pemidanaan non-pemenjaraan lainnya)
Ketiga, Pemerintah segera mengubah kebijakan punitif menjadi kesehatan masyarakat untuk menangani narkotika dan menyelaraskan kebijakan pidana dengan semangat menghapuskan stigmatisasi bagi pengguna dan pecandu narkotika.
Penulis: Kukuh Subekti