IslamToday ID –Puluhan ribu sekolah dan madrasah di Indonesia memiliki keterbatasan akses internet dan listrik. Sementara itu pemerintah kemendikbus ngotot menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Kebijakan ini dinilai menurunkan kualitas pendidikan.
Sebelumnyam, Mendikbud Nadiem Makarim memutuskan untuk membuka kembali sekolah di tahun ajaran baru 2020/2021. Sekolah yang masuk zona hijau diperkenankan melaksanakan pembelajaran tatap muka, sedangkan bagi sekolah di zona merah, orange dan kuning, dihimbau melaksanakan PJJ.
Jika diprosentase, kebiajkan tersebut memaksa 94 persen sekolah dan peserta didik di Indonesia melaksanakan pembelajaran secara PJJ Sedangkan yang bisa melaksanakan tatap muka hanya sekitar 6 persen saja.
“Total 94 persen peserta didik kita tidak diperkenankan tatap muka. Jadi masih belajar dari rumah,” kata Nadiem (15/6/2020).
Terkendala Internet dan Listrik
Sejumlah wilayah di Jawa Barat, seperti di Sukabumi selatan, Cianjur Selatan dan Garut Selatan tidak bisa melaksanakan pemebelajaran secara PJJ. Di sejumlah wilayah tersebut sebanyak 1300 tidak memiliki akses internet. Akhirnya, ditengah ancaman covid-19 pihak sekolah terpaksa melakukan pembelajaran tatap muka.
“Jadi mau operator apapun juga tidak ada sinyal di daerah itu,” tutur Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat Dedi Supandi (16/7/2020).
Kendala serupa juga diungkapkan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Banyak sekolah di beberapa daerah terpaksa melanggar ketentuan pembukaan sekolah di tengah pandemi Covid-19. Ketiadaan akses internet atau buruknya sinyal internet juga menjadi faktor penyebab sekolah akhirnya memilih melakukan pembelajaran dengan tatap muka.
“Terkendala di sarana prasarana. Sinyal jelek. Artinya mereka merasa enggak akan bisa PJJ online sebab kendala internet yang buruk,” Wakil Sekjen FSGI Satriwan Salim, cnnindonesia.com (15/7/2020)
Lanjut Salim, kondisi tersebut terjadi di Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh; Kabupaten Pandeglang, Banten; Kota Bekasi, Jawa Barat; dan Kota Padang, Sumatera Barat.
Tidak hanya, pihak sekolah dan para guru, pembelajaran secara . juga dikeluhkan menteri Agama Fchrul Razi. PAda Jum’at 17 Juli 2020 kemarin, aa secara khusus menghadap Wapres Ma’ruf Amin untuk menyampaikan keluhannya, Ia mengungkapkan, kerbatasnya akses internet dan listrik menjadi kendala utama pembelajaran . di madrasah tidak berjalan maksimal.
Fachrul menuturkan, menyebutkan bahwa ada 11.998 madrasah di Indonesia yang belum terjangkau oleh listrik. Sebanyak 13.793 madrasah belum terjangkau oleh jaringan internet. Sehingga total ada 25.791 sekolah, madrasah di Indonesia yang bermasalah dalam melaksanakan PJJ selama masa pandemi Covid-19.
“Banyak hal di bidang sekolah misalnya, terus terang aja, kita semua belum puas dengan belajar online. Banyak celah-celahnya sehingga anak-anak kita belum menerima pelajaran dengan utuh,” kata Fachrul.
Sementara itu menurut Pakar Pendidikan, Darmaningtyas ada ada 54.279 yang sulit melaksanakan pembelajaran jarak jauh. Jumlah tersebut terdiri dari 19.277 sekolah tidak memiliki akses internet, 35.002 sekolah tanpa akses listrik dan internet.
“Harus pecahkan masalah ini. Harus ada koordinasi dengan kementerian lain untuk ini,” jelas Darmaningtyas ( 30/6/2020)
Kepala Biro Humas dan Kerjasama Kemdikbud Evy Mulyani pun tidak bisa memberikan solusi yang memuaskan. Ia hanya mengatakan untuk mengatasi kendala pelaksanaanpembelajaran jarak jauh, siswa bisa memanfaatkan siaran radio RRI. Sementara bagi siswa yang terkendala sinyal internet pelaksanaan PJJ bisa diikuti dengan menggunakan siaran dari TVRI.
“Kemendikbud telah berkoordinasi antara lain dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, TVRI dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dimana KPI akan memetakan daerah blank spot sebelum selanjutnya ditindaklanjuti bersama,” tutur Evy (18/07/2020).
Kualitas Pendidikan Merosot
Pengamat Pendidikan, Perguruan Taman Siswa, Darmaningtyas menilai, kualitas pendidikan merosot selama pandemi Covid-19. Kemndikbud dinilai tidak memberikan solusi terhadap persolan utama pembelajaran jarakjauh, yakni akses listrik dan internet. Akibatnya banyak sekolah tak berdaya menghadapi situasi pandemi Covid-19.
Ia menilai, Mendikbud Nadiem Makariem tidak memiliki kemampuan mencari program pendidikan yang tepat di tengah pandemi. Kemendikbud tampak kesulitan mengejar keberhasilan Belajar Dari Rumah. Kebijakan Nadiem justru terlalu menguntungkan pihak swasta.
“Padahal kita punya platform sendiri seperti Rumah Belajar. Kenapa kita harus memprioritaskan kerja sama dengan swasta-swasta seperti Ruang Guru. Kita punya source sendiri untuk mobilisasi PJJ, tapi tidak dimaksimalkan,” pungkasny
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, 95,4 persen peserta didik memanfaatkan telepon genggam untuk pembelajaran daring. Ternyata, pembelajaran dengan cara ini ‘tidak ramah anak’.
“banyak siswa yang mengaku matanya sakit dan kelelahan karena berjam-jam menatap layar ponsel,” ungkap Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti dalam pernyataan tertulis, Sabtu (2/5/2020).
Selain itu, PJJ juga tidak maksimal, sebab mayoritas guru tidak terbiasa menerapkan pembelajaran secara daring. Hasil survei menunjukkan bahwa hanya 8 persen guru konsisten melakukan pembelajaran daring. Bahkan masih ada guru yang sama sekali belum pernah melaksanakan pembelajaran daring sebelum masa pandemic.
Survei juga menemukan, 82, persen guru hanya sebatas menggunakan WA, LINE, IG, dan FB sebagai media pembelajaran. Menurut KPAI, ini tidak sepenuhnya keliru, tetapi metode ini sangat minimalis dalam konteks pengelolaan media pembelajaran berbasis digital/TIK.
Data tersebut diperkuat dengan hasil survei bahwa, 79,9 persen responden menyatakan bahwa PJJ minim interaksi. Interaksi antara guru dan siswa hanya saat memberikan tugas dan menagih tugas saja.
Tercatat, hanya 20,1 persen responden yang menyatakan ada terjadi interaksi antara siswa dengan guru selama PJJ. Misalnya melalui chatting sekitar 87,2 persen 20,2 persen menggunakan zoom meeting, sedangkan 7,6 persen lagi menggunakan aplikasi video call WhatsApp dan 5,2 persen responden menggunakan telepon untuk langsung bicara dengan gurunya.
Problem lain yang muncul dari PJJ adalah akses internet yang mahal. Padahal penghasilan orangtua turun drastis. Dalam kondisi ini yang menjadi kebutuhan prioritas adalah kecukupan pangan. Akhirnya, kebutuhan pulsa dan kuota internet untuk Pendidikan dinomor duakan. Padahal akses internet ‘kebutuhan pokok’ untuk mengikuti pembelajaran jarak jauh. Seharusnya pemerintah membuka akses internet gratis. Dengan demikian, anak-anak dapat belajar dengan tenang dan aman.
“Isu ini harus menjadi perhatian Pemerintah dan perhatian bersama. Sebab, pendidikan adalah hak dasar anak yang harus dipenuhi negara,” kata dia.
Penulis: Kukuh Subekti, Arief Setiyanto