IslamToday ID –Kesepakatan pemerintah dan DPR merubah Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menjadi Rancangan Undang-undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP) dinilai tidak menyelesaikan polemik. RUU BPIP justru dinilai lebih berbahaya dari RUU HIP..
Direktur HRS Center, Abdul Chair Ramadhan mempertanyakan posisi RUU BPIP dan norma dasar pembentukannya. Menurutnya, RUU BPIP hanyalah keinginan Presiden Jokowi untuk menjadikan Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 sebagai ‘ideologi baru yang tetap dalam bungkus Pancasila.
Abdul, mengungkapkan, bahwa upaya tersebut sudah dimulai sejak tahun 2016 silam. Hal itu ditandai dengan terbitnya Keppres No.24/2016 tentang Hari Lahir Pancasila.
“Kehendak tersebut tidaklah berdiri sendiri, melainkan ada perjumpaan kehendak dengan PDI-P. Demikian jelas hal ini terbaca dengan dibentuknya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melalui Perpres Nomor 7 Tahun 2018 hingga munculnya RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dan sekarang RUU BPIP,” kata Abdul dalam keterangan tertulis (19/7/2020).
Abdul menilai ada upaya terstruktur yang dilakukan untuk mewujudkan Peta Jalan Ideologi Pancasila 1 Juni 1945. Hal itu mengesampingkan rangkaian fakta sejarah tentang keberadaan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Dekrit Presiden 1959 yang secara tegas menyatakan “Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstitusi.
“Kerja politik ideologis PDI-P kemudian merasuk ke dalam pikiran kolektif rezim guna ‘menghadang’ perjuangan penerapan Syariat Islam dalam sistem hukum nasional secara legal konstitusional,” imbuhnya.
Ia juga menjelaskan rentetan peristiwa yang terjadi sebelum kehadiran RUU HIP-RUU BPIP saat ini. Semua berawal dari kehadiran Perppu No.2/2017 tentang Ormas. Perppu itu kemudian disahkan menjadi UU No.16/2017. Sasaran gebuk pertama adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
“RUU BPIP, patut diwaspadai, RUU a quo bukan sebagai ‘jalan tengah’ penyelesaian polemik, melainkan justru lebih berbahaya dari RUU HIP,” terangnya.
Dugaan ini diperkuat dengan absennya UU No. 27/1999 dari RUU tersebut. Padahal, UU No. 27/1999 mengatur tentang Perubahan KUHP yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Menurut Abdul tanpa memasukan UU ini Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang disertakan dalam RUU BPIP ibarat hanya menjadi ‘gincu’.
Abdul juga menyoroti masuknya UU No.16/2017 tentang Ormas dalam RUU BPIP. UU tersebut dinilai sangat longgar dan multi tafsir. Misalnya, ketentuan dalam pasal 59 Ayat 4 huruf c, dengan frasa “paham lain” yang bertujuan untuk mengganti/mengubah Pancasila dan UUD 1945.
Ia juga mengungkapkan keambiguan dalam UU No. 16/2017 yang menyebutkan Ateisme, Komunisme/Marxisme-Leninisme. Namun anehnya yang menjadi sasaran tembak UU tersebut ialah ormas bukan partai politik.
“RUU BPIP telah memberikan kekuasaan kepada BPIP untuk merumuskan sendiri atas pelembagaan nilai-nilai Pancasila baik dalam pembentukan, pelaksanaan dan penegakan hukum,” ungkap Abdul.
Abdul juga mengkritisi masuknya UU No. 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. BPIP juga memiliki hak untuk menilai suatu “paham lain” yang terindikasi terorisme. Dengan demikian, BPIP berwenang melakukan pengklasterisasi suatu ajaran/paham keagamaan yang bertentangan dengan Pancasila.
Bukan hal yang tidak mungkin, setiap orang atau Ormas Islam yang mewacanakan sistem Khilafah dan Syariat Islam akan termasuk kategori terindikasi terorisme dan pada akhirnya diterapkan tindakan tertentu.
“RUU BPIP memang ringkas hanya tujuh belas pasal, namun mengandung konsentrasi besar dalam sistem penegakan hukum. Keberadaan BPIP jika ditingkatkan dengan Undang-Undang sebagaimana dimaksudkan, patut diduga kuat akan mengancam siapa saja yang dianggap sebagai musuh Pancasila,” jelas Abdul.
Kesewenang-wenangan
Sementara itu Wakil Ketua Fraksi PKS, Mulyanto, mengkritisi sikap pemerintah yang langsung mengganti RUU HIP menjadi RUU BPIP. Menurutnya kedua RUU tersebut berbeda baik dari segi substansi maupun status. Ia mengingatkan agar pemerintah mengikuti kaidah dalam UU nomor 12/2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Tidak bisa langsung mengusulkan draft RUU baru sebagai pengganti RUU inisiatif DPR RI. Karenanya tahapan pembahasannya harus mengikuti prosedur, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada,” jelas Mulyanto dikutip dari republika.co.id (19/7/2020).
Mulyanto menuturkan, dari segi judul dan substansi RUU HIP dan RUU BPIP berbeda.. Fungsi RUU HIP berlaku bagi semua kalangan baik penyelenggara negara maupun masyarakat. Sedangkan RUU BPIP berisi ketentuan yang mengatur kelembagaan Badan Pembina Ideologi Pancasila, yang sekarang ini dasar hukumnya berupa Peraturan Presiden.
Alasan lain yang membuat pemerintah tidak dibernarkan berlaku sewenang-wenang ialah inisiator RUU HIP dan RUU BPIP itu berbeda. RUU HIP diinisiasi oleh DPR sementara RUU BPIP oleh pemerintah.
Kemudian, ditinjau dari statusnya, RUU HIP merupakan produk Prolegnas Prioritas tahun 2020. Yang artinya telah masuk pembahasan di Alat Kelengkapan Dewan (AKD), yang ditetapkan dalam Sidang Paripurna, dan telah dikirim kepada Presiden dan mendapat jawaban Surat Presiden (Surpres).
“Sementara RUU BPIP baru saja diserahkan oleh pihak Pemerintah, yang tindak lanjutnya masih harus dibahas dan ditetapkan oleh Sidang Paripurna DPR RI,” terangnya.
Selain itu, masyarakat telah memiliki catatan negatif terhadap adanya RUU HIP. Sehingga RUU ini tidak seharusnya dilanjutkan. Ia berpandangan langkah paling aspiratif yang mudah diterima masyarakat ialah mencabut RUU HIP dari Prolegnas Jangka Menengah 2019-2024.
“Baru kemudian bahas tindak lanjut usulan Pemerintah tentang RUU BPIP,” pungkasnya.
Penulis: Kukuh Subekti