IslamToday ID – Di tengah pandemic covid-19 pemerintah masih mengalokasikan gaji ke-13 bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebaliknya, nasib tenaga honorer kian terpuruk.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah anggaran sebesar Rp 28,5 triliun untuk membayar gaji ke 13 PNS. Jumlah tersebut berasal dari APBN sebesar Rp 14,6 triliun, untuk PNS pusat sebesar Rp 6,73 triliun, dan pensiunan Rp 7,86 triliun. Sementara untuk gaji ke-13 PNS daerah, dananya diambil dari APBD sebesar Rp 13,89 triliun. Gaji ke 13 mulai dibayarkan pada Senin kemarin, 10 Agustus 2020.
“Mulai Jumat lalu (satker sudah mengajukan). Hari ini (senin) mulai dibayar,” kata Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu Andin Hadiyanto (10/8/2020).
Namun kabar bahagia tersebut terlihat kontras dengan nasib yang dialami oleh guru honorer. Salah satunya, Elivina Nawu (33). Sudah dua tahun tidak mendapatkan gaji. Padahal gaji yang diterima oleh Elivina tidaklah besar yakni hanya Rp 200ribu per bulan. Namun sejak tahun 2018 ia tidak lagi mendapatkan gajinya sebagai guru honorer.
Sejak saat itu ia hanya menerima uang insentif dari Pemerintah Daerah (Pemda) Manggarai Timur sebesar Rp 500ribu per bulan. Namun lagi-lagi uang tersebut tidak bisa diharapkan, sebab keluarnya hanya setiap delapan bulan sekali. Itu pun jumlahnya hanya gaji tiga bulan pertama.
“Bulan ini bangsa Indonesia merayakan HUT Kemeredekaan ke-75 tahun dengan tema Indonesia Maju. Tetapi nasib guru honorer belum merdeka,” tutur Elivina (6/8/2020).
Elivina merupakan guru Sekolah Dasar Inpres (SDI) di Desa Persiapan Ajang, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia telah mengajar sebagai guru honorer selama sembilan tahun lamanya. Dalam sepekan ia dibebani oleh pihak sekolah untuk mengajar selama 26 jam lamanya.
“Saya sudah mengajar di SDI ajang sejak 1 Oktober 2011. Saya mengajar selama 26 jam per minggu. Gaji saya Rp 200.000 per bulan dari komite sekolah,” imbuhnya.
Ia mengaku gajinya sebagai guru honorer sebenarnya tidaklah cukup, apa lagi ia memiliki dua orang anak yang juga harus dibiayainya.
Selain Elivina, nasib serupa juga dialami oleh Suardi (29), seorang guru honorer di SD Negeri Lanyying, Kecamatan Uluere Bantaeng, Sulawesi Selatan. Ia sudah mengajar selama lima tahun di SD tersebut dengan gaji awalnya yang sangat kecil yakni hanya Rp 430ribu per tiga bulan. Meskipun kini gajinya telah sedikit mengalami kenaikan.
“Dulu saya terima gaji Rp430.000 per tiga bulan. Dan alhamdulillah sudah naik Rp720.000 per empat bulan,” ungkap Suardi (31/7/2020).
Dengan gajinya yang sangat terbatas, selama masa pandemi ini ia pun ia tetap berinisiatif melakukan kunjungan ke rumah masing-masing muridnya. Terhitung sejak Maret lalu ia memulai melakukan kunjungan ke rumah setiap anak didiknya. Demi menghemat biaya tak jarang ia tidur di rumah rekannya yang lain yang lokasinya berdekatan dengan rumah para siswanya.
“Jadi kalau berangkat saya naik mobil angkutan umum. Dalam sehari mendatangi tiga rumah siswa. Setelah selesai mengajar di rumah siswa yang satu, selanjutnya jalan kaki sekitar satu kilometer ke rumah siswa lainnya,” ucapnya.
Honorer Diabaikan
Selain mengucurkan gaji ke-13 bagi PNS, pemerintah juga mengalokasikan bantuan bagi pekerja yang gajinya di bawah Rp 5 juta. Stimulus ini menelan anggaran senilai Rp 32 triliun.
Kebijakan ini membuat para tenaga honorer heran. Sebab, pemerintah selalu beralasan tidak memiliki solusi untuk permasalahan tenaga honorer.
Rencana pemerintah ini pun menuai kritik dari
“Itu yang saya heran kalau untuk penyelesaian (honorer) K2 selalu tidak ada anggaran, namun untuk yang lain ada,” ujar Ketua Umum Perkumpulan Hononer K2 Indonesia (PHK2I) Titi Purwaningsih, Senin, (7/8/2020).
Ia menambahkan, jika selama ini ia dan teman-temannya sesama guru honorer serta tenaga kependidikan honorer K2, selalu diberikan harapan palsu oleh pemerintah. Selain itu, Titi mengungkapkan selama pandemi Covid-19 mereka tidak menerima bantuan sedikitpun dari pemerintah. Bahkan untuk pembelajaran daring, ia harus merogoh kantong pribadinya. Ia dan teman-teman hanya menerima upah yang nilainya tidak seberapa dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
“Saya enggak dapat apa-apa. Dari dana BOS juga masih sama. Hanya dapat 150 ribu per bulan sampai hari ini. (Biaya mengajar daring) biaya pribadi,” ucap Titi.
Tenaga Honorer Pemerintah
Anggota Komisi X DPR RI Ali Zamroni, menilai bansos BLT lebih tepat jika diberikan kepada para guru honorer dan para tenaga kependidikan. Mereka dinilai telah lama memberikan penganbdiannya meskipun dengan gaji yang sedikit. Bahkan ada yang hanya menerima gaji senilai Rp 150ribu per bulan. Apalagi menurutnya jumlah guru honorer di Indonesia jumlahnya tidak sampai 2 juta orang, sementara target penerima bansos BLT pemerintah mencapai 13 juta orang.
“Prinsipnya jika bantuan itu tepat sasaran apalagi untuk guru honorer di daerah-daerah kami setuju saja,” ungkap Ali (8/8/2020).
Sementara itu Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Tadjudin Nur Effendi mengatakan seharusnya pemerintah juga memperhatikan nasib para tenaga honorer yang ada dilingkungan pemerintah, termasuk para pekerja lepas di perusahaan swasta.
“Perlu dipertimbangkan juga pekerja lepas di perusahaan swasta, pegawai honorer, agar tidak menimbulkan konflik baru,” jelas Tajudin (6/8/2020).
Ia pun mengkritisi jumlah penerima bansos bantuan langsung tunai (BLT) Rp 600 ribu per bulan untuk para buruh, karyawan yang gaji bulanannya di bawah Rp 5juta. Menurutnya banyaknya 13,8 juta pegawai yang akan mendapatkan BLT selama empat bulan tersebut perlu diperluas. Jika hanya mengandalkan data BPJS hal itu justru menampakkan ketidakadilan.
“Saya pikir, kalau itu memang tujuannya mau bantu, tentu yang daya belinya dianggap rendah ya dibantu. Pemerintah harus cari datanya, ini cari gampangnya saja yaitu yang ada datanya di BPJS, harusnya semua lapisan masyarakat harusnya dibantu, jangan sampai nampak ketidakadilan yang justru menimbulkan keresahan baru,” tutur Tajudin.
Penulis: Kukuh Subekti