IslamToday ID – Utang Indonesia telah menembus angka Rp 5000 triliun. Namun penggunaan utang pemerintah di era Presiden Jokowi dinilai tidak efektif. Utang Indonesia kian menumpuk, namun tidak mempu menggerakan roda perekonomian. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi nyungsep hingga -5,32 persen di kuartal ke II.
“Utang naik, pertumbuhan ekonomi turun. Berarti ada masalah penggunaan utang. Penggunaan utang tidak efektif,” ujar ekonom senior Indef, Faisal Basri dalam dialog Secret at News Room (Setroom) CNNIndonesia.com, Kamis (13/8).
Mengutip data APBN, Faisal menuturkan posisi utang pemerintah hingga akhir Juni 2020 sebesar Rp5.264 triliun. Jumlahnya naik 15,2 persen dari periode yang sama di tahun 2019 yang mencapai Rp4.570 triliun.
Sementara itu, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi paling tinggi di era Jokowi terjadi pada 2018, yakni 5,17 persen. Pada tahun pertama menjabat atau 2014, laju ekonomi nasional adalah 5,02 persen.
Pertumbuhan ekonomi pun semakin anjlok akibat pandemi covid-19. Pada kuartal I 2020 perrtumbuhan konomi menjadi 2,97 persen. Kemudian pada kuatal II, terjun bebas hingga minus 5,32 persen. Hal ini berbeda dengan era SBY yang mampu menembus angka 6 persen.
.Menurut Faisal, pemerintah sengaja menambah utang demi mengejar proyek pembangunan infrastruktur. Naasnya, penggunaan utang untuk pembangunan infrastruktur oleh pemerintahan Jokowi tidak efektif. Utang pemerintah idak mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya utang Indonesia terus menumpuk, namun ekonomi kian terpuruk. Menurutnya, pemerintah tidak pandai mengelola ekonomi dan cenderung pemboros.
“Pemerintah boros, makanya butuh utang banyak. Kalau tidak boros, tidak butuh utang banyak,” tutur Faisal.
Faisal juga menyoroti banyaknya investasi asing yang masuk ke Indonesia. Menurutnya jumlah investasi asing di era pemerintaha Presiden Jokowi adalah yang paling banyak sepanjang sejarah Indonesia.
Namun, investasi besar besaran ternyata tidak mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satunya, proyek smelter nikel yang nilai investasinya mencapai ratusan triliun. Tapi dampaknya ke sektor pajak tidak begitu terasa.
“Kementerian Keuangan sudah mulai sadar ini ada yang salah dengan pengelolaan nikel, investasi banyak tapi hasil ke luar semua,” kata Faisal.
Pilihan Pahit Pemerintah
Menanggapi hal tersebut Staf Khusus Kementerian Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, keputusan pemerintah untuk utang adalah pilihan terpahit yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Terutama di tengah situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini.
“Di masa pandemi tidak banyak pilihan. Kalau pun utang, itu pilihan pahit,” jelas Yustinus (13/8/2020).
Yustinus juga mengungkapkan bahwa keberadaan virus corona telah menyebabkan sikap optimisme pemerintah untuk menumbuhkan pertumbuhan ekonomi runtuh. Ekonomi nasional menjadi lumpuh, kebutuhan belanja cenderung naik sementara di saat yang sama pajak tidak bisa diandalkan. Akhirnya utang menjadi pilihan.
“Ekonomi turun, pajak turun. Sekarang saat pandemi kebutuhan belanja meningkat untuk sosial. Pajak tidak bisa diandalkan, jadi utang,” terangnya.
Indonesia Stimulus Terendah se-ASIA
Stimulus PEN
Sementara itu dikutip dari cnbcindonesia.com (20/7) berdasarkan data Worldometer’s yang diakses pada 20 Juli lalu terungkap bahwa Indonesia masuk dalam 25 negara dengan kasus tertinggi. Dengan angka kematian mencapai 4.143 kasus. Bahkan dalam data terbaru yang dikutip dari Worldometer ‘s per 11 Agustus kematian akibat corona Indonesia berada di urutan ke-23 dunia dengan korban meninggal hingga 5.765 orang meninggal.
Di tengah tingginya kasus Covid-19 di Indonesia justru mengeluarkan anggaran fiskal pada posisi tiga terendah di Asia, Indonesia hanya unggul atas Vietnam dan Filipina. Yakni di angka 4,3 persen, sementara Vietnam di angka 4,1 persen dan Filipina di angka 3,1 persen.
Menurut Ekonom Senior INDEF, Dradjad Wibowo permasalahan yang tengah dihadapi oleh Presiden Jokowi ialah ketiadaan anggaran. Ia mengungkapkan banyak sekali kebutuhan ekonomi Indonesia di tengah pandemi corona namun sayang tidak ada anggaran.
“Situasi sekarang seperti utak-atik di atas kerja, tetapi duit di lemari terbatas. [Pemerintah] Ngitungnya bisa, duitnya enggak ada,” kata Drajad.
Sementara itu Direktur IDEAS, Yusuf Wibisono dikutip dari republika.co.id mengatakan, pandemi Covid-19 telah membuka kerentanan struktural APBN, dengan ketergantungan pada pembiayaan utang yang masif. Ia juga melihat, politik anggaran Indonesia sangat permisif terhadap utang. Bahkan di masa pandemi ini pemerintah telah menabrak kredo suci pengelolaan makroekonomi yakni dengan diizinkannya BI membeli SBN di pasar primer.
“Disiplin fiskal yang rendah membuat ketergantungan pada utang terus meningkat dan kian menghebat di masa pandemi. Utang pun melonjak seiring guyuran stimulus ekonomi,” jelas Yusuf Jum’at (14/8/2020)
Adapun stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional mencapai Rp 695,2 triliun. Anggran tersebut meliputi, gaji ke-13 untuk PNS mencapai Rp 28,82 triliun, anggaran 15 kg beras untuk 10juta anggota PKH yang akan berlangsung pada September senilai Rp 4,6 triliun.
Selian itu, BLT masing-masing senilai Rp 500ribu untuk 10 juta pemilik kartu sembako akan menerima bantuan ddengen total anggaran Rp 5 triliun. Kemudian, Bantuan untuk 12 juta UMKM senilai Rp 2,4 juta dengan total anggaran Rp 30 triliun.
Selain itu ada pula anggaran untuk pekerja dengan gaji dibawah Rp 5 juta akan menerima BLT Rp 600ribu selama 4 bulan. Total anggarannya mencapai Rp 37,7 triliun untuk 15,7 juta pekerja. Insentif untuk dunia usaha sebesar Rp120,6 triliun. Sedangkan untuk korporasi sebesar Rp53,7 triliun.
Penulis: Kukuh Subekti