IslamToday ID –Ketua DPR RI, Puan Maharani mewacanakan penggantian produk hukum peninggalan kolonial dengan produk hukum asli Indonesia. Nemun demikian, sejumlah pakar menilai produk hukum yang tengah digodok pemerintah justru kental dengan citarasa penjajah, bahkan lebih mengerikan.
Dalam dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR/DPR, Puan menyampaikan pentingnya penggantian produk hukum colonial. Menurutnya hal tersebut selaras dengan jargon Indonesia Maju yang digaungkan oleh pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
“Sudah saatnya produk-produk hukum warisan jaman kolonial dapat digantikan oleh produk hukum Indonesia yang merdeka,” kata Puan dalam pidato Sidang Tahunan MPR di Jakarta (14/8/2020).
Puan mengatakan bahwa,kebutuhan hukum akan selalu mengikuti perkembangan zaman. Namun, ia menegaskan dalam pembuatan produk hukum tersebut menurutnya harus berlandaskan pada Pancasila.
“Produk hukum yang dihasilkan tetap harus selalu berlandaskan pada Pancasila sebagai landasan filosofi, UUD 1945 sebagai landasan yuridis, Negara Kesatuan Republik Indonesia [NKRI] dan Bhineka Tunggal Ika sebagai konsesnsus bersama, dan rasa keadilan dalam masyarakat sebagai landasan sosiologis,” jelas Puan.
Cita Rasa Hukum Indonesia
Beragam produk hukum dikeluarkan pemerintah. Faktanya, tidak jarang menuai polemik. Produk hukum pemerintah dianggap mempertahankan spirit kolonialisme, bahkan lebih mengerikan.
Misalnya, tentang masuknya pasal penghinaan kepada presiden, wakil presiden dan pejabat pemerintah dalam revisi Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Menkumham Yasonna Laoly berdalih, ketentuan tersebut dimasukan degan alasan menjaga martabat kepala negara dan pejabat pemerintah. Misalnya pasal 223 dan 224 RKUHP yang mengancam penghina presiden dengan hukuman maksimal 3,5 tahun dan 4,5 tahun penjara
“Misalnya, penghinaan presiden, no (tidak dihapus). Namanya kan martabat,” kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin 4 November 2019 lalu sperti dikutip CNNIndonesia.
Pakar Hukum Pidana, Dr. Muhammad Taufiq menilai pengembalian pasal penghinaan terhadap presiden dan pejabat pemerintah membawa lagi semangat penjajahan. Menruurtnya pasal-pasal tersebut tidak perlu dimunculkan kembali.
“Menurut hemat saya pasal-pasal tersebut sebaiknya tidak dimunculkan kembali dalam Rancangan KUHP yang baru. Alasannya, pasal-pasal itu dianggap memunculkan semangat neokolonialisme,” ujarnya
Ia menjelaskan, Delik penghinaan presiden berasal dari Artikel III Nederlands Wetboek van Strafrecht (WvS Nederlands 1881) atau KUHP Belanda. Isinya mengatur tentang opzettelijke beleediging den koning of der koningin atau penghinaan yang sengaja ditujukan kepada raja dan ratu Belanda. Ancaman hukumannya penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak 300 gulden.
Tepat pada 15 Oktober 1915 aturan tersebut diadopsi dalam KHUP Hidia Belanda yang dalam istilah aslinya disebut WvS Nederlands Indie. Aturan ini kemudian berlaku sejak 1 Januari 1918.
Selain pasal penghinaan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja juga dinilai bercita rasa penjajah, bahkan lebih mengerikan. Misalnya aturan mengenai Hak Guna Usaha (HGU). RUU Cipta Kerja justru memberikan hak eksploitasi lahan hingga 90 tahun. Ketentuan ini tertuang dalam pasal 127 ayat (3). Padahal dalam masa Penjajahan HGU hanya diberikan 75 tahun.
“Pada masa penjajahan saja pemberian konsesi pada perkebunan Belanda hanya 75 tahun,” ujar Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika (10/8/2020).
Sementara itu, dalam Undang-undang (UU) No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam UU tersebut telah diatur bahwa jangka waktu HGU diberikan selama 25 atau 35 tahun kepada pemohon yang dinilai telah memenuhi syarat.
“Sekarang RUU Cipta Kerja Kerja mau menjadikan HGU berumur 90 tahun, lebih parah dibanding saat kita masih dijajah,” jelas Dewi.
Dewi pun mengkritik wewenang pemerintah pusat dalam RUU tersebut diantaranya dalam penerbitan pemberian izin atas hak pengolahan lahan . Menurutnya hal itu rawan menimbulkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Pasalnya, sejumlah hak pengelolaan lahan yang diberikan oleh pemerintah pusat tersebut dapat dikonversi menjadi HGU, HGB dan HP yang berpihak pada kepentingan pemodal. Untuk itu ia menilai kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat tersebut sebagai bentuk penyimpangan Hak Menguasai dari Negara (HMN).
“Tiba-tiba dengan dalih menciptakan norma baru, hak pengelolaan ini seolah menjadi jenis hak baru yang begitu powerful, yang kewenangannya diberikan kepada pemerintah,” ucap Dewi.
Menurutnya akan sangat berbahaya jika wewenang pengelolaan atas tanah tersebut disahkan. Sebab dikhawatirkan yang akan terjadi ialah ketimpangan kepemilikan tanah menjadi semakin besar. Selain itu, korporasi akan semakin mudah dalam melaksanakan praktik monopoli, sebab memiliki hak pengelolaan lahan yang sangat lama.
“Ini cara memutar tersembunyi pemerintah, yang ingin kembali memprioritaskan HGU, HGB, HP untuk investor besar. Di tengah ketimpangan penguasaan tanah akibat.monopoli perusahaan yang sudah terjadi,” ungkap Dewi.
Lebih lanjut Dewi pun menjelaskan bahwa ketentuan dalam RUU tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21-22/PUU-V/2007. Putusan MK tersebut membatalkan Pasal 22 Undang-Undang No. 25/2007 tentang Penanaman Modal yang mengatur pemberian HGU selama 95 tahun.
“Pasal 22 ini telah diputuskan ditolak karena melanggar Konstitusi,” tegas Dewi.
Sebelumnya, polemik HGU pernah mengemuka pada saat debat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lalu. Dikutip dari bbcindonesia.com (20/2/2019) tidak jelas siapa pihak-pihak yang selama ini menerima HGU oleh pemerintah.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan (ATR/BPN) menyatakan informasi terkait hal tersebut masuk dalam informasi privat. Sehingga tida dibuka untuk publik. Menyikapi hal ini, Direktur Forest Watch Indonesia (FWI), Soelthon Gussetya Nanggara mengatakan tidak ada alasan untuk menutup data tersebut..
“Tidak ada argumentasi logis lagi dari pemerintah untuk menutup data ini. Publik tidak pernah tahu,” tutur (19/2/2019).
Soelthon mengatakan hal tersebut bertentangan dengan putusan kasasi Mahkamah Agung dalam perkara keterbukaan informasi yang pernah diajukan oleh pihaknya. Menurutnya ketidaktransparanan pemerintah menyebabkan rawan terjadi penyelewengan
“Kalaupun ada situs berisi wilayah persebaran HGU, di situ tidak ada data pemilik, luas, atau komoditas. Nama pemilik sebenarnya paling penting agar kita tahu kepada siapa saja lahan negara ini diserahkan,” Jelas Soelthon.
Penulis: Kukuh Subekti