IslamToday ID – Sepanjang sejarah Indonesia, Jokowi adalah ialah presiden yang gemar menggunakan mengenakan baju adat di acara kenegaraan. Tepat pada perayaan HUT RI Ke 75 pakaain adat Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) Nusa Tenggara Timur menjadi pilihan Jokowi dalam ‘pesta’ kemerdekaan itu.
Ironisnya, nasib rakyat TTS Nusa Tenggara Timur tidak sebaik pakaian adat yang dikenakan Jokowi. Mereka justru dilanda kesengsaraan. Tanah ulayat yang mereka tempati dirampas Pemerintah Provinsi NTT.
Setidaknya itulah yang dialami 29 Keluarga di Pubabu, Kabupaten TTS, Nusa Tenggara Timur. Kini mereka tak lagi mempunyai tempat tinggal. Mereka terpaksa tidur di bawah pohon dengan beralaskan tanah. Itu terjadi setelah pemerintah menggusur mereka dari tanah kelahiran mereka.
“Saat ini masyarakat tinggal di bawah pohon, tikar hanya tiga lembar, kursi 4 buah, selebihnya mereka duduk di atas kayu dan batu sekitar lokasi,” kata Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT Tory Atta (18/8/2020).
Fakta memilukan itu terungkap berkat hasil investigasi LPA Nusa Tenggara Timur. Investigasi dilakukan terkait konflik yang terjadi antara masyarakat adat Pubabu-Besipae, Kabupaten TTS dengan pihak Pemprov) Nusa Tenggara Timur.
Kondisi para korban penggusuran sangat memprihatinkan, Atta mengungkapkan masyarakat adat Pubabu, Besipae terdiri atas 34 orang laki-laki, 50 orang ibu-ibu, 6 orang lansia, dan 5 orang. Sementara untuk jumlah anak terdapat 48 orang yang berstatus sebagai pelajar SMA 8 orang, SMP 7 orang, SD 17 orang, serta anak PAUD 15 orang. Tidak hanya itu 6 orang ibu menyusui.
“Seorang ibu yang sedang hamil 7 bulan, memiliki 3 anak yang lain berumur 3 tahun, kelas 1 SD dan kelas 2 SD,” jelas Atta.
Mereka kini tinggal di lokasi yang berdekatan dengan para petugas penggusur dan aparat keamanan yang telah memporak-porandakan hidup mereka. Di lokasi yang berjarak hanya 200 meter dari kawanan petugas penggusur tersebut mereka sama sekali tak memiliki fasilitas pendukung. Warga hanya memiliki satu periuk besar, beberapa alat makan, gelas plastik, serta beberapa jerigen air. Makanan, pakaian dan barang-barang di tumpuk menjadi satu di sebuah rumah dekat petugas penggusur dan aparat keamanan.
Sementara itu, dikutip dari laman resmi komnasham.go.id 10 Agustus 2020 kemarin, terungkap bawah masyarakat adat Pubabu, NTT kembali melakukan pengaduan ke Komnas HAM. Masyarakat adat mengalami tindakan kekerasan, ketidakadilan, serta dugaan tindak pelanggaran HAM.
Masyarakat adat melakukan pengaduan secara daring pada (7/8) dengan didampingi oleh dua LSM yakni Solidaritas Perempuan (SP) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
“Kasus ini bermula dari proyek percontohan intensifikasi peternakan di wilayah hutan adat Pubabu tahun 1982. Kemudian terdapat beberapa peristiwa pelanggaran baru, yaitu penggusuran yang sangat berdampak bagi warga di sana. Ini yang ingin kami sampaikan ke Komnas HAM”, ucap Ketua Solidaritas Perempuan, Dinda Nur Annisa Yura saat membuka audiensi dengan Komnas HAM pada (7/8/2020).
Salah seorang perwakilan masyarakat adat Pubabu menuturkan bahwa dalam penggusuran tersebut terungkap berbagai dugaan tindak kekerasan dan intimidasi telah dilakukan oleh Pemprov NTT. Hal ini menimbuulkan ketakutan serta trauma yang mendalam, terutama bagi kaum perempuan dan anak-anak.
“Tentunya kami mendukung setiap program yang direncanakan oleh Pemerintah Provinsi. Tetapi, kami juga membutuhkan adanya penyelesaian persoalan, sehingga kami minta supaya ada proses penyelesaian dan kejelasan status tanah yang ada”, ungkap perwakilan masyarakat lainnya.
Dalam kasus tersebut warga telah berusaha membuka ruang dialog dengan pihak Pemprov NTT. Namun tidak kunjung ada hasil kesepakatan dan kejelasan. Begitu pula dengan poin-poin rekomendasi yang pernah dikeluarkan oleh Komnas HAM yang tidak diindahkan oleh pihak Pemprov NTT.
“Kasus ini sebenarnya sudah pernah ditangani oleh Komnas HAM dan rekomendasinya juga sudah keluar, walaupun hal tersebut tidak diindahkan oleh Pemprov NTT”, kata Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan HAM RI, Beka Ulung Hapsara (10/8/2020).
Lebih lanjut Beka dalam konferensi pers daring pada (13/8) mengecam aksi penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov NTT. Ia meminta agar pemerintah menangguhkan, menghentikan aktivitas penggusuran di kawasan tanah adat Pubabu di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT.
“Kekerasan dan penggusuran itu mencederai prinsip-prinsip HAM yang sudah ada dalam konstitusi kita. Kami juga meminta kepada gubernur untuk menangguhkan atau menghentikan sementara aktivitas penggusuran dan pembongkaran hak milik yang dilakukan Pemprov NTT kepada masyarakat adat Pubabu,” ucap Beka.
Beka mengungkapkan bahwa pihaknya pun telah mengirim surat pada Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, pada (11/8). Ia menambahkan bahwa kasus konflik antara warga dan pemerintah telah berlangsung sejak tahun 1982 yakni ketika ada proyek percontohan intensifikasi peternakan di wilayah hutan adat Pubabu. Berikutnya disusul oleh beberapa peristiwa pelanggaran baru, pada tahun 2012 dan 2017, yakni penggusuran yang sangat berdampak bagi warga di sana.
Tempuh Jalur Hukum
Sementara itu pihak pemerintah dikutip dari laman resmi mongabay.co.id (21/5/2020) terungkap bahwa Pemprov menempuh jalur hukum untuk menangani konflik lahan tersebut. Menurut Kepala Biro Hukum Setda NTT, Alex Lumba Pemprov telah melaporkan tiga kasus ke Polda NTT. Isi laporan tersebut terdiri atas penyerobotan lahan oleh warga, pornoaksi serta penghinaan terhadap pejabat negara.
Kepala Badan Aset Pemprov NTT, Sony Libing mengungkapkan bahwa Gubernur NTT telah memberikan tanah seluas 800 meter persegi kepada masyarakat adat Pubabu disertai sertifikat hak milik. Menurutnya persoalan disebabkan ada sebaagian dari mereka yang tidak menerima sertifikat dan meminta agar serttifikat tersebut dibatalkan. Namun pembatalan hanya bisa dilakukan di pengadilan.
“Kalau mau membatalkan maka laporkan ke pengadilan supaya bisa berproses hukum disana. Pemerintah menyediakan lahan dan sertifikat dan melibatkan mereka dalam program pengembangan lamtoro dan kelor. Tapi masyarakat tidak mau,” kata Sony (13/5/2020).
Soni menegaskan, pihaknya akan menggunakan Undang-Undang Kehutanan, penyerobotan aset dan pornografi dan pornoaksi untuk mempertahankan lahan seluas 3700 hektar milik Pemprov NTT di Besipae. Lahan tersebut direncanakan untuk peternakan sapi dan pengembangan tanaman kelor.
Penulis : Kukuh Subekti