IslamToday ID –Presiden Jokowi mengatakan bahwa penyalahgunaan regulasi oleh aparat penegak hukum sebagai sesuatu yang membahayakan. Ia mengingatkan agar para penegak hukum tidak melakukan kesalahan tersebut. Menurut Jokowi bagi mereka yang sengaja melakukan penyalahgunaan regulasi layak disebut sebagai musuh negara.
“Saya peringatkan aparat penegak hukum dan pengawas yang melakukan ini adalah musuh kita semuanya, musuh negara,” kata Jokowi dalam sambutannya pada acara Aksi Nasional Pencegahan Korupsi yang disiarkan langsung di akun Youtube Sekretariat Presiden pada (26/8/2020).
Jokowi menambahkan penyalahgunaan regulasi hanya akan menimbulkan rasa takut yang justru membuat birokrasi terkesan lambat. Hal ini berdampak buruk bagi agenda pembangunan nasional. Selain itu ia mengungkapkan tidak akan memberikan toleransi kepada mereka yang sengaja melakukan pelanggaran tersebut.
“Saya tidak beri toleransi pada siapapun yang melakukan pelanggaran ini,” tutur Jokowi.
Oleh karena itu, untuk meminimalisir penyalahgunaan regulasi , tumpeng tindih regulasi dan rumitnya birokrasi, menurut Jokowi diperlukan Omnibus Law. Ia sangat yakin aturan tersebut akan mampu menjawab segala permasalahan regulasi di Indonesia.
“Regulasi nasional harus terus kita benahi. Regulasi tumpang tindih, regulasi tidak jelas, dan tidak memberikan kepastian hukum, regulasi yang membuat prosedur berbelit-belit,yang membuat pejabat dan birokrasi tidak berani melakukan eksekusi dan inovasi, ini yang harus kita rombak dan sederhanakan,” ungkap Jokowi.
Ia mengatakan bahwa kini draf RUU Omnibus Law tengah dibahas untuk dilakukan sinkronisasi. Sehingga berbagai aturan yang selama ini dinilai tidak sinkron bahkan cenderung dimanfaatkan untuk menakut-nakuti dapat diubah menjadi aturan yang memberikan kepastian hukum bagi seluruh pihak.
“Omnibus Law, ini satu UU yang mensinkronisasikan puluhan UU secara serempak. Sehingga antar-UU bisa selaras, memberi kepastian hukum dan mendorong kecepatan kerja, inovasi, akuntabel, dan bebas korupsi” ucap Jokowi.
Omnibus Law Lebih Berbahaya
Sebaliknya, Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) justru melihat bahwa keberadaan Omnibus Law bukan jawaban atas hiper regulasi di Indonesia. Keberadaan Omnibus Law yang dinilai lebih berpihak pada kepentingan investor ini justru mengarah pada penumpukan kekuasaan di tangan presiden.
“Kondisi seperti ini mengarah pada pola president heavy, di mana kekuasaan dapat menjadi absolut,” kata Direktur Pukat UGM Oce Madril dalam diskusi Problem Legislasi dan Ancaman Korupsi Kebijakan RUU Cipta Kerja seperti yang dikutip dari gatra.com (18/7/2020).
Oce menyimpulkan hal tersebut berdasarkan sudut pandang perspektif manajemen kekuasaaan. Dimana ia melihat kekuasaan yang semula menyebar lalu ditarik ke satu titik kekuasaan, sehingga terjadilah penumpukan kekuasaan di tangan presiden. Tidak hanya itu ia juga melihat adanya celah kekuasaan pemerintah pusat yang justru bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.
“RUU Cipta Kerja memberikan kewenangan pada pemerintah pusat dengan menarik kewenangan pemerintahan di bawahnya, termasuk pemerintah paerah. Hal ini menjadi alarm negatif bagi dinamika desentralisasi sekaligus ancaman demokrasi di Indonesia,” terang Oce.
Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Gita Putri Dayamana. Ia menjelaskan bahwa hiper regulasi di Indonesia tidak bisa dijawab dengan hadirnya RUU Cipta Kerja. Kondisi hyper-regulation di Indonesia terjadi akibat tidak adanya perencanaan dan penyusunan regulasi yang koheren.
“Persoalan regulasi terjadi di bagian atas atau hulu, sedangkan RUU Cipta Kerja membahas persoalan-persoalan yang terjadi di setiap sektor atau hilir. Untuk itulah, solusinya adalah perlu dibentuk lembaga yang mampu menyisir materi muatan dan sinkronisasi regulasi-regulasi di Indonesia,” jelas Gita yang juga hadir dalam diskusi Pukat UGM.
Pada periode 2014 sampai November 2019 menurut Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan 10.180 regulasi. Dengan rincian sebagai berikut 131 berbentuk undang-undang, 526 dalam bentuk peraturan pemerintah, sementara sebanyak 839 berupa peraturan presiden, dan sisanya sebanyak 8.684 adalah peraturan menteri.
Pada saat yang sama Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Danang Widiyoko mengungkapkan bahwa skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia ialah 40. Menurutnya problem Indonesia yang sebenarnya bukan pada masalah layanan bisnis dan investasi.
“Permasalahannya terdapat pada praktik korupsi peradilan dan korupsi politik yang berakar pada demokrasi patronase. Pola seperti ini justru nampak dalam penyusunan RUU Cipta Kerja,” ungkap Danang.