IslamToday ID –Peneliti SMERU Institute, Shintia Revina mengungkapkan Indonesia tengah mengalami darurat pendidikan. Rendahnya kualitas guru dan faktor rekuritmen guru dinilai sebagai faktor penyebab rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.
“Penyebab signifikan dari rendahnya kualitas guru adalah proses perekrutan guru yang tidak fokus ke pemilihan tenaga didik profesional, melainkan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan Aparatur Sipil Negara (ASN),” kata Shintia dikutip dari theconversation.com (25/8/2020).
Shintia mengatakan saat ini dari 2,9 juta guru di Indonesia, kurang lebih 1,5 juta guru berstatus ASN. Selain itu pada tahun 2012/2015 ada 1,3 juta guru dari 1,6 juta guru di Indonesia yang mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG).
ia menilai keberadaan guru yang berasal dari sistem rekruitmen pemerintah memiliki peran yang sangat krusial bagi sistem pendidikan Indonesia. Sebab keberadaan mereka menjadi tumpuan bagi 90 persen sekolah di Indonesia.
Panggilan Jiwa Atau Status ASN?
Namun ada hal lain yang menggelisahkan Shintia, yakni sulitnya menyeleksi guru yang tidak memiliki ‘passion’ atau panggilan jiwa dalam mengajar. Menurut Sintya, panggilan jiwa itulah yang membuat guru menjadi sosok yang mencintai ilmu pengetahuan dan memiliki semangat untuk menggali potensi setiap peserta didiknya.
“Namun, sistem rekrutmen guru saat ini belum mampu menyaring dengan baik tenaga pendidik yang memiliki panggilan jiwa tinggi,” jelas Shintia.
Ia turut mengkritisi kebijakan pemerintah tentang status guru yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.74/2008 yang menetapkan profesi guru sebagai ASN. Ia menilai, regulasi ini membuat guru memiliki peran ganda, sebagai seorang tenaga pendidik sekaligus sebagai pegawai pemerintah.
“Dualitas peran ini menyebabkan sulitnya memisahkan pelamar profesi guru yang memiliki minat dan motivasi untuk mengajar dengan mereka yang sekadar tertarik dengan jabatan sebagai pegawai pemerintah,” ucap Shintia.
Di sisi lain, Lanjut Shintia, berdasarkan data Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Indonesia mengalami kekurangan 1,1 juta orang guru. Salah satu penyebabnya ialah guru tidak langsung diangkat sebagai seorang ASN.
Ironisnyam, pengangkatan seorang guru ASN sangat bergantung pada besaran anggaran APBN, bukan didasarkan pada kebutuhan sekolah akan guru.
“Karena suplai tenaga pendidik tidak memperhatikan jumlah kebutuhan di lapangan, sekolah tidak pernah bisa menutup kekurangan guru,” ujarnya.
Lanjut Shintia, ketimpangan jumlah guru dan siswa akhirnya dijawab dengan rekruitmen guru honorer oleh pihak sekolah. Harapannya agar proses pembelajaran tetap berjalan. Shintia menilai, langkah ini kerap tergesa-gesa sehingga mengesampingkan kualitas dari guru yang direkrut.
“Perekrutan guru honorer dilakukan dengan cenderung informal, terburu-buru, dan tidak memperhatikan kompetensi kependidikan. Akibatnya, guru yang direkrut seringkali berkualitas rendah,” kata Shintia.
Atas permasalahan tersebut, Shintia menawarkan tiga solusi kepada pemerintah. Pertama, profesi guru sebaiknya diperlakukan sebagai pekerjaan profesional diatur dengan regulasi khusus guru. Kedua, proses perekrutan guru terpisah dengan perekrutan ASN. Ketiga, pemerintah perlu mendefinisikan standar kompetensi guru (pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian).
Rendahnya Kualitas Guru Telah Menahun
Hesti Sulastri, Konsultan Relawan Sekolah Literasi Indonesia (Kawan SLI) pada tahun 2019 silam juga telah menyingggung rendahnya kualitas guru di Indonesia. Pada tahun 2017, dari 3,9 juta guru yang ada di Indonesia, sebanyak 25 persen belum memiliki kualifikasi akademik. Bahkan 52 persen guru tidak memiliki sertifikat profesi.
“Sementara dalam menjalankan tugasnya seorang guru harus memiliki empat kompetensi yakni kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian dan sosial. Keempat kompetensi ini belum saya lihat ada semuanya di figur seorang guru,” ungkap Hesti dikutip dari republika.co.id (18/04/2019).
Hesti juga mengungkapkan problem guru yang lain yang banyak ditemukan di lapangan. Seperti banyaknya guru yang enggan mengembangkan pengetahunnya serta kompetensinya dalam mengajar. Akibatnya tujuan Kurikulum 2013 (K-13) yang menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran menjadi tidak tercapai.
Pada prakteknya, guru tetap memegang kendali sebagai ‘teko’ dan siswa tetap sebagai ‘gelas’. Hal ini juga dinilai bertentangan dengan UU No. 14/2015 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa guru adalah agen pembelajaran yang harus menjadi fasilitator, motivator, dan pemberi insipirasi belajar bagi peserta didik.
“Kasus tersebut telah mampu menggambarkan betapa kualitas guru mampu berimbas pada keberhasilan pendidikan di Indonesia. Jika dalam waktu dekat tidak ada tindakan nyata untuk membenahi masalah kualitas guru ini, maka kemajuan pendidikan di Indonesia tetaplah sebatas angan-angan belaka,” jelas Hesti.
Sementara itu pada tahun 2016, angka indeks pembangunan manusia (IPM) dari United Nations Development Programme (UNDP) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-113 dari 188 negara dengan skor 0,689.
Selanjutnya dalam bidang pendidikan dalam laporan tahunan UNESCO yang berjudul Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, menempatkan pendidikan di Indonesia pada peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Dan komponen guru menempati urutan paling buncit yakni peringkat ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia.
Penulis: Kukuh Subekti