IslamToday ID –Juru bicara (Jubir) Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman mengatakan bahwa keberadaan influencer memiliki peran penting bagi pemerintah. Terkuak fakta, sejak Jokowi menjabat tahun 2014 lalu keperluan belanja digital, jasa influence nilainya mencapai Rp 90,45 miliar.
Menurut Fadjroel, influencer memiliki peran penting sebagai key opinion leaders di era transformasi dan demokrasi digital. Menurutnya, penggunaan jasa influencer merupakan sesuatu yang wajar dalam pemerintahan demokrasi, lantaran influencer dianggap mampu menjadi jembatan penghubung antara masyarakat dan pemerintah.
“Pada konteks pemerintahan demokrasi, kelas menengah, kelompok sosial yang sangat aktif di dunia digital, selalu dibutuhkan sebagai jembatan komunikasi kebijakan pemerintah dengan seluruh warga,” kata Fadjroel (31/8/2020).
Fadjroel menambhkan, penggunaan influencer kini sudah banyak dilakukan di banyak negara. Penggunaan jasa influencer sebagai promotor kebijkan pemerintah telah dianggap sebagai bagian dari transformasi di era digital.
“Presiden Jokowi telah menyatakan bahwa Indonesia harus melakukan transformasi digital sebagai prasyarat transformasi ekonomi dan demokrasi digital. Oleh karenanya, banyak bagian dari strategi kebijakan yang perlu berpijak pada sistem dan masyarakat digital,” jelas Fadjroel.
Pernyataan Fadjroel menuai kritik dari politisi democrat, Taufik Rendusara. Menurutnya, yang tengah dipermasalahkan oleh masyarakat bukanlah keberadaan influencer di era pemerintahan demokrasi. Lanjut Taufik, yang dipersoalkan masyarakat, ialah terkurasnya anggaran negara untuk influencer dalam kampanye penanganan pandemi Covid-19.
“Yang dipersoalkan masyarakat itu adalah melawan wabah virus corona ujung tombaknya pakai influencer. Itu namanya bukan demokrasi digital, tapi ketololan digital,” kata Taufik di akun Twitternya, Senin (31/8).
Mereka diminta melakukan sosialisasi penerapan protokol kesehatan yang seharusnya bisa dilaksanakan oleh seorang ketua RT. Namun pemerintah memilih memperkuat kampanye protokol kesehatan dengan menggunakan jasa influencer.
“Dan yang paling utama dipersoalkan masyarakat adalah pemerintahan Jokowi paling gampang melibatkan influencer untuk hal-hal yang sebenarnya bisa diselesaikan oleh Pak RT,” terangnya.
Pemerintahan Yang Sehat Tak Buutuh Influencer
Menurut pengamat politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin, berpendapat, pemerintahan yang normal dan sehat, tidak membutuhkan buzzer dan influencer. Menurutnya, sangat tidak pantas jika pemerintah menggunakan jasa buzzer, influencer untuk menggiring opini masyarakat.
“Itu menandakan ketidakpercayaan diri pemerintah atas kinerja yang telah dilakukannya. Juga bisa mengarah ke manipulasi, karena jika kinerjanya buruk akan diolah oleh buzzer dan influencer agar terlihat bagus,” kata Ujang (31/8/2020).
Selain itu Ujang juga berpendapat keberadaan para influencer justru akan menjadikan demokrasi di Indonesia berjalan tidak normal. Sebab demokrasi bisa dibajak para influencer dan buzzer.
“Karena demokrasi tak berjalan dengan normal dan apa adanya. Demokrasi bisa dibajak dan dimainkan oleh para buzzer dan influencer tersebut,” jelas Ujang.
Anggaran Fantastis
Seperti dilanisr CNN Indonesia (20/8/2020), Indonesian Corruption Watch (ICW) mengungkap fakta jika pemerintah menggelontorkan anggaran Rp90,45 miliar untuk jasa influencer, baik individu atau kelompok. Tujuannya dengan tujuan memengaruhi opini publik terkait kebijakan pemerintah.
“Total anggaran belanja pemerintah pusat untuk aktivitas yang melibatkan influencer mencapai Rp90,45 miliar untuk 40 paket pengadaan,” ujar Peneliti ICW, Egi Primayogha, dalam konferensi pers bertema “Rezim Humas: Berapa Miliar Anggaran Influencer?”, Kamis (20/8/2020).
Egi mengatakan, angka fantastis itu merupakan temuan ICW dari data yang dikumpulkan pada 14 hingga 18 Agustus 2020. Salah satu metode yang dipakai adalah menelusuri Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Anggran tersebut dikeluarkan oleh sejumlah kementerian.
Egi menambahkan, muncul tren penggunaan jasa influencer. Hal itu tampak dasri anggaran belanja untuk influencer semakin marak sejak 2017. Berdasarkan temuannya, saat itu ada lima paket anggaran belanja dengan nilai Rp17,68 miliar. Angka itu mengalami peningkatan di 2018 yakni 15 paket pengadaan senilai Rp56,55 miliar. Selanjutnya, di 2019 turun menjadi 13 paket pengadaan dengan total nilai Rp6,67 miliar. Sementara di 2020 hingga saat ini terdapat tujuh paket pengadaan dengan total nilai Rp9,53 miliar.
Egi menambahkan, kucuran anggaran pada influencer ditemukan di Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan jumlah paket pengadaan jasa influencer sebanyak empat dengan total nilai Rp10,83 miliar. Selain itu juga ditemukan di Kemendikbud, dengan total paket pengadaan jasa influencer sebanyak 22 dan total nilai Rp1,6 miliar. Kementerian Perhubungan juga kedapatan mengucurkan anggaran untuk jasa influencer dengan total paket sebanyak satu dan nilainya Rp195,8 juta. Selain itu, juga ditemukan pada, Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan total paket satu dan nilainya Rp150 juta.
ICW menyimpulkan bahwa pemerintahan Jokowi tidak percaya diri dengan program-programnya hingga harus menggelontorkan anggaran untuk influencer. Dia pun menyatakan, pemerintah seharusnya transparan dari segi anggaran, baik alokasi atau penggunaannya.
Penulis: Kukuh Subekti, Arief S.