(IslamToday ID) – Dewan Transisi Selatan (STC), kelompok pemberontak yang didukung Uni Emirat Arab (UEA) menuduh Arab Saudi menghalangi implementasi kesepakatan pembagian kekuasaan untuk wilayah Yaman Selatan, yang dikenal sebagai Perjanjian Riyadh.
“Penolakan pemulangan para pemimpin selatan ke Aden oleh Saudi merupakan halangan implementasi Perjanjian Riyadh,” kata Rami Muthana al-Sumaidi, pemimpin STC, seperti dikutip di MEMO, Selasa (1/9/2020).
Menurutnya, Riyadh telah menolak izin mantan kepala keamanan Shallal Shaya yang akan kembali ke Aden dari Abu Dhabi. Al-Sumaidi memperingatkan koalisi pimpinan Saudi agar tidak mengambil tindakan apapun dalam rangka menghalangi pergerakan para pemimpin Yaman Selatan di masa depan.
Tidak ada komentar dari koalisi pimpinan Saudi tentang tuduhan tersebut.
Perjanjian Riyadh, yang pertama kali diusulkan pada November, bertujuan untuk mengakhiri bentrokan antara pemerintah Yaman dan milisi STC di provinsi selatan.
Yaman telah dilanda kekerasan dan kekacauan sejak 2014, ketika pemberontak Houthi menguasai sebagian besar wilayah, termasuk ibukota Sanaa. Krisis meningkat pada tahun 2015 ketika koalisi militer pimpinan Saudi melancarkan kampanye udara untuk menggulung milisi Houthi.
Puluhan ribu orang Yaman termasuk warga sipil, diyakini telah tewas dalam konflik tersebut. Konflik itu juga menyebabkan salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia karena jutaan orang terancam kelaparan. [wip]