IslamToday ID –Kejelasan status hubungan antara Indonesia dan perusahaan farmasi asal China, Sinovac akhirnya terkuak. Indonesia terbukti hanya menjadi pasar bagi vaksin asal China tersebut.
Juru Bicara Sinovac, Liu Peicheng mengatakan bahwa Indonesia merupakan pembeli terbesar vaksin Sinovac. Liu menyebutkan bahwa kontrak pembelian vaksin dilakukan oleh perusahaan BUMN farmasi, PT Bio Farma (Persero). Kontrak tersebut baru saja ditandatangani pada akhir Agustus lalu.
Dalam kontrak kedua perusahaan farmasi tersebut, disepakati bahwa Sinovac akan mengirimkan sebanyak 40 juta vaksin ke Indonesia selama bulan November mendatang hingga Maret 2021.
“Sejauh ini, ini merupakan kontrak terbesar pembelian vaksin corona yang dipublikasikan secara terbuka antara perusahaan vaksin China dengan pembelinya,” kata Liu dikutip dari kumparan.com (7/9/2020).
Liu menambahkan, sebanyak 40 juta vaksin tersebut merupakan kontrak awal pengadaan vaksin antara China dan Indonesia. Menurutnya, tdak menutup kemungkinan akan adanya kontrak baru pada tahun 2021 mendatang. Ia mengatakan, vaksin Corona produksi Sinovac tersebut akan dikirim dalam bentuk setengah jadi dan selanjutnya akan diolah dan diedarkanoleh Bio Farma kepada masyarakat Indonesia.
Sinyal kontrak impor vaksin dari China tercium dari kunjungan dari Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi dan Menteri BUMN, Erick Thohir ke China pada (20/8) lalu. Keduanya ditemui langsung oleh Menlu China, Wang Yi. Retno mengatakan dalam kunjungan tersebut ada dua dokumen yang ditandatangani terkait vaksin corona.
“Ada 2 dokumen yang ditandatangani antara Sinovac dan Bio Farma, yang pertama adalah Preliminary Agreement of Purchase and Supply of Bulk Product of COVID-19 Vaccine, yang menyepakati komitmen ketersediaan supply bulk vaksin hingga 40 juta dosis vaksin mulai November 2020 hingga Maret 2021,” jelas Retno.
Vaksin Sinovac hingga kini telah diujicoba di beberapa negara seperti Indonesia, Brasil, dan Bangladesh. Vaksin tersebut juga diujicobkan kepada 3000 karyawan Sinovac serta keluarga mereka di China. CEO Sinovac Yin Weidong memastikan vaksin tersebut bisa diproduksi pada akhir tahun 2020 ini.
Selain itu, Indonesia juga membeli vaksin dari perusahaan farmasi asal China lainnya, Sinopharm. Shinopharm bekerjasama dengan Kimia Farma dan juga perusahaan G42 asal Uni Emirat Arab dengan jumlah 10 juta dosis vaksin.
Selain itu, Indonesia juga menjalin kerjasama vaksin corona dengan perusahaan bioteknologi Genexine Inc, asal Korea Selatan (Korsel). Genexine melakukan pengembangan vaksin bekerjasama dengan Kalbe Farma. Perusahaan asal Korsel tersebut dijadwalkan akan melakukan uji klinis tahap 2 di Indonesia pada akhir tahun 2020 ini. Perusahaan ini tengah melakukan uji klinis tahap satu di negara asalnya.
“Sedang disiapkan untuk uji klinis fase 2 di Indonesia di kuartal keempat 2020,” ungkap Direktur Utama Kalbe Farma Vidjongtius.
Vaksin Indonesia Tersendat Administrasi
Seperti dilansir islamtoday.id, 12 Agustus 2020, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Profesor Amin Soebandrio, mengatakan bahwa praktik pembuatan vaksin di Indonesia sangat terlambat jika dibandingkan dengan negara lain. Ia dan timnya baru memulai penelitian virus pada bulan April 2020. Padahal banyak negara seperti China telah memulai penelitian terhadap virus sejak bulan Januari.
“Nah bulan April kita baru mulai jadi kalau kita hitung menurut prediksinya WHO, 18 bulan baru bisa menjalankan vaksin jadi kita memperkirakan akhir 2021 baru bisa selesai ujiklinisnya. Dan baru mungkin awal 2022 baru bisa diproduksi massal dan dipergunakan,” jelasnya.
“Prosedur administrasi (pembuatan vaksin) bisa (dipercepat), tapi kita tidak bisa memaksa,” imbuhnya
Prosedur administrasi dalam pembuatan vaksin ialah mengenai pelaksanaan uji klinis bisa dilaksanakan secara tumpang tindih. Artinya pelaksanaan uji coba fase 1 bisa dilanjutkan ke fase 2 tidak harus menunggu 100 persen berhasil. Begitu pula uji klinis fase 2 bisa dilanjutkan ke fase tiga tanpa harus menunggu 100 persen berhasil, misalnya dengan tingkat keberhasilan yang dicapai telah mencapai 70-80%.
Amin mengingatkan bahwa pada dasarnya proses pembuatan vaksin tidak bisa dipercepat, terutama prosedur yang ada di laboratorium. Sebab proses yang berlangsung di laboratorium itu proses awal untuk mencari bahan baku utama pembuatan vaksin dengan target antigen yang efektif menangkal virus tersebut.
“Proses di lab tidak bisa dipercepat. Kalau dipercepat, produk bisa tidak optimal dan mungkin berisiko pada manusianya,” jelasnya.
Penulis: Kukuh Subekti, Arief Setiyanto