IslamToday ID –Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri mengkritik habis-habisan masuknya proyek smelter asal China di Indonesia. Menurutnya, Indonesia hanya dimanfaatkan oleh China. Ia menilai kebijakan pemerintah dengan mengizinkan masuknya perusahaan asal China justru hanya akan menguntungkan pihak China.
“Indonesia sejauh ini hanya dimanfaatkan sebagai penopang industrialisasi di China dengan ongkos sangat murah dibangdingkan kalau kegiatan serupa dilakukan di China,” kata Faisal Basri dalam artikelnya yang berjudul “Presiden Dibohongi Mentah-mentah” seperti dikutip dari faisalbasri.com, Rabu (9/9/2020)
Faisal pun mengungkapkan, sejumlah layanan istimewa diberikan pemerintah Indonesia kepada para pemilik perusahaan smelter asal China. Kebijakan tersebut diantaranya meliputi kebijakan di bidang fiskal, perpajakan seperti tax holiday, nihil pajak ekspor, tak bayar pajak pertambahan nilai, boleh membawa pekerja kasar sekalipun tanpa pungutan 100 dollar AS per bulan bagi pekerja asing.
Tidak hanya itu mereka juga menikmati berbagai fasilitas lain berupa kebebasan untuk mengimpor apa saja yang dibutuhkan. Mereka bahkan tidak dikenai royalti pertambangan seperti lazimnya perusahaan tambang lain di Indonesia.
“Mereka bebas menentukan surveyor dan trader yang bertindak sebagai oligopsoni menghadapi pemasok bijih nikel. Semua fasilitas itu tidak mereka nikmati di negara asalnya,” ucap Faisal.
Lanjut Faisal, bukti bahwa Indonesia dimanfaatkan oleh China, ialah keleluasan membeli bijih nikel Indonesia dengan harga yang jauh lebih murah dari harga semestinya. Perusahaan smelter asa China membeli bijih nikel dengan setengah harga kesepakatan internasional. Hal ini ditandai dengan menumpuknya bijih nikel, dan tidak lakunya bijih nikel Indonesia sejak pemerintah melarang aksi ekspor bijih nikel.
Kata Faisal, pemerintah Indonesia kembali melarang aktivitas ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020 lalu. Sebelumnya kebijakan larang nikel sudah diterapkan sejak tahun 2014 silam hingga tahun 2016. Sepanjang tahun 2015 hingga 2016 pun tidak ada aktivitas ekspor bijih nikel.
“Tarik ulur kebijakan larangan ekspor ini tentu saja sangat memukul perusahaan penambang nasional yang sudah mulai bersiap diri membangun fasilitas smelter. Tak ayal, perusahaan-perusahaan smelter dari China yang paling siap memanfaatkan peluang emas karena harga bijih nikel domestik anjlok akibat larangan ekspor,” ucapnya.
Menurut Faisal, mengatakan jika banyaknya perusahaan smelter tersebut disertai dengan adanya peningkatan proses nilai tambah di dalam negeri tentu turut menguntungkan Indonesia Sebab, produk hasil akhir nikel seperti baterai lithium bisa dimanfaatkan untuk kepentingan industri otomotif, mobil listrik. Namun menurutnya, hal tersebut sulit terjadi,
“Sampai sekarang tidak ada fasilitas produksi untuk mengolah bijih nikel menjadi hidroksida nikel (kadar nikel (Ni) 35 persen sampai 60 persen) dan nikel murni berkadar 99,9 persen yang menjadi bahan utama menghasilkan beterai,” jelas Faisal.
Ia menambahkan, hingga saat ini perusahaan-perusahaan smelter yang yang bermunculan hanya sekitar 25 persen menuju produk akhir. Sehingga, proses hilirisasi tambang masih panjang. Oleh karenanya, keberadaan mereka pun belum bisa secara otomatis menjalankan perannya dalam industrialisasi atau menjadi ujung tombak industrialisasi di Indonesia.
“Perusahaan-perusahaan smelter itu pada umumnya mengekspor produk seperempat jadi ke negara asalnya. Di sana diolah lebih lanjut, kemudian diekspor ke Indonesia, misalnya untuk kebutuhan sektor migas dan otomotif,” ujar Faisal.
Menurutnya, Presiden Jokowi harus tahu, bahwa yang sesungguhnya terjadi saat ini adalah aksi perburuan rente secara besar-besaran. Ia menegaskan, bahwa yang sedang berjalan saat ini belum sampai pada pijakan untuk pengembangan nikel menjadi baterai lithium.
“Bapak Presiden, jadi sebenarnya yang terjadi adalah praktik pemburuan rente besar-besaran. Belum ada sama sekali pijakan untuk mengembangkan bijih nikel menjadi bahan utama untuk baterai lithium. Belum ada rute menuju ke sana,” ungkap Faisal.
Penulis: kukuh Subekti