IslamToday ID –Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019 Fahri Hamzah menilai, omnibus law tidak diperlukan. Bahkan ia menilai Omnibus law rawan menimbulkan permasalahan, sebab membuat kewenangan suatu lembaga menjadi sangat dominan.
“Tidak boleh ada anasir atau itikad dari lembaga-lembaga ini, ingin misalnya mengambil satu kewenangan ada di satu tempat yang menyebabkan nanti tempat itu terlalu kuat, terlalu dominan dan itu sebenarnya menyalahi tradisi di dalam berdemokrasi. Sebab nanti disitu muncul masalah,” kata Fahri dikutip dari channel youtube cnbcindonesia (11/9/2020).
Menurut Fachri, omnibus law hanya bisa diterima dalam untuk keperluan tersentu dan dalam jangka waktu tertentu, semacam lembaga ad hoc. Misalnya, omni bus law diterapkan dalam jangka waktu tertentu untuk menangani krisis.
Fahri ungkapkan, jika ia pernah menyampaikan langsung tentang pandangannya terhadap Omnibus Law kepada Presiden Jokowi. Saat itu ia menjelaskan bahwa dalam situasi darurat, demi kepentingan investasi presiden bisa mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu). Ia juga mengingatkan presiden agar nantinya keberadaan Omnibus Law tersebut tidak melanggar hak-hak rakyat. Termasuk tidak memberikan celah, peluang bagi perampasan hak-hak rakyat.
“Pak kalau bapak mau merevisi beberapa undang-undang yang menurut bapak itu menghambat, kenapa mesti bapak minta DPR? Atas nama kedaruratan pak, bapak bisa membuat Perppu untuk menyederhanakan tapi tolong pastikan tidak ada perampasan human right disitu, tidak ada lagi ruang yang disembunyikan bagi munculnya (kejahatan),” tutur Fahri.
Fahri juga mengungkapkan bahwa telah terjadi kerusakan sistem yang membuat para pengusaha merasa resah dalam menjalankan roda usahanya di Indonesia. Menurutnya, ada tiga hal penting yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin rasa nyaman, keadilan bagi para pengusaha, investor di Indonesia. Mulai dari evaluasi regulasi, evaluasi birokrasi hingga evaluasi leadership. Menurutnya melakukan instropeksi, koreksi terhadap tiga hal tersebut sangat diperlukan sebelum pemerintah fokus pada pembuatan Omnibus Law.
Menurut Fachri, selama 20 tahun ini regulasi yang dimiliki pemerintah justru kerap dimanfaatkan, memberi celah bagi praktik kejahatan, sehingga timbul kesewenang-wenangan.
Selain itu, birokrasi pemerintah perlu di evaluasi. Apakah kinerja lembaga negara telah terukur, penuh dengan kepastian, mampu memberikan jaminan kenyamanan serta tidak adanya konflik kelembagaan antar lembaga negara.
“Dan yang terakhir adalah apakah leadership di masing-masing kelembagaan itu sadar bahwa dalam tradisi kita bernegara ini mereka adalah pelayan. Dan karena mereka adalah pelayan mereka harus memberikan kepastian kepada yang dilayani,” tuturnya.
Kritik Pakar Hukum
Senada dengan Fahri, pakar hukum Universitas Ibn Khaldun, Mova Al-Afghani juga memberikan kritiknya terkait kemudahan investasi yang dijanjikan pemerintah melalui Omnibus Law. Ia seperti dikutip dari tempo.co (9/6) menurutnya kemudahan investasi yang dijanjikan oleh pemerintah itu memiliki resiko yang cukup besar jika tidak dilakukan dengan hati-hati.
“Ini suatu terobosan yang cukup besar dalam pendekatan regulasi di Indonesia, namun bila tidak dilakukan dengan hati-hati akan berbeda dengan yang dimengerti,” tutur Mova dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR pada (9/6/2020).
Setidaknya ada tujuh catatan yang disampaikannya. Pertama, formatpenilaian risiko. Sebab dalam Omnibus Law selain diatur mengenai kemudahan dalam melakukan investasi juga ada persoalan mengenai Lingkungan Hidup. Keduanya memiliki tujuan berbeda.
“Nanti akan terjadi kebingungan dari para regulator, dia harus menafsirkan risiko ini berdasarkan tujuan regulasi yang mana,” terangnya.
Kritik kedua berkaitan dengan resiko-resiko volatile atau bergerak seperti bencana alam banjir serta polusi, hal ini belum dibahas dalam Omnibus Law. Menurutnya, perlunya evaluasi secara berkala untuk mengatasi hal itu.
Ketiga adanya resiko sistemik yang ditimbulkan dalam Omnibus Law. Keempat resiko lain yang bersifat apriori, asumsi belaka yang sifatnya top down. Misalnya penentuan resiko baru berkaitan dengan aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan, serta pemanfaatan sumber daya alam (SDA), belum mengacu pada resiko yang lain seperti rersiko budaya.
“Bagaimana kalau ada risiko budaya? Misalnya di situs pembangunan itu ada situs keramat, itu dianggap risiko atau bukan? Bagaimana penentuan risiko ini?” ujarnya.
Kelima, belum adanya pembahasan pelaksanaan regulasi berbasis risiko dalam naskah akademik Omnibus Law. Keenam adanya catatan kepatuhan menjadi pertimbangan pengawasan. Menurutnya manajemen resiko dilaksanakan oleh lembaga independen, dimana pemerintah hanya melakukan audit saja. Ketujuh, beban perizinan dibuat berbeda dengan dokumen perizinan. Sebab menurutnya izin merupakan instrumen kontrol, sementara beban regulasi berada di bawah cakupan persyaratan izin.
Dalam perkembangannya, pembahasan Omnibus Law telah mendekati titik final. Hal ini salah satunya terungkap adanya informasi yang disampaikan oleh anggota Komisi I DPR RI, Nurul Arifin. Ia mengatakan bahwa pembahasan Omnibus Law saat ini telah mencapai 80 persen.
“Saat ini pembahasan Omnibus Law Ciptaker sudah mencapai 80 persen. Harapannya pada masa sidang 2020 ini, RUU Omnibus Law Ciptaker bisa disahkan oleh DPR,” tutur Nurul Arifin (10/9/2020).
Nurul mengatakan pembahasan tersebut telah melibatkan banyak elemen. Tidak hanya para anggota dewan, melainkan adanya perwakilan dari pihak pemerintah, pengusaha dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin), serta perwakilan 16 federasi pekerja.
Penulis: Kukuh Subekti