IslamToday ID — Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan bahwa para peserta calon kepala daerah dan simpatisannya yang melakukan pengumpulan massa seperti konvoi atau arak-arakan saat tahapan Pilkada 2020 bisa dipidana lewat aturan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut Tito, KUHP bisa dijadikan salah satu instrumen hukum untuk menindak para pelanggar protokol kesehatan covid-19 saat Pilkada digelar disamping aturan yang terkandung dalam Peraturan KPU.
“Kalau di luar ada arak-arakan, konvoi-konvoi, ini harus dibubarkan, bahkan bisa dipidana, bisa ewat KUHP, bisa lewat Perkada (Peraturan Kepala Daerah) dan lainnya,” jelas Tito Karnavian dalam Rapat Koordinasi Penyelenggaraan Pilkada dalam Kondisi Bencana Covid yang diunggah oleh kanal Youtube Kemendagri RI, Selasa (22/9).
Menteri Tito menjelaskan bahwa dalam KUHP terkandung pasal-pasal yang berkaitan dengan pembubaran kerumunan. Bahkan, apabila seseorang melawan petugas yang tengah membubarkan kerumunan bisa terkena pasal berlapis dalam KUHP.
Oleh karena itu, Tito menegaskan bahwa KUHP turut memberikan diskresi kewenangan kepada petugas di lapangan untuk membubarkan kerumunan yang dianggap bisa menjadi media penularan corona.
“Berdasarkan penilaian subjektif kalau kerumunan itu dianggap menjadi media penularan itu dapat dibubarkan,” tegas Tito.
Tak hanya KUHP semata, Tito menyatakan aturan lain seperti UU tentang Wabah Penyakit Menular hingga UU tentang Karantina Kesehatan turut melarang terjadinya kerumunan. Sehingga, Ia mendesak agar kepolisian menindak tegas para massa yang berkumpul untuk dibubarkan.
“Siapa penegak UU ini? Polri. Dimana posisi Satpol PP? Satpol PP bisa mendukung Polri,” ujarnya.
Selain itu, Tito tak ingin bila kasus kerumunan terulang kembali pada masa penetapan pasangan calon hingga masa kampanye seperti pada tahap pendaftaran pasangan calon ke KPU beberapa waktu lalu.
Ia menegaskan kejadian tersebut justru membuat citra pelaksanaan Pilkada 2020 rusak. Akibatnya, banyak pihak yang meminta agar perhelatan Pilkada 2020 ditunda.
“Di dalam aturan-aturan yang ada dalam pencegahan covid-19, kegiatan seperti ini tidak kita inginkan. Ini bisa terjadi karena belum tersosialisasi baik masalah kepatuhan terhadap protokol covid-19. Sehingga terjadi kerumunan dan akhirnya pendaftaran calon menggunakan cara lama sebelum ada covid,” tandasnya.
14 LSM Desak Tunda Pilkada
Sebelumnya, 14 lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan sejumlah pemangku kepentingan untuk menunda Pilkada serentak 2020.
Mereka terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), KawalCOVID19, Kemitraan, KOPEL Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia, LaporCovid-19, Migrant Care, NETFID, NETGRIT, Perkumpulan Warga Muda, Perludem, PSHK, PUSaKO, dan TI-I.
“Kami mendesak agar Pilkada 2020 ditunda, sampai situasi pandemi lebih terkendali, dengan pemetaan yang jauh lebih detail dengan koordinasi dengan BNPB yang bertanggung jawab atas penanganan Covid-19,” kata Wahidah Suaib, perwakilan Kemitraan, dalam jumpa pers daring, Selasa (22/9).
Namun, Presiden Jokowi berkukuh agar Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah tetap dilaksanakan pada 9 Desember.
“Pilkada 2020 tetap sesuai jadwal, 9 Desember 2020, demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih,” kata juru bicara kepresidenan Fadjroel Rachman dalam keterangan persnya, Senin (21/9).
Komisi II DPR, Mendagri Tito Karnavian, bersama KPU, Bawaslu, DKPP pun sepakat untuk tetap menggelar Pilkada 2020 pada 9 Desember, Senin (21/9).[IZ]