IslamToday ID – Penolakan atas disahkannya RUU Omnibus Law Cipta kerja tidak hanya disuarakan kaum buruh, namun juga turut disuarakan oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), gerakan mahasiswa, tokoh lintas agama hingga para akdemisi. Beragam cara dilakukan rakyat untuk mencabut UU Cipta Kerja, mulai dari aksi unjukrasa, petisi online, hingga seruan untuk melakukan gerakan pembangkangan Sipil.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), dan Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI) ramai-ramai menyatakan penolakan mereka terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja . Mereka menyerukan agar para buruh menggelar unjuk rasa besar-besaran di berbagai daerah.
KSPI mempersoalkan Ketentuan tentang Upah Minimum Kota dan Upah Minimum Sektorak Kabupaten/Kota (UMSK). Selain itu juga besaran nilai pesangon, dan menolak adanya PErjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PWKT) dan outsourcing.
KSPI juga menuntut agar waktu kerja tidak boleh eksploitatif. Menuntut agar cuti dan hak upah atas cuti tidak hilang. KSPI menuntut agar karyawan kontrak dan outsourcing harus mendapat jaminan kesehatan dan pensiun.. Untuk menyuarakan tuntutan itu, KSPI mengerahkan 32 federasi buruh di daerah untuk turut serta dalam gerakan mogok nasional yang berlangsung pada (6-8 Oktober).
“Jadi provinsi-provinsi yang akan melakukan mogok nasional adalah Jawa Barat, Jakarta, Banten, Jogjakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Riau, Lampung, NTB, Maluku, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Papua, dan Papua Barat,” ucap Presiden KSPI, Said Iqbal (6/10/2020).
Sementara itu, KASBI menyerukan kepada anggotanya untuk mengglar unjukrasa hingga 8 Oktober. Tindakan aksi demonstrasi ini dilakukan oleh mereka sebelum dilakukannya judicial review ke MK. Mereka tidak peduli sekalipun pemerintah melarang para buruh untuk menggelar aksi di tengah pandemi Covid-19.
“Maka jangan salahkan rakyat kalau turun ke jalan dan menghentikan segala proses produksi karena itu yang dikehendaki rezim itu sendiri,” (2/10/2020).
FSPI juga menolak keberadaan UU Omnibus Law. Menurut mereka pengesahan UU tersebut selain mengancam para buruh juga menjadi ancaman serius bagi angkatan kerja yang akan datang. Alasan mereka melakukan penolakan Omnibus Law diantaranya berkaitan dengan kesejahteraan buruh yang harus tetap diutamakan, sekalipun pemerintah mempermudah investasi.
“Kami sampaikan FSPI tidak anti dengan yang namanya investasi, akan tetapi investasi tersebut harus dapat menyejahterakan rakyat bukannya malah menyengsarakan rakyat,” Wakil Ketua FSPI PT Pilar Makmur Utama, Ahmad Haerun (6/10/2020).
Judicial Review
Penolakan juga datang dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) konsisten melakukan penolakan terhadap Omnibus Law. Selain mengglar unjukrasa di berbagai daerah, KPA berencana menggugat UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Sebagai kelanjutan sikap penolakan, KPA akan menggugat Undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi,” ungkap Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika (6/10/2020).
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga menolak kehadiran UU Cipta Kerja. KontraS menilai DPR telah mencederasi hak asasi manusia (HAM), tidak melibatkan partisipasi publik dalam pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja.
“Itu dilakukan diam-diam dan bertentangan dengan prinsip HAM yang tak pertisipatif. DPR telah melakukan keputusan dan langkah yang bertentangan dng kepentingan publik dan tak mewakilkan rakyat sendiri,” tutur Koordinator Badan Pekerja KontraS, Fatia Maulidiyanti.
Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), menilai UU Cipta Kerja akan memperparah krisis sosial dan krisis lingkungan yang selama ini terjadi. Eksploitasi sumberdaya alam di kawasan pesisir laut, dan pulau-pulau kecil di Indonesia akan semakin parah. Sebab, para investor akan lebih mengabaikan persyaratan sosial, ekologis, dan budaya. Akibatnya kehidupan masyarakat pesisir, nelayan kecil menjadi terancam.
“UU Cipta Kerja akan terus menggusur ruang hidup nelayan dan masyarakat pesisir atau masyarakat bahari lainnya. Ini adalah perampokan terhadap kedaulatan masyarakat bahari,,” tutur Sekjen KIARA, Susan Herawati (6/10/2020).
Petisi Online
Pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja secara ‘diam-diam’ memicu gelombang protes. Tak hanya unjukrasa diberbagai kota, jutaan orang turut menandatangani petisi menolak UU Omnibus Law cipta Kerja.
Petisi online berjudul Maklumat Pengemuka Agama Indonesia: Tolak Omnibus Law dan Buka Ruang Partisipasi Publik ini diinisiasi sejumlah tokoh. Antara lain; Busryo Muqodas, Pdt. DR. Merry Kolimon, Ulil Absar Abdalla, Engkus Ruswana, Roy Murtadho dan Pdt. Penrad Sagian.
Dalam pantauan Islamtoday.id pada Rabu siang (07/10) pukul 11.32 sudah 1.321.875 orang yang menandatangani petisi tersebut. UU Cipta Kerja dinilai turut mengancam kebebasan sipil, keadilan sosial, ekonomi, budaya dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Petisi online tersebut juga mengungkap adanya lima persoalan mendasar dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja. Pertama, Spionase dan ancaman kebebasan beragama-berkeyakinan, kedua, pemangkasan hak-hak buruh/pekerja, ketiga, potensi konflik agraria dan SDA/lingkungan hidup, keempat pemangkasan ruang penghidupan kelompok nelayan, tani, dan masyarakat adat atas nama kepentingan pembangunan dan ekonomi. Kelima, kekuasaan birokratis yang terpusat berlawanan dengan semangat desentralisasi/otonomi daerah pasca 1998.
Dalam petisi tersebut mereka mendesak agar DPR membatalkan pengesahan Omnibus Law/ Cipta Kerja.
“Omnibus Law adalah ancaman untuk kita semua. Ancaman untuk demokrasi Indonesia,” tertulis dalam petisi omnine tersebut
“Karena itu kami meminta DPR RI untuk membatalkan Omnibus Law dan kembali membuka ruang partisipasi publik yang demokratis,” sambungnya
Petisi online penolakan UU Omnibus Law bukan pertama kali muncul. Sebelumnya pada bulan Maret hingga April lalu sebanyak 92 akademisi seluruh Indonesia melakukan penolakan terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja. Saat itu para akademisi menilai UU Omnibus Law telah mengesampingkan asas demokrasi serta prosedur perundang-undangan.
“Kalau DPR kemudian bersikukuh bersama-sama dengan pemerintah bersikukuh untuk membahas, maka telah terjadi amputasi terhadap demokrasi,” kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti (22/4/2020).
Sementara itu, Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Andalas menilai, UU Omnibus Law memiliki karakter kapitalisme dan neoliberal. Dimana orientasi yang dikejar ialah menomorsatukan pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan kesejahteraan rakyat. Selain itu juga mengabaikan prinsip pembangunan berkelanjutan.
“Karakter tersebut tentu tidak sesuai dengan amanat konstitusi dalam Pasal 33 UUD 1945″ ungkap Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Andalas, Yonariza.
Sementara itu Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Zaenal Arifin Mochtar berpendapat agar penolakan tersebut berhasil maka perlu dilakukan pembangkangan sipil. Ia menyarankan agar gelombang penolakan terhadap Omnibus Law terus dilakukan secara masif.
“Saya menawarkan bahwa kita harus teriakkan bersama UU ini. Pembangkangan sipil barangkali atau apa istilahnya, silakan dipikirkan itu,” usul Zaenal (6/10/2020).
Penulis: Kukuh Subekti